Jumat, 20 Maret 2015

Masih ya, Menjelek-jelekan Agama?

Masih ya, Menjelek-jelekan Agama?

[Renungan Jumat]

Katakan pada mereka;

Agama itu sifatnya sangat pribadi (hubungan antara Tuhan dan makhlukNya) tidak bisa dicampuri oleh lain makhluk, tidak pula orang tua kandung.

Agama itu hubungan sangat mendalam manusia pada penciptaNya, bukan untuk dinistakan, konon pula diperdebatkan.

Agama itu "makhluk" yang bersemayam di diri guna membendung sifat "binatang" di dalam diri manusia.

Agama itu panutan akan hidup yang lebih baik berdampingan (sebab manusia makhluk sosial), bukan hasut-menghasut, adu domba, dan caci-maki, apalagi sampai membunuh.

Agama itu bukan “barang” ataupun sarana untuk memperkaya harta diri, ianya jalan untuk memperkaya amal baik perbuatan, kehormatan, dan marwah diri.

Agama itu bukan “makhluk” yang selalu dijadikan kambing hitam perbuatan, penghalal semua tingkah laku, ambisi, dan keegoisan. Ianya ada untuk melunakkan kekerasan hati, kebekuan hubungan, jalinan tali merah sebagai sesama makhluk Tuhan meski berbeda warna, bahasa, dan tubuh.

Dan bila Agama tidak mampu merubah sifat/kelakuan/keperibadian seseorang, itu bukanlah soal Agama tersebut yang buruk, tapi... seseorang yang menerima Agama tersebutlah yang berhitam kalbu dan berpicik pikiran.


Katakan pada meraka;

Bukankah kita berpijak di bumi yang sama?
Tidakkah kita berpikir, kita sama menghirup udara kehidupan yang sama?
Maukah berpikir bila kita meminum air yang sama?
Lihatlah, bahwa kita berbagi cahaya mentari yang sama!
Menikmati rona bulan yang sama!
Memandang langit yang sama!
Lantas kenapa kita tidak bisa berbagi kehidupan yang sama?
Kebahagiaan yang sama?


Bila keangkuhan, egois, dan fanatisme masih meraja dalam diri, lantas apa gunanya kita menyunjung agama? Tidakkah kita sama saja dengan binatang? Atau bahkan lebih buruk dari pada itu?

----------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------
TULISAN INI PERTAMA KALI DIPUBLIKASIKAN DI WWW.KOMPASIANA.COM, COPASING DIIZINKAN DENGAN MENYERTAKAN URL LENGKAP POSTINGAN DI ATAS, ATAU DENGAN TIDAK MENGUBAH/MENGEDIT AMARAN INI.
----------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------
 Sumber ilustrasi; http://stat.ks.kidsklik.com/statics/files/2012/04/1333426021448690489.jpg

Rabu, 18 Maret 2015

Bahasa Paling Jujur

Bahasa Paling Jujur


Sahabat, pernahkah sahabat menggunakan salah satu kecanggihan teknologi? Yang sedikit banyaknya membantu sahabat dalam menulis satu artikel? Tugas dari guru di sekolah mungkin? Menerjemahkan bahasa asing? Atau hanya sekadar iseng?
Saya sendiri sering menggunakan itu, yang pada akhirnya membuat saya menyadari akan satu hal (entah ini memang kebenaran yang terpampang, atau hanya perasaan saya saja).
Teknologi itu sendiri adalah; Google Translator.

Inilah yang membuat saya terpana dan terkagum-kagum pada bahasa persatuan kita, Bahasa Indonesia. Sebab, dalam Bahasa Indonesia; apa yang ditulis dan apa yang dieja, itulah yang dibaca.

Berikut saya contohkan apa yang saya temukan. Mari kita ambil perbandingan dengan kata; apa?  Dan dengan arti/makna kata yang sama pula. Agar lebih adil memperbandingkannya.

