Jumat, 27 Februari 2015

Keramat

Aku Lelah

Keramat


Tuhan Yang Esa…
Ampunilah dosa Ibu,
Tempatkanlah ia nanti di antara kekasih-kekasihMu…

***

Prolog 


“Mas, jadi kamu benar mau mencari ibumu?” suara Hesti lewat sambungan telepon itu terdengar sedikit berbeda, risau.
“Iya, yang… paling tidak, sekali saja dalam hidup ini,” Ramadhan menghela napas dalam, “Sebelum pertunangan kita, Mas ingin… ahh, sudahlah!” pemuda dua puluh delapan tahun ini tidak sanggup meneruskan ucapannya. Sepasang mata memerah menahan kehangatan yang setiap saat bisa bergulir.
“…”
“Yang! Kenapa kamu diam?” Ramadhan bisa merasakan ada sesuatu yang memberatkan calon tunangannya itu.
“Entahlah, Mas!” sahut Hesti, “Aku… takut, takut pada sesuatu yang nanti bisa saja menghancurkan kita, Mas!”
Cukup lama Ramadhan berdiam diri, ia juga sangat mengerti ketakutan Hesti. Kembali ia mendesah panjang. “Apa pun itu, Mas minta ayang tidak merubah pendirian!” tidak ada jawaban yang terdengar. “Ya udah, yang! Kamu istirahat saja, bukankah besok kamu ada sif pagi, kamu istirahat ya!” ujar Ramadhan mengakhiri percakapan.

***

Part 1

Dua puluh delapan tahun yang lalu

Dianie, dara dua puluh tahun yang terjebak dalam pergaulan bebas. Alkohol, drugs adalah bagian kesehariannya. Bukan tidak ada upaya kedua orangtuanya terhadap perangai sang anak. Dari nasihat yang halus hingga makian kasar, dari pelukan hangat dan deraian air mata sampai perlakuan kasar dengan segala sumpah serapah. Pepatah tua mengatakan; Air cucuran atap, jatuhnya ke pelimbahan jua. Itulah yang sebenarnya terjadi. Kedua orangtua terlalu sibuk dengan urusan masing-masing. Ayah lebih banyak menghabiskan waktu bersama kolega, golf ditemani gadis-gadis muda, dinner yang berujung pada perselingkuhan. Ibu pula hampir setiap hari keluar. Sosialita, arisan, clubbing. Dan segala urusan yang menjauhkan kasih sayang pada sang buah hati.
*
Kian hari semakin carut-marut, keadaan rumah mewah tiada lagi ketenangan. Selalu saja pertengkaran dan pertengkaran.
Untuk kesekian kalinya Dianie keluar rumah, membanting pintu. Tak menghiraukan seruan sang ibu dan makian sang ayah. Kembali berkumpul dengan teman-temannya. Lagi dan lagi, alkohol dan drugs.
Lima teman prianya telah menyusun rencana, Dianie tidak mengetahui itu. Tetap larut dalam buaian drugs, fly… I’m flying to heaven. Ouh yea, Dianie adalah type cewek yang semua lelaki pasti akan bergairah bila menatapnya saja.
*
Petaka itu datang. Saat semua teman tergeletak mabuk, lima teman prianya tersenyum senang. Menggotong Dianie ke kamar lain, membaringkan tubuh molek itu ke atas pembaringan. Satu per satu pakaian Dianie dilucuti, tiada halangan, tanpa perlawanan dari Dianie yang teler. Senyum iblis merekah di bibir kelima pria ini, wajah memerah tegang menahan nafsu yang memasung akal sehat.
*
Habis hari berganti minggu, silih berganti rupa sang bulan. Dianie menyadari perubahan pada diri.
Hamil… aku hamil!? 
Tiada satu jua teman pria yang mengakui perbuatan. Berkalang malu, Dianie putuskan mendatangi seorang kenalan, membawanya menemui seorang dokter. Dokter yang seharusnya perpanjangan tangan Tuhan, berubah menjadi cakar iblis yang siap menghantarkan kematian pada janin empat bulan.
Namun Tuhan menentukan lain. Belum lagi niat terlaksanakan, petugas kepolisian telah lebih dulu menggerebek, laporan warga yang risih terhadap praktek ilegal sang dokter. Dianie berhasil melarikan diri. Ketakutan, ia ketakutan setengah mati.
*
Tidak ada sambutan halus yang ia terima, tidak pula tatapan iba dari kedua orangtuanya saat berusaha jujur pada kandungan. Aib ini begitu menampar wajah keluarga.
Anak hamil di luar nikah? Dan… dan parahnya tanpa diketahui siapa Bapaknya?
Pertengkaran meruncing. Berujung pada pengusiran sang anak.

