Sabtu, 30 Januari 2016

Member FC - Kite Lagi Liburan [Chapter 9 - 10]


Chapter 9

Fitri oh Fitri


“Hahaha… Yang ada-ada sajalah Abang ini. Tak mungkinlah cinta bisa didapat lewat mimpi,” tepis Fahmi, tidak percaya dengan segala hal yang baru saja terjadi.

Ketujuh orang tersebut berada di ruang tengah. Erri, Rahab, Conni, Lipul dan Buyut telah berganti pakaian. Tidak ada lagi yang terlihat hitam gosong, tidak pula asap tipis yang mengepul, pun dengan wajah mereka.
(Lhoo?! Kok bisa rambut mereka kembali utuh, pan tadi gosong? Waah waah sakti nian euy)

“Tau tuh, si Erri,” dengus Rahab mengucek-ucek rambutnya yang masih basah.

“Mang, tuh kertas mantra lu beli dimana sih, Ri?!” tanya Buyut.

“Di pasar pan, tempat kite dikejar-kejar si bule,” jawab Erri. “Ama pedagang India,”

“Hee…?!” Buyut mengernyit.

“Memangnya siapa yang mau Bang Rahab santet?” tanya Fahmi.

“Bukan santet Farhat, eeh Fahmi,” timpal Erri.

“Hehehe, sama saja nampak sama aku, Bang,” tawa Fahmi.

“Itu, si Rahab lagi kesengsem ma cewek yang namanya Desy,” sahut Conni menggoda si Rahab.

“Desy?” ulang Fahmi. “Eiih, jangan pulak Abang bilang dia pake nama Desol?!”

“Lhaa, kok sampeyan niku ngerti?!” Conni sedikit heran.

“Baah, yang kenallah aku, Mbak, tentunya,” senyum Fahmi. “Kenal dekat malah,”

“Ouh, ya?” Rahab kembali bersemangat. (Hehh, dapat angin lagi dah tuh)

“Sama Bapaknya itu, aku ini satu marga Bang,” jawab Fahmi. “Jadi, ya bisa dibilang Bapaknya itu Tulang aku Bang..” (Tulang = Paman)

“Ouh, yaaa…?” wajah Rahab semakin berbinar-binar.

“Besok pagi biar aku jelaskan sama Tulang Granito, semuanya,” Fahmi menawarkan diri. Dan lagi, ia merasa kasihan pada si Rahab yang adalah bos pemilik kapal yang ia rawat walau pun inilah kali pertama dia bisa bersama-sama bosnya tersebut. “Jendral tenang saja, oke.”

Rahab kembali mendapat angin segar, tersenyum puas sembari menepuk-nepuk punggung si Fahmi. Begitu pun halnya dengan yang lain, utamanya si Lipul. Semoga besok si Fahmi dapat memberi pengertian pada Om Granito setidaknya meluruskan perihal kalung emas milik Tante Selsa yang ditemukan si Lipul. Konon pula masalah si Desy dengan si Rahab. (Yaah semoga, ane ikut doain kok, tenang aja^^)

Ponsel dalam kantong celana si Buyut berdering, panggilan masuk dari seseorang. Buyut mengeluarkan ponsel dan menjawab panggilan tersebut. Di layar ponselnya tertera nama seorang perempuan; Mimin.

“Hai, mbeb,” Buyut tersenyum manis. “Iya mbeb, gak tau nih mbeb… E-eeh?!” wajah Buyut berubah. Sedih ada, takut ada, cemas juga ada. “Mbeb, please…? Mbeeb jangan mbeb, pliss…”

Buyut tercenung memandang layar ponsel, panggilan itu telah berakhir hanya meninggalkan nada tuut-tuut-tuut berkepanjangan.

“Huaaa…”

Tiba-tiba saja Buyut menangis kencang, meraung sembari selonjoran di lantai ruangan. Kontan saja keenam lainnya, sama terperangah. Sedikit pun tidak mengerti.

“Huaaa… Mbeb…”

“Yut…!” tegur Erri. “Apa-apaan sih, lu? Tengah malam gini tereak-tereak gak karuan,”

“Huaaa… Mbeb,”

“Woi-woi-woii, Apaan sih?! Apa yang terjadi?” Rahab mengerutkan dahi.

“Kesambet setan mana kamu itu?!” timpal Conni.

“Huaaa…” tangis Buyut kian menjadi-jadi. “Hiks, hiks, si Fitri mutusin gue. Hiks, hiks, hiks…” Buyut terisak-isak. Kadang pelan, kadang lantang.

Aneh, udah kek orang sedang nyanyi saja pake titi nada segala. (Oops, sorry)

“Ya elaahh, Yut…” tukas Rahab. “Pan lu tinggal cari gantinye,”

“Huaaa…” Bukannya menjadi tenang, tangisan Buyut semakin keras, semakin kencang.

Tiba-tiba Buyut berdiri dibarengi tangisnya yang benar-benar aneh terdengar di telinga. Ia berlari keluar sambil menyambar gitarnya, yang lain tidak bisa berbuat apa-apa. Mereka masih mendengar suara tangis Buyut yang diputus cintanya oleh sang kekasih, Fitri.

“Eeh, gak gawat tuh?” ujar Rahab. “Jangan-jangan tuh anak berpikiran pendek lagi,”

“Iye lu bener,” Erri menjadi cemas pada keadaan Buyut.

“Ng-nggak mu-mungkin laah!” timpal Lipul. (Perasaan ente baru ngomong deh, Pul. Sedari tadi kok gak da suaranya coba?)

“Emangnya lu…!” semprot Rahab.

“Huu, ditolak gak ditolak, lu mah gak ada sedih-sedihnya,” sambung Erri mengomeli si Lipul.