1. Dalam Bahasa Indonesia;

Ditulis (tertera) : APA

Dieja (berbunyi): A-Pe-A

Dibaca (terdengar): APA

Tidak ada yang berubah, dibaca lurus saja sesuai dengan apa yang tertera, apa yang berbunyi, seperti itulah yang terdengar.

Ini sama saja dengan kita mengatakan; Hei… Di sana ada telaga yang indah. Airnya jernih, bening lagi menyegarkan.
Begitu didatangi, ternyata benar. Telaga itu memang indah dengan airnya yang jernih, bening, dan menyegarkan.

2. Dalam bahasa negara *** #1

Kata; apa? Dalam Bahasa Negara Ini tidak mengalami perubahan signifikan. Tetap menjadi; apa?

Ditulis (tertera): APA

Dieja (berbunyi): E-Pi-E

Dibaca (terdengar): APE (E dengan nada tebal)

Saya pikir, kalaulah memang mengeja kata tersebut seperti di atas, kenapa tidak membacanya dengan seperti apa mereka mengejanya?
Saya pastikan itu akan menjadi; EPE

Ini sama saja dengan kita mengatakan; Hei… Di sana ada telaga yang indah. Airnya jernih, bening lagi menyegarkan. 
Begitu didatangi, ternyata telaga itu memang indah. Airnya memang jernih, tapi tidak bening, dan justru terasa panas saat disentuh.
Di mana tadi kata menyegarkannya?

3. Dalam bahasa negara *** #2

Kata; apa? Dalam Bahasa Negara Ini akan berubah menjadi; what?

Ditulis (tertera): WHAT

Dieja (berbunyi): Double U-Ach-E-Ti

Dibaca (terdengar): WAT (di belahan lain malah terdengar; WOT. O dengan nada tebal)

Jika mengikuti apa yang sebutkan di poin dua, kenapa mereka tidak membacanya lurus saja?
Saya pastikan itu akan menjadi; UUEET.
Sebab, Double U; berarti U ganda, dan ejaan signifikan H=Ach yang ditulis =Eigh yang terdengar.

Ini sama saja dengan kita mengatakan; Hei… Di sana ada telaga yang indah. Airnya jernih, bening lagi menyegarkan. 
Begitu didatangi, telaga itu memang indah tapi hanya sekitarnya saja. Sebab, airnya tidak jernih, alih-alih bening, dan tidak menyegarkan alias kubangan lumpur.

4. Dalam bahasa negara *** #3

Kata; apa? Dalam Bahasa Negara Ini akan menjadi; que?

Ditulis (tertera): QUE

Dieja (berbunyi): Ku-U-E (ejaan huruf Q=Cu yang ditulis=Ku yang terdengar)

Dibaca (terdengar): KE

Kenapa tidak membaca sesuai ejaan?
Saya pastikan akan sama dengan Bahasa Indonesia, karena akan terdengar; KUE (Sebab huruf K dan Q jika dilafalkan tidaklah terdengar jauh berbeda).

Ini sama saja dengan kita mengatakan; Hei… Di sana ada telaga yang indah. Airnya jernih, bening lagi menyegarkan. 
Begitu didatangi, telaga itu memang indah. Tapi, ternyata tidak ada apa-apanya, alias telaga kering.



Bila memang harus menghilangkan satu-dua huruf (yang tertulis) dalam pengucapannya, kenapa harus ditulis? Bukankah ini suatu yang mubazir?

Saya terpaku, terpana begitu menyadari itu. Senyum-senyum sendiri seperti orang sinting. Saya bangga, sangat bangga pada bahasa pemersatu (lebih dari seribu dua ratus suku-budaya) dari Sabang sampai Merauke, dari Miangas hingga Pulau Rote, dalam gugusan Nusantara ini, Bahasa Indonesia.