“Keluar kau sekarang juga!” tidak ada lagi gambaran wajah seorang bapak pada diri sang ayah. Yang ada hanya kebencian melingkupi badan. Sang ibu hanya duduk terisak. Menyesal? Semua sudah terlambat. “Jangan pernah menginjakkan kakimu di rumah ini, kau bukan lagi bagian dari keluarga ini!”
Dianie meninggalkan rumah dengan langkah gontai.
Kemana tempat mengadu? Di mana badan bisa bernaung?  
Kekesalan, sakit hati, merasa dikhianati teman sepeminuman, dan segala rasa kepedihan menumpuk jadi satu dalam relung. Menyudutkan diri, membuat buta pikiran dan hati. Dianie semakin jauh tenggelam, melampiaskan semuanya pada alkohol dan drugs. Sedikit pun tiada merasa kasihan pada janin yang dikandung.
Lagi, dan lagi.
*
Sembilan bulan kemudian, bertepatan dengan bulan suci ramadhan. Dianie melahirkan seorang bayi laki-laki, hanya dibantu teman satu kos. Hati benar-benar sudah hitam, tiada setetes jua asi yang ia berikan.
Lagi-lagi rayuan iblis yang ia dengar.
Titipkan saja bayimu ke panti asuhan, beres!
Kau bisa bersenang-senang lagi…
*
Dianie menemui seorang wanita pemilik panti asuhan. Mengutarakan niat untuk menyerahkan bayinya. Indri nama wanita itu. Ia coba membujuk Dianie untuk tidak meneruskan niatnya, namun kekerasan hati tak lagi bisa dirubah.
“Tidak semudah itu menitipkan bayimu pada panti asuhan!” Indri kehabisan akal, “Ada prosedur yang harus kamu jalankan!”
“Aku tidak peduli!” bantah Dianie dengan tatapan kosong. “Aku ingin menyerahkan bayi ini saja, titik!”
Indri yang merasa iba pada bayi itu, akhirnya menerima. “Bagaimana nanti bila ia besar?”
“Bukan urusanku!” dengus Dianie, tersenyum hambar.
“Paling tidak,” kembali Indri memandang pada wajah bayi yang masih tertidur pulas itu, “Selembar foto yang bisa ia kenali nantinya,” ia memandang pada Dianie, sedikit berharap. “Ibunya!”
Dianie membuka dompet, memilih satu lembar foto hitam-putih. Menyerahkan foto itu pada wanita pemilik panti asuhan.
*
Dari tahun ke tahun, bayi laki-laki semakin bertumbuh. Pemilik panti asuhan memberinya nama Ramadhan. Dari kecil, Ramadhan selalu dirundung penyakit. Hampir setiap dua kali dalam sebulan ia harus check-up. Jantungnya, memiliki kelainan. Dokter mengatakan, kerusakan terjadi saat dalam kandungan.
Ramadhan sering bertanya; Siapa Ibuku? siapa Ayahku? Ke mana mereka pergi? Indri hanya bisa menatap nanar pada bocah yang santun itu.