Saya kira nenek moyang kita telah amat sangat memperhitungkan hal tersebut (baca: bahasa kita).
Sebagai buktinya; setiap orang asing yang datang ke Indonesia, mereka hanya butuh dua-tiga bulan saja untuk bisa mengerti dan menggunakan Bahasa Indonesia. Bahkan ada yang tidak membutuhkan waktu selama itu (dari apa yang pernah saya lihat selama ini).
Bandingkan dengan orang Indonesia yang harus ke negara mereka! Saya rasa akan butuh waktu yang lebih lama lagi untuk mengerti bahasa negara tersebut.

Kenapa?
Menurut saya, itu penjelasan yang gampang; orang-orang kita (misal; ke Inggris) akan dipusingkan dengan penggunaan kata kerja (verb-one, verb-two, verb-three) belum lagi kata kerja tak beraturan. Dan masih menurut saya, itulah yang menjadi kelemahan orang kita bila harus ke negara mereka. Salah pengucapan saja akan sangat fatal akibatnya. Bahkan bila hanya satu ejaan saja yang bernada lain.
Bandingkan dengan Bahasa Indonesia! 
Bahasa yang tidak harus dipusingkan dengan tetek-bengek verb-one hingga kata kerja tak beraturan. Kendati mereka (orang asing itu) pengucapannya tidak sempurna (terdengar aneh) namun orang Indonesia masih bisa memahami maksud ucapan mereka itu sendiri.

contoh (Bahasa Asing): Peace (dibaca; Pis. Padahal yang tertera Pes) di mulut orang awam kita, ini akan terpeleset menjadi piss 
Saya bisa bayangkan orang kita kena tampar oleh orang asing itu, minimal pandangan sinis.

contoh (Bahasa Indonesia): Belum, sebagian orang asing itu mengucapkan dengan kata; Blum, parahnya ada juga yang mengucapkan; Balum, ataupun Bilum.
Kenyataannya, orang Indonesia tetap mengerti maksud mereka tersebut, tanpa harus menampar apalagi pandangan sinis.


Itulah kenapa saya tersenyum bangga pada nenek moyang kita, dan bahkan diproklamirkan pada kongres pemuda tanggal; 28 oktober 1928 di Batavia (baca:  Jakarta).
Termaktub dalam butir ketiga.

Butir ketiga: Kami putra dan putri Indonesia, menjunjung tinggi bahasa persatuan, Bahasa Indonesia.


Sejatinya, bahasa adalah cara berkomunikasi paling klasik yang bersifat universal. Antara satu orang dengan orang lainnya. Dan masih menurut saya, yang namanya universal pastilah sesuatu yang dengan gampang/mudah diterima nalar/logika.
Jika bahasa saja membuat kita pusing (dipersulit), bagaimana mungkin kita bisa mengerti/menyampaikan maksud dan keinginan?
Bagaimana mungkin kita akan mengerti maksud orang lain?

Tidak akan mungkin rasanya akan ada kata pepatah yang berbunyi; Sedencing bak besi, seciap bak ayam.

Namun, disaat bersamaan (saat saya tersenyum bangga) saya terhenyak mendapati kenyataan yang terpampang. Terdiam seribu bahasa, malu.

Kenapa?

Sahabat, boleh jadi Bahasa Indonesia adalah satu-satunya bahasa paling jujur, tidak munafik. Namun, sayang seribu kali sayang, justru orang-orangnyalah (baca; kita semua) yang tidak jujur dan munafik.
Yaa, meski tidak semuanya begitu.

Ini sangat membuat saya bertunduk muka.
Sahabat sebangsa setanah-air dan sebahasa, akankah kita kalah oleh bahasa sendiri?