***

Part 2

Masa Sekarang

Pagi ini Ramadhan bangun lebih awal, ia telah mempersiapkan segala hal yang bersangkutan dengan dirinya. Pria muda ini terbilang sukses, punya beberapa toko yang tersebar di beberapa titik di wilayah Jakarta. Rumah besar ini adalah hasil dari jerih payahnya, juga sebuah sepeda motor besar dan sebuah mobil di luar. Hanya satu hal saja yang selama ini mengganjal hatinya, satu hal.
Dua orang terpenting yang selalu ia harapkan dalam doa. Dua orang pemilik daging dan darah yang mengalir dalam tubuhnya. Yang selalu ia harapkan bertemu, dalam setiap kesempatan, dalam setiap sujud yang ia lakukan.
Ia tidak pernah tahu siapa ibunya, tidak juga sang ayah. Hanya Bu Indri-lah selama ini yang ia tahu sebagai ibunya. Seorang wanita enam puluh lima tahun, pemilik panti asuhan tempat ia dibesarkan. Kini, dalam beberapa hari ke depan ia akan bertunangan. Dengan Hesti, seorang dara yang telah ia kenal setahun ini. Seorang dokter muda. Dan ia merasa ada yang hilang, paling tidak seseorang yang menemaninya saat memasangkan cincin emas ke jari manis pujaan hatinya nanti.
*
Ramadhan menghentikan mobilnya tepat di luar pagar sebuah panti asuhan. Kondisi panti terlihat lebih baik dari belasan tahun yang lalu saat ia tinggalkan.
Ughh… rasa sakit ini lagi!
Ia meraba dada yang sesak, wajahnya memerah penuh keringat.

“Rama!” mata tua Bu Indri masih mengenali sosok santun itu.
Pelukan itu sedikit mengobati kerinduan Ramadhan akan figur seorang ibu. Mereka melangkah memasuki bagunan panti.
Ramadhan tersenyum, memandangi sejumlah ruang. Membayang lagi kesehariannya di panti ini, dulu.
*
Cukup lama Ramadhan merayu Bu Indri, namun wanita itu seperti sengaja mengelak. Setiap kali beradu pandang, setiap kali itu juga ia berpaling. Pemuda ini tahu, ada sesuatu yang disembunyikan wanita baik itu.
Ramadhan berdiri dan melangkah mendekati Bu Indri, bersimpuh di bawah kaki Bu Indri.

“Untuk sekali ini saja, Bu!” ia benamkan wajahnya di kedua lutut wanita itu. Bu Indri sudah tidak kuasa menahan derian air mata yang tertumpah. “Sebelum Rama bertunangan!” deraian air mata pun menggenangi sepasang matanya. Menatap penuh harap pada wanita yang sudah membesarkannya penuh kasih itu. “Se-sebelum… napas ini terhenti!”

Bu Indri mendekap kepala Ramadhan, tubuhnya berguncang menahan tangis yang menyeruak. Mengecup kepalanya, memandang sayu.
“Dianie…”

***

Part 3

Demimu Ibu

Tidak henti-hentinya Ramadhan memandangi selembar foto usang di tangan. Sesekali ia ciumi foto itu, mendekapnya ke dada dengan senyum dan rasa haru yang menyeruak. Membawanya rebah di atas sofa.

Kembali wajahnya memerah menegang, rasa sesak di dalam dada menghentak tubuhnya. Beberapa hari belakangan ini, kian memburuk saja.

Ya Allah yaa Khabiir… mudahkanlah langkah hamba ‘tuk mengenal Ibunda!
Yaa Syakuur, sekali saja… biarkan hamba membalas budi Bunda yang telah melahirkan hamba, sekali saja…
*
Berbekal foto usang sang ibu yang ia dapat dari Bu Indri, Ramadhan memacu mobilnya menyusuri jalanan, menuju kota Surabaya. Meski Bu Indri tidak mengatakan di mana pastinya sang ibu tinggal dan apa pekerjaannya, namun hati kecilnya sudah dapat menerka. Ia buang semua hal-hal negatif yang menghinggapi pikirannya.

Apa pun itu, aku harus bertemu Ibu!

Langkah Ramadhan tak kenal lelah, dari satu keramaian ke keramaian lainnya ia terus bertanya. Pada siapa saja yang ia temui, memperlihatkan foto usang di tangan pada mereka. namun hingga sore menjelang, tidak satu orang pun yang bisa memberikan harapan padanya. Keringat mengucur deras di wajahnya. Baju terasa lembab, basah oleh keringat yang mengalir. Tekadnya sudah bulat. Bila nanti tidak menemukan keberadaan ibunya di daerah Putat Jaya ini, aku akan terus mencarimu Bu, di semua sudut kota Surabaya ini!

Azan maghrib berkumandang, sahut menyahut dari satu masjid ke masjid lainnya. Ramadhan hentikan langkah, sudah maghrib, sudah waktunya berbuka puasa. Ia hanya berbuka dengan sebotol air mineral yang ia beli di pinggir jalan, itu pun hanya dua tegukan saja. Ia melangkah mendekati masjid itu. Ingin mengadu pada Tuhan, memohon sedikit kemudahan dalam langkahnya ini.

Yaa Rabb, hamba tidak merasa perjalanan ini sia-sia… kendati harus memakan waktu yang lama, hamba yakin… bila memang… Ibu, Ibu sudah Engkau panggil, tu-tunjukkanlah hamba makamnya! Bimbing hamba ke pusaranya, yaa Rabb!
*
Selepas isya, Ramadhan kembali melanjutkan pencariannya, berjalan kaki, mobil ia tinggalkan di parkiran hotel.

Kali ini, aku harus mencari di sana!

Meski dengan perasaan yang berkecamuk, antara risih, malu, dan takut, pemuda ini langkahkan kakinya memasuki kawasan itu, lokalisasi Dolly.

Namun seperti tadi, sampai sekian lama tidak seorang jua yang bisa menunjukkan padanya. Tidak jarang ia mendapatkan pandangan sinis, curiga, bahkan omelan yang menyesakkan dada. Tapi Ramadhan tidak peduli, baginya menemukan keberadaan sang ibu adalah harga terbesar.
Ramadhan berhenti sejenak di sebuah warung, sekadar melepaskan dahaga dan penatnya tubuh. Melirik arloji di pergelangan tangan. Sudah pukul sebelas lima belas malam. Perutnya yang kosong tidak jadi soal, aku masih kuat!

Dua orang wanita penghibur menghampirinya, menawarkan diri. Ramadhan menolak halus, tersenyum. Ia beranikan diri bertanya.
Gayung bersambut. Satu dari dua wanita itu sepertinya mengenali wajah dalam foto usang itu.
“Mbak Dianie?!” ujarnya memastikan.
Ramadhan mengangguk, seluruh tubuh terasa merinding. Merinding harap tanya berjawab. Wanita itu menunjuk pada satu gang, memberi keterangan keberadaan wanita dalam foto. Ramadhan haturkan rasa terima kasih pada kedua wanita itu, meski terima kasih terbesar terbesit pada Tuhan di relung jiwa.

Ia tidak menghiraukan pandangan aneh orang-orang di warung itu, toh… mereka tidak tahu tujuannya. Biarkan saja. Ia terus melangkah menuju tempat yang ditunjukkan wanita itu tadi. Setengah berlari dalam harap dan cemas yang menggunung.

Benar saja. Ia menemukan sosok yang sangat mirip dengan yang di foto, tengah duduk tertawa renyah di antara banyak lelaki hidung belang, di antara botol-botol minuman keras yang bergeletakkan. Sebatang rokok terselip di jari yang lentik, wajah itu sedikit menua tertutup riasan wajah menggoda. Dan pakian itu… yaa Allah! Kuatkan langkah hamba, kuatkan hati hamba…

“Ma-maf!” semua mata memandang aneh padanya, “Bu Dianie?” rasa sesak di dada kembali medera, memerahkan wajahnya. Segunung perasaan ini nyaris saja meledak.
Sabar Rama, sabar! Kamu pasti bisa bertahan! Benar, dia pasti Ibuku, pasti! Tahan dulu, tahan! Banyak orang di sini, jangan meruntuhkan harga dirinya, jangan!

“Woi!” hardik seorang pria paruh baya, “Gak bisa cari yang lain kamu? Haa!!”
“Maaf,” Ramadhan tetap bersopan diri. Memperlihatkan foto usang di tangan.