Salam dari saya yang semakin mencintai Bahasa Indonesia
Ando Ajo

-------------------------------------------------------------------------------------------------------------
TULISAN INI PERTAMA KALI DIPUBLIKASIKAN DI WWW.KOMPASIANA.COM, DENGAN JUDUL ARTIKEL; BAHASA DAN KITA. COPASING DIIZINKAN DENGAN MENYERTAKAN URL LENGKAP POSTINGAN DI ATAS, ATAU DENGAN TIDAK MENGUBAH/MENGEDIT AMARAN INI. 
-------------------------------------------------------------------------------------------------------------
Sumber ilustrasi; http://optimasi.nurdihafidz.com/wp-content/uploads/2011/08/bahasa-indonesia-course.jpg 

Minggu, 15 Maret 2015

Aku Egois?

Aku Egois?


Egois!
Siapa?
Kamu?
Bukan! Terus?
Aku?! Ha-ha…
Yang benar saja!
Stop! Cukup!
Fine… aku egois!
Puas?
Benar, kamu benar! Aku memang egois
Kenapa? Ada masalah dengan itu?
Lihat diriku?!
Kenapa bukan dirimu?
Fine!
Undanganmu?
Iya, aku terima! Terus?
Aku tidak datang! Benar!
Salah?
Fine, aku salah!
Lalu?
Hanya karena itu?!
lihat dirimu!
Iya… kamu!
Pernah mengunjungiku?
Ha-ha… mikir!
Egois?
Kau bercanda!
Eeh… lagi?
Fine, aku egois!
Masalah dengan itu?

---------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------
 TULISAN INI PERTAMA KALI DIPUBLIKASIKAN DI WWW.KOMPASIANA.COM, COPASING DIIZINKAN DENGAN MENYERTAKAN
URL POSTINGAN DI ATAS, ATAU DENGAN TIDAK MENGUBAH/MENGEDIT AMARAN  INI.
---------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------
Sumber ilustrasi; http://info-bogor.com/wp-content/uploads/2013/02/Jadilah-egois-untuk-6-hal-ini.jpg

Gurindam Hati

Gurindam Hati


Kalaulah puspa menghias lentera
'Kan kanda tebas ilalang menghalang pandang
Bilakan kulikat tiadalah kentara
Biarlah berkias syair kanda berdendang
*
Dinda umpama si bulan penuh
Biaskan lembut cahya nan temaram
Tersenyum manis wajah nan teduh
Kianlah insan harapkan malam
Dan... kanda pula pungguk merindu
Harap purnama jatuh dalam pelukan
Niat di hati sudahlah tentu
Jangankan diri... nyawa pun kanda berikan
*
Kanda umpama biduk patah kemudi
Merunsing diri tiada ke tepian
Tiada lain harap si badan diri
Ianya purnama seorang tertuju impian
*
Biarkan punai meretas hutan
Masih kanda jaga balam di kandang
Biarlah niat di hati tersampaikan
Agar tiada lagi resah berkalang
Lelah kerakap tumbuh di batu
Sedangkan sirih tumbuh berjengkal
Rindu dan harap pada dinda yang satu
Jalinkan cinta kasih berlabuh halal

***
-----------------------------------------------------------------------------------------------------------------
 TULISAN INI PERTAMA KALI DIPUBLIKASIKAN DI WWW.KOMPASIANA.COM, COPASING DIIZINKAN DENGAN MENYERTAKAN URL LENGKAP
TULISAN DI ATAS, ATAU DENGAN TIDAK MENGUBAH/MENGEDIT AMARAN INI.
-----------------------------------------------------------------------------------------------------------------
Sumber ilustrasi; https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEjzkouaOuZSkb69bqY4SkJ-honK1hmcxebdiAULyxHUbu-6Vu-RB8Yd1xJcQAzkK8CBdmfAsHjajzlWNHBlaAnybosuaoeP2bOPQ_L1BrJQfohq-lPGYCSkiXRcKTA2VpamEtdvdOXOh1G4/s1600/5.jpg

Rabu, 11 Maret 2015

Attitude Changes Everything

Attitude Changes Everything

Mandata Manurun Malereang Mandaki


Sebelum saya menuliskan unek-unek ini, izinkan saya meminta maaf terlebih dahulu. Sebab saya yakin, sahabat semua mungkin merasa ter-guru-i, sebab saya terkesan menggurui.
Sebab itu saya meminta maaf.
Pada sahabat sepantaran, sahabat yang lebih tua, pun sahabat yang lebih kecil (dalam usia). Tidak menyebut nama, tanpa membilang gelar.
Bila tersinggung kata ucapan, jika tersenggol dalam tulisan, hanya satu pinta badan, mohon maaf dalam kerelaan.