Wanita empat puluh delapan tahun itu menerima lembaran foto, ia memandang heran pada Ramadhan. Sepasang mata membesar, menatap wajah dalam foto. Ia mengenalinya dengan pasti. Foto usang yang pernah ia berikan pada seorang wanita di Jakarta, dua puluh delapan tahun yang lalu. Sedikit kehangatan mengaburkan pandangannya menatap pada sosok Ramadhan. Ia lemparkan foto pada pemuda itu, dan berlari kencang berlalu dari sana.

Ramadhan terperangah, ia yakin sekali jika wanita itu adalah ibunya. Namun langkahnya terhenti, seorang pria lainnya menahan gerakannya.
“Woi!” hardiknya dengan wajah bengis. Plaakh… satu tamparan mendarat telak di pipinya. “Berani cari masalah di sini kamu, Haa!”
Masalah? Siapa yang cari masalah? 
Ramadhan hanya bisa tersenyum pahit, menahan perih di pipi.
“Cari lonte yang lain, sana!!”
Lonte? Lonte katamu?!
 Sepasang rahang pemuda ini menggembung gemeretakkan. Wajah yang sudah memerah menahan sakitnya denyut di dada kian mengelam. Sepasang kaki gemetar tak berhenti. “Dia, Ibu kandungku!” Ramadhan mendelik pada mereka semua.
Pria yang tadi menampar Ramadhan terperangah, juga yang lain di sana. Sepintas wajah pria itu berubah, ia gelagapan, merasa bersalah.
Ramadhan meraih foto usang yang tergeletak di badan jalan. Berlari menyusul ke arah mana wanita itu tadi menghilangkan diri.
*
“Bu… Rama mohon,” pemuda itu masih saja bersimpuh di kaki wanita yang memang adalah ibu kandungnya. “Ikut Rama ke Jakarta, Bu!” ia memeluk erat kedua kaki Dianie. Tangisnya sudah pecah sedari tadi. “Tinggallah bersama Rama, Bu… Rama mohon,” Dianie tidak sanggup menahan sesak di dada, ia membungkuk mengelus kepala sang anak. Namun pandangannya tidak begitu jelas, tertutup derasnya aliran sungai bening di kedua bola matanya.
“Pergilah…” ia mendorong Ramadhan, namun pemuda ini semakin erat memeluk kedua kakinya. “A--ku tidak pantas men--jadi… Ibumu!”
“Bu!” dengan air mata yang berlinang, Ramadhan menatap penuh harap pada ibunya. “biarpun Ibu berkata begitu, biarpun semua orang… dunia ini menghujat,” Ramadhan berdiri, dan memeluk erat ibunya. “Rama tidak mungkin menafikan, Bu! Tidak mungkin!” suara itu terdengar sengau di antara isak tangis.
“A-apa kata tunanganmu nanti…na--ak?” Dianie memeluk erat darah dagingnya, “Ini, hanya akan… menyudutkanmu!”
“Rama, tidak peduli, Bu, tidak sedikit pun!” pelukannya semakin erat, berharap bisa meleburkan kekerasan hati sang ibu.
“Hanya akan memperbesar do-dosa Ibu, Nak!” tangisnya sudah tidak lagi tertahan. Dianie terduduk  begitu saja di lantai kamar kos yang sempit ini.

Ramadhan bersimpuh di hadapan sang ibu, memeluknya dengan segala kasih yang ia miliki, mengecup dahi yang mulai keriput itu.
“Ibu boleh berkilah seribu alasan, mereka boleh menghujat seribu cacian,” kembali ia manatap mata tua itu, menyeka aliran air yang tertumpah. “Kenyataan, Rama anak kandung Ibu, tidak mungkin terbantahkan, Bu…”

***

Part 4

Keramat Terindah

Bu Dianie menatap sayu pada anaknya yang tengah mengerjakan sholat tahajud. Ia tersenyum, senyum manis yang selama ini tertutupi bobroknya dunia. Sudah tiga hari ia tinggal di rumah besar ini, rumah sang anak. Sekeras apa pun jua hatinya menolak, sebeku apa pun pendiriannya, itu tidak sedikit pun berarti. Keikhlasan sang buah hati, keinginan kuat darah daging yang selama dua puluh delapan tahun ini ia terlantarkan, mencairkan kebekuannya. Menguap dalam kata kasih.
Namun ada rasa lain tiba-tiba mengungkungnya.
Bagaimana ini? Keyakinan anakku, berbeda denganku!
Tuhan, apa yang Engkau rencanakan?
Semua ini menohok begitu saja di relung dadanya. Menjadikannya terhenyak dalam duduk yang terisak.

“Bu…” panggil pemuda itu, halus.
Ia melipat sajadahnya, menaruh sajadah itu di atas meja kecil di ruang keluarga tersebut. Melangkah menghampiri sang ibu yang berusaha menyeka kedua matanya. Ramadhan duduk di lantai, merebahkan kepalanya ke pangkuan sang ibu. Ini semakin membuat wanita itu tak kuasa menahan tangisnya. Berulang kali ia menciumi dan mengelus kepala sang anak yang tertutup peci putih.
“Bu, demi Rama,” Ramadhan menatap penuh kasih wajah itu, wajah yang selama dua puluh delapan tahun ini ia rindukan, ia harapkan, ia nantikan.”Ibu jangan bersedih, ya?” mengecup kedua tangan sang ibu, mengecup keningnya, dan memeluknya penuh kasih.
Ramadhan menyadari, bila keyakinan mereka berlainan. Dan ia sangat tahu, mungkin inilah penyebab sedihnya sang ibu.

“Kenapa kamu bersusah-susah seperti ini, Nak?” Ramadhan kembali menatap sang ibu, ia tersenyum. “Membawa Ibu ke dalam kehidupanmu, dan… dan menghancurkan keinginanmu mempersunting gadis itu, Nak!” kembali Bu Dianie terisak, tubuhnya bergetar hebat. Ia merasa dosanya semakin menebal, dengan apa yang telah terjadi pada sang buah hati.
*
Sehari sebelumnya, malam hari. Ramadhan membawa sang ibu untuk bertemu dengan keluarga gadis pujaannya. Berharap mereka bisa mengerti dengan kenyataan yang ada, meski ada rasa ganjil yang dapat ia rasakan, namun ia telah memilih untuk menerima semua konsekuensinya.
Hesti terpaku tak dapat bersuara. Begitu juga dengan ayah ibunya. Memang mereka tidak bersuara sedikit pun mendengar penuturan Ramadhan tentang ibunya, namun dari mimik tubuh dan wajah keluarga calon tunangannya itu, ia dapat menangkap gelagat itu. Gelagat yang tidak terima bila berbesanan dengan seorang pelacur. Ia bisa menerima itu dengan hati yang ikhlas. Kendati keinginannya membina mahligai rumah tangga harus kandas.

“Bila… ini memang sudah suratan,” Ramadhan menatap iba pada gadis pujaannya itu. Rasa iba yang mendera sebab semua harus terjadi seperti ini, ulahnya. “Sa-saya, ikhlas!” ia memandang pada kedua orangtua Hesti. “Apa pun yang terjadi,”Ramadhan berpaling pada sang ibu di kanannya, merangkul tubuh sang ibu, menyandarkan kepalanya pada bahu sang ibu. “Seperti apa pun yang pernah dilakukannya,” sang ibu menatapnya dengan pandangan serba salah. “Dia tetaplah Ibuku!” balik pemuda ini menatap pada Hesti dan keluarganya. “Keramat terbesar yang pernah saya dapatkan!”
*
“Sudahlah, Bu…” Ramadhan menyeka air mata sang ibu, “Ramadhan ikhlas kok!” kembali ia rebahkan kepalanya di pangkuan sang ibu. “Bila disuruh memilih, Rama akan tetap memilih Ibu, keramat terindah bagi Rama, Bu…”
Bu Dianie mengelus lembut punggung sang anak. “Ibu meninggalkanmu pada wanita itu,” Ramadhan memandang pada sang ibu. “Di bulan seperti ini… saat mereka-mereka itu berpuasa,” ia tersenyum, menghela napas dalam. “Mungkin… karena itu mereka memberimu nama Ramadhan,” pemuda itu tersenyum, ia sudah pernah mendengar itu dari Bu Indri, namun mendengar sendiri dari mulut sang ibu… itu terasa lebih menenangkan.