Dalam melakukan kegiatan sehari-hari, sangatlah besar peluang seorang individu ‘bersinggungan’ dengan individu lainnya. ‘Bersentuhan’ dalam setiap hal. Entah itu orang tua pada anak, adik pada kakak, tetangga pada tetangga, hingga dalam lingkup nasional – mungkin juga internasional.
Baik secara nyata – bersentuhan dalam arti sebenarnya – entah itu ucapan, juga perbuatan. Bahkan hingga yang hanya berupa tulisan – dalam semua media sosial yang saat sekarang ini banyak sekali ragamnya. Sebut saja dua raksasanya; Facebook dan Twitter.

Di sini (sekali lagi maaf) saya hanya sedikit menyorot hal yang sering (mungkin) kita abaikan. Yakni; Sikap dan Ucapan. Sebab dua hal inilah yang paling banyak (menurut pandangan saya) menyulut pertengkaran. Dari adu mulut, caci-maki di status media sosial, komentar-komentar yang (maaf) tidak pada tempatnya, hasutan-hasutan berujung pada fitnah dan provokasi, perkelahian, hingga (maaf) kehilangan nyawa.

“Bukan batu besar yang menghalangi perjalanan, melainkan kerikil kecil dalam sepatu”

 
Saya teringat beberapa hal yang (dulu) sering saya dengar dari orang-orang tua di kampung, juga dari orangtua saya sendiri. Yakni kata-kata pepatah.

“Lidah tiada bertulang, ia umpama pisau bermata dua”, atau yang sedikit (menurut saya) lebih kasar; “Mulutmu harimau-mu, yang akan menerkam kepalamu sendiri”

Saya sangat yakin, dalam setiap sendi adat budaya masing-masing suku di Indonesia ini, pastilah mempunyai aturan – undang-undang negeri/adat – perihal bagaimana hidup bermasyarakat. Sebab manusia bukanlah makhluk individu. Kita memerlukan orang lain, pun begitu jua sebaliknya.
Rezeki tidak datang atau jatuh begitu saja dari langit (sebab ini bukan dunia dongeng). Rezeki kait-mengait, sangkut-menyangkut dari satu tangan ke tangan yang lainnya.
Sebab itu saya yakin, jika dalam setiap adat-istiadat di Indonesia memiliki aturan tentang itu. Bagaimana berbicara dan bersikap pada seseorang, entah itu orang terdekat, orang lain hingga seseorang yang baru ditemui.

Orang tua saya dulu mengajarkan empat hal pada saya (terkait hal di atas), yakni; Mandata, Manurun, Malereang, Mandaki. (Bahasa Minang – Sumatera Barat)
Dalam Bahasa Indonesia; Mendatar, Menurun, Melereng (Miring), Mendaki.

Empat hal itu adalah yang selalu diingatkan orang tua saya kepada setiap anak-anaknya, terkhususnya pada anak-anak mereka yang akan merantau ke negeri orang.

“Cucuran atap, jatuhnya ke pelimbahan jua”
“Buah jatuh tidak jauh dari batangnya”


 
Mandata (Mendatar): Bagaimana berbicara dan bersikap pada seseorang yang sepantaran/seusia/sama besar.
Dalam hal ini, tentulah cara bicara dan bersikap lebih ke arah, gurauan, candaan yang terkadang melewati batas, atau istilahnya; sama kasar. 

“Kawan samo batangka”
Dalam Bahasa Indonesia: Teman bersenda-gurau.

Manurun (Menurun): Berbicara dan berperilaku pada seseorang yang usianya di bawah kita.
Jika pada seseorang yang lebih kecil, entah itu; adik, anak, menantu, bawahan, dll. Tentulah sangat berbeda gaya-nya (penyesuaian). Boleh dibilang, lebih halus dan lembut. Jikapun bergurau/bercanda tentulah jauh dari kata kasar sebagaimana jika bercanda dengan teman (lingkup; Mandata).

“Laruiknyo aie yo ka hilia”
Bahasa Indonesia: Larutnya (mengalirnya) air ya ke hilir.
Maksudnya: Apa yang didapat yang tua, diajarkan pada yang muda. Sengaja ataupun tidak. Langsung maupun tidak langsung.

Malereang (Melereng/Miring): Ini adalah sikap dan cara bicara pada seseorang yang baru dikenal/asing. Bisa di jalan, pasar, dsb.
Dalam konteks ini, haruslah seseorang itu ‘menyimpan’ sedikit kecurigaan. Bukan berarti menuduh/dakwa atau lainnya yang berkonotasi negatif. Sikap ini diambil sebab orang baru saja kita kenal.
Menjaga jarak, namun tidak pula menjauh. Dalam berbicara pun sedapat mungkin mengambil sikap ‘pelit’ alias tidak banyak bicara.
Jika mampu, janganlah diajak bercanda. Sebab “Kepala boleh sama hitam, tapi isinya berbeda-beda”

Mandaki (Mendaki): Tata-cara berbicara dan bersikap pada seseorang yang lebih tua.
Dan saya rasa, inilah yang paling sering diabaikan. Entah dalam artian sebenarnya (antara yang muda pada yang tua) atau juga dalam pandangan kebudayaan setempat (sebab ada beberapa orang yang dalam adat masing-masing dipandang lebih tinggi – dituakan).

“Cando manantang matohari”
Bahasa Indonesia: Umpama menantang matahari.
Maksudnya: Membantah dan menentang nasihat orang yang lebih tua, pada akhirnya yang rugi diri sendiri.

Sahabat, tentulah tidak dimungkiri juga jika; Dalam hal bersikap dan bertutur kata, pastilah ada satu-dua orang yang akan tersinggung – dalam hal dan karena apa pun jua itu. Sebab “Tak ada gading yang tak retak” pun jua “Sepandai-pandainya tupai melompat, sesekali akan jatuh jua”. Mungkin orang akan tersinggung dengan tingkah dan ucapan kita, mungkin juga kita yang melakukan kesalahan. Baik besar maupun kecil. Sengaja ataupun tidak.

“Baik kata kita, belum tentu baik kata orang.”

Pada akhirnya, tentulah berpulang lagi pada diri kita. Menyingkapi ketersinggungan orang lain, mengoreksi kesalahan diri. Berlapang hati memberi maaf. Ksatria mengakui kesalahan, meski pada seseorang yang lebih kecil sekalipun.

Jika itu dapatlah (semoga saja) terlaksana, barulah di dapat;
“Ke bukit sama mendaki, ke lurah sama menurun”
“Sedencing bak besi, seciap bak ayam”
“Berdiri sama tinggi, duduk sama rendah”
“Ringan sama dijinjing, berat sama dipikul”

Sikap dan ucapan mampu mengubah sesuatu. Dari baik menjadi buruk, dari nista menjadi berharga.