Bu Dianie melepaskan rangkulannya. Mengusap kedua pipi sang anak.
Ramadhan tersenyum, ia bangkit berdiri sambil merangkul sang ibu.

“Eeh… bentar lagi kamu sahurkan, Rama?” tanya sang ibu.
Segala kegelisahannya seolah menguap setiap kali melihat senyum sang anak. Apa pun pilihan sang buah hati, ia telah ikhlas, meski berbeda keyakinan sekalipun.
Ramadhan mengangguk tersenyum, pelukannya semakin erat.
“Biar Ibu yang masakin, ya?” pinta sang ibu.
“Gak usah, Bu!” larang pemuda itu masih dengan senyuman, “Ibu istirahat aja, biar Rama yang masak!”
“Emang kamu bisa, Nak?” ibunya kembali tersenyum, menggoda sang buah hati.
“Hmm… Chef paling hebat yang pernah ada, autch..!” Ramadhan melenguh pelan saat ibunya mencubit perutnya.
“Kamu itu…” ujar sang ibu tertawa halus. Ramadhan kedipkan sebelah matanya, tersenyum lagi. “Biarlah Ibu yang masak, anaknya jago… Ibunya pasti lebih jago, kan?”

Ramadhan tertawa lepas menyanggupi permintaan sang ibu, begitu pun halnya sang ibu. Tawa yang begitu indah, yang selama ini belum pernah menghiasi rumah besar ini.

***

Part 5

Aku Lelah

Selama ibunya memasak makanan sahur untuknya, selama itu pula Ramadhan tak henti-hentinya tersenyum. Sesekali ia menyeka air mata yang tumpah begitu saja. Rasa syukur ini begitu berlimpah ia panjantkan pada Yang Maha Kuasa, mengawasi punggung sosok yang selama ini ia dambakan.

Bu Dianie menghidangkan masakan yang ia buat sepenuh hati ke hadapan sang anak yang duduk di meja makan.
“Sahurlah sayang, sahurlah Nak!” ujarnya lembut, satu tangan membelai halus pipi sang anak. “Semoga Tuhan memberkahimu, Nak!”
“Terima kasih, Bu!” Ramadhan layangkan senyum manis pada ibunya.
Bu Dianie tersenyum, kembali melangkah menuju dapur.

Sesaat setelah melafaskan doa, ketika hendak menyantap hidangan sahurnya, Ramadhan tergagap. Rasa sakit yang luar biasa kembali mendera dadanya. Wajahnya memerah tegang, keringat memercik deras di kepala dan wajah.

Yaa Allah…

Pemuda ini tersungkur, jatuh dari kursinya. Satu tangan memegang kuat dada yang berdenyut, satu tangan lagi mendekap mulut yang terasa hendak muntah.

“Rama!” Bu Dianie lepaskan pegangannya pada penggorengan, kuali jatuh menimbulkan suara gaduh. Berlari cemas menghampiri sang anak. “Rama, kamu kenapa, Nak?” suara dan wajah itu menyiratkan kekhawatiran yang teramat. “Ramadhan… jawab Ibu, Nak!” ia papah kepala sang anak ke pangkuannya.

Ramadhan gerakan tangan yang membekap mulut. Tangan itu berlumuran darah kental. Kembali ia tersedak. Sejumlah darah bermuncratan dari kedua lubang hidung, juga mulut.
Bu Dianie menangis tak tahu apa yang terjadi. Ia menyeka darah di mulut sang anak dengan bajunya.
Ramadhan tersenyum pasrah dalam pangkuan sang ibu.
“Maafkan Rama, Bu…” lelehan air mata kembali mengaburkan pandangannya. “Ra-Rama, tidak bisa lama menemani Ibu!”
“Sudahlah, Nak! Jangan teruskan!” Bu Dianie mendekap erat tubuh sang anak.
Tuhan, jangan lakukan ini padaku, jangan! 
Baru saja Engkau membuat hati ini tentram, jangan Kau uji lagi dengan kesedihan, jangan Tuhan, kumohon…

“Maafkan… Ra-ma!” suara Ramadhan kian terdengar halus dan terputus.

Yaa Allah, tubuh ini lelah… sudah mencapai batasnya. Terima kasih yaa Allah, Engkau sudah penuhi keinginan terbesar hamba, Engkau telah pertemukan hamba dengan keramat terindah, meski… meski hanya untuk tiga hari… Alhamdulillah…

“Bu,” Ramadhan menunjuk ke depan, “A-ada yang datang!”
Bu Dianie tahu apa yang disebutkan anaknya itu, ia semakin memeluk erat tubuh sang anak. “Jangan Rama, jangan!” isaknya, “Jangan buat Ibu takut, Nak! Jangan tinggalkan Ibu!”

“La ilaha ilallah… Mu-Muhammadar rasulullah…”

Seiring ucapan berakhir dan senyum manis yang mengambang, seiring itu jua tubuh Ramadhan terkulai tak lagi bergerak.

“Rama!” Bu Dianie menggoyang-goyangkan tubuh anaknya, “Hei!” ia tidak bisa melihat dengan jelas wajah sang anak dalam pangkuannya itu, deraian air mata tak kunjung berhenti. “Jangan tinggalkan Ibu, Nak!”

Namun berapa kali pun ia menggoyangkan tubuh itu, sebanyak apa pun ia menyeru nama sang buah hati, Ramadhan telah pergi.

“Rama…”
Jeritan panjang melengking tinggi, menyayat malam dalam keheningan subuh.

***

Epilog

Dan aku…
Bagai purnama gerhana,
Diibarat lautan kering… tiada tempat kulayarkan
Hasratku ini masih belum sempat… kubuktikan kepadamu, Ibu tersayang!
Mencurahkan rasa hati…
Oh! Ibu… kau kasih sejati
Kutaburkan doa… untukmu Ibu
Ampunilah dosaku!
Sejakku dilahirkan, hingga akhir hayatku…
Ibu…
***



Khabirr: (Asmaul Husna; Al Khabiir) Yang Maha Mengenal.
Syakuur: (Asmaul Husna; As Syakuur) Yang Maha Pembalas Budi.
-------------------------------------------------------------------------------------------------------------
TULISAN INI PERTAMA KALI DIPUBLIKASIKAN DI WWW.KOMPASIANA.COM, COPASING DIIZINKAN DENGAN MENCANTUMKAN URL LENGKAP POSTINGAN DI ATAS, ATAU DENGAN TIDAK MENGUBAH/MENGEDIT AMARAN INI.
-------------------------------------------------------------------------------------------------------------
Sumber syair: 1 & 2; Penggalan lagu ‘Untukmu Ibu’ by Exist.
Sumber ilustrasi; https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEhZ2SI0pdxkUN5zKNkkJAjoRbAEpXfjbliWHpmRTVhv6w6wI5mZEoPwrKhv4wG0jE8kBnBJjYAaoN0DG5KaYI26Ovk2nqq7RMp_8Qw9etWiMoyeWaijYmNVDa1TgKz65XhrViKvDLOC6aw/s640/IBU.jpg

6 komentar:

  1. Hah! Jadi ketularan bikin cerita penyebab mewek nih, Mas Ando...

    BalasHapus
    Balasan
    1. :D wkwkwk ngebales temen-temen yg udah bikin ane mewek hehehe

      Hapus
  2. Speechless, jalan hidup manusia siapa yang tau...

    BalasHapus
    Balasan
    1. :) yup, kita hanya menjalankan apa yang sudah ditakdirkan :) baikkah yang akan kita ambil? atau buruk yang kita pilih?

      Hapus
  3. Hadehhhh, ini keramat yang berhasil bikin saya mewek ituh??
    Ampun dah, sana sini dibikin mewek :(
    Minta ember dong om! huksss..

    BalasHapus
    Balasan
    1. :D haha iya Neng Putri
      baru dipindahin dimari

      wkwkkw lupa bawa ember, n lupa nyediain tisu wkwkkw

      Hapus