“Meminta maaf itu mulia, lebih mulia lagi memberi maaf”

----------------------------------------------------------------------------------------------------------------
TULISAN INI PERTAMA KALI DIPUBLIKASIKAN DI WWW.KOMPASIANA.COM, COPASING DIIZINKAN DENGAN MENYERTAKAN URL LENGKAP POSTINGAN DI ATAS, ATAU DENGAN TIDAK MENGUBAH/MENGEDIT AMARAN INI.
----------------------------------------------------------------------------------------------------------------
Sumber ilustrasi; https://esfandynamic.files.wordpress.com/2013/10/sopan-santun2.jpg

Jumat, 06 Maret 2015

Lepas

Lepas


Lepas lepaskanlah sudah
Jangan kau harap kasih menghilang
Tidakkah kau lelah terus tengadah
Menunduklah lihat tarian ilalang
Dengarkanlah bayu berhembus semilir
Di padang rumput hijau terhampar
Nikmati riam bening banyu mengalir
Di paruh waktu di mana hati terdampar
Ingatkan ingatkanlah sayang
Pada hati terluka menggenang
Biarkan dia pergi dan menjadi bayang
Hilang hilang perlahan dan tenang
Kini bakar semangat diri
Bangkitkan semangat hati yang tersakiti
Dan ingatlah jika kamu tidak sendiri
Masih banyak hati bersedia menanti


---------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------
TULISAN INI PERTAMA KALI DIPUBLIKASIKAN DI WWW.KOMPASIANA.COM, COPASING DIIZINKAN DENGAN MENYERTAKAN URL LENGKAP POSTINGAN DI ATAS, ATAU DENGAN TIDAK MENGUBAH/MENGEDIT AMARAN INI.
---------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------
Sumber ilustrasi; http://3.bp.blogspot.com/-hrhxwlStCTw/T74ejoNExRI/AAAAAAAAAwQ/sYf-mUu4tO8/s1600/1e.jpg

Selasa, 03 Maret 2015

Ada Apa Dengan (Cinta) Negeriku?

Ada Apa Dengan (Cinta) Negeriku?


Pak… aku ingin bertanya
Ke mana hilang bela nusa?
Mengapa tak henti durja melanda?
Haruskah picik badan di selaksa cerita?
Atau NKRI harga mati hanya bualan semata?
Pak… ini semua karena apa?

Pak… lihatlah pertiwi kian merana
Garuda lusuh berdarah derita
Bagaimana anak cucu akan percaya?
Bersilat lidah meski nyata berbeda
Pak… ada apa dengan ini semua?

Aku hanya ingin mengatakan
Lihatlah sekeliling lingkungan
Di manakah engkau mencari makan?
Tidakkah di tanah pertiwi ini yang kian rentan
Lantas kenapa carut marut dihadirkan?
Tidakkah cukup semua materi melilit badan
Sedang yang lain kurus tak diperhatikan
Pak… kenapa semua ulah tak dihentikan?
Apa kalian tidak mencintai Indonesia?

Bu… aku ingin meminta
Pada rahimmu awal semua cerita
Isikan benih terbaik yang kau punya
Bukan rahwana apalagi iblis berbaju manusia
Besarkan penuh kasih cinta
Hingga nanti berguna bagi nusa bangsa
Dan garuda bebas bentangkan sayap mengudara
Ibu pertiwi tersenyum manis di ujung cerita


-------------------------------------------------------------------------------------------------------------
TULISAN INI PERTAMA KALI DIPUBLIKASIKAN DI WWW.KOMPASIANA.COM, COPASING DIIZINKAN DENGAN MENYERTAKAN LINK LENGKAP POSTINGAN DI ATAS, ATAU DENGAN TIDAK MENGUBAH/MENGEDIT AMARAN INI.
-------------------------------------------------------------------------------------------------------------
sumber ilustrasi; https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEjAOQcglFfLbwMQ94p2Zz69VU6wlJXxDZNfH0qhyphenhyphenNM6619eI52T1qbqe_bQDQpXjp-woHqke88Mq9xUYCS_WFOrj8nlSa7SzEdW8gjWwBoNYlh4kXry4TFI_UndZQPBI8zgzxmlawU7erY/s1600/indonesia_by_pistonbroke2.jpg