“Yo wes, mbok ya disusul wae de’e,” sahut Conni cemas.

Tanpa membuang masa, mereka keluar menyusul Buyut yang sudah hilang entah ke mana, begitu juga halnya dengan si Fahmi dan si Nandar.

Berenam mereka mencari keberadaan si Buyut, bukan apa-apa dalam keadaan seperti si Buyut sekarang ini tentu saja semua hal menjadi mungkin.

***

Buyut bernyanyi sedih di tepian pantai yang terlihat semakin temaram saja (ahh, pan ntu karena ente lagi sedih doang) Ia duduk di atas sebuah potongan batang pohon yang telah mati sembari memetik gitar kesayangannya. Wajahnya begitu sendu, sedih-sedan, sayu dan kuyu, pucat pasi (lhoo..??) kedua pipinya pun basah berlinangan air mata. (Oouuw, kacian)

Fitri ouh, Fitri ouh…
Fitri, I miss you… hiks hiks…
Fitri ouh, Fitri ouh…
Hiks hiks... Fitri, I love you…

Seperti itulah senandung yang ia ratapi, walaupun terdengar gajebo banget namun itulah perasaannya. Itulah yang sekarang ia rasakan, curahan hatinya.

Ahh, sepertinya malam ini akan berlalu dengan begitu banyak kesedihan.

***

Chapter 10

Sedih Yaa?


“Lu ke mana semalaman Yut?” tanya Erri. “Kita semua nyariin lu.”

Buyut hanya berdiam diri saja sembari memeluk gitar kesayangannya, duduk melamun memandang jauh, tak bergairah, di atas kursi rotan di beranda depan vila.

Di pagi hari ini kelima sahabat tersebut tidak melakukan jogging seperti hari-hari sebelumnya. Mungkin karena situasi yang dari kemaren hingga pagi ini suasana hati mereka yang sedang kurang bagus, khususnya Rahab dan si Buyut yang baru diputus sang pacar yang menjadi penyebabnya.

“Gue gak ke mana-mana,” jawab Buyut datar, sementara pandangan matanya terus menerawang jauh.

“Semaleman kite nyariin lu,” ujar Rahab. “Bukannye nape-nape Yut, kite takut tali puser lu ternyata pendek, dan lu ngelakuin sesuatu nyang buruk.”
(Tali puser di sini lebih bermakna pada akal dan pikiran, hehe…)

“Buruk gimana?” dengus Buyut. “Mang lu-lu pikir gue gak punya Tuhan, apa?”

“Bukannya gitu…” timpal Conni berusaha bersabar mendengar ucapan ketus si Buyut. “Kita udah lama temenan, jadi wajar kita mengkhawatirkan kamu itu.”

Buyut mendengus pelan, ia terdiam. Ia merasa bersalah berbicara seperti tadi, dan kenyataannya keempat orang tersebut memanglah sahabat-sahabat sejati bagi dirinya, dan apa yang diucapkan si Conni barusan sangat benar adanya.

“Kalo lu ngerasa gitu,” timpal Erri. “Yaa. Baguslah.”

Lipul hanya menganggguk-anggukan. Bukan apa-apa, jika ia ikut ngomong takutnya akan menjadi lain sebagaimana yang pernah terjadi saat di rumahnya Om Granito, maklum, kan dia gagap.

 “Gue,” ujar Buyut sesaat kemudian. “Cuman sedih aja, napa Fitri bisa kek gitu? Mutusin gue. Tapi, ya sudahlah. Kalo disuruh milih antara cinta dan persahabatan,” Buyut berpaling dan menatap satu per satu sahabat-sahabatnya. “Gue pilih lu-lu pada,” ujarnya dan kembali menerawang jauh ke angkasa sana. “Sahabat-sahabat gue.”

Erri, Rahab, Conni dan Lipul sama tersenyum senang, puas jika ternyata si Buyut tidak berpikiran sempit, dan walaupun tadi ia sempat berujar ketus namun pada akhirnya bisa mengerti dengan kekhawatiran mereka, itu sudah cukup sebagai pertanda jika persahabatan yang terjalin selama ini sangat mengambil peran yang positif.

Dan seharusnya, begitu itulah gambaran persahabatan semestinya. Saling mendukung satu sama lain, tidak saja dalam kesenangan dan kegembiraan namun juga di saat mana kesedihan dan duka mendera. Saling mengingatkan jika satu berbuat salah dan belajar memaafkan kesalahan satu sama lainnya. Belajarlah jujur pada diri lebih-lebih pada sahabat sendiri apalagi pada orang lain.

(……………………………………….no comment)

Buyut bangkit dari duduknya, gitar kesayangan ia panggul di belakang punggung. Dan kemudian melangkah setengah tak bergairah.

“Mo-mo ke ma—ne Yut?” tanya Lipul.

“Gue mo nenangin pikiran,” jawab Buyut tanpa berpaling.

“Woi,” seru Erri. “Jangan jauh-jauh. Habis asar kite mo balik pan.”

“Iyee, gue tau.” jawab Buyut lemah.

Erri, Rahab, Conni, dan Lipul sama mengawasi langkah si Buyut yang semakin jauh, menuju ke arah tepian pantai, hingga mereka tidak lagi melihat sosok si Buyut.

“Gak-gak ape-ape tuh?” tanya Lipul pada yang lain.

“Udah,” tepis Erri. “Gak usah terlalu khawatir, biar die nenangin diri sendirian.”

“Eeh, gue laper nih,” ujar Rahab. “Kite nyari sarapan yuuk!”

Erri, Conni, dan Lipul sama mengangguk setuju. Jadi keempat orang ini sama melangkah meninggalkan beranda villa tersebut.

(…smile you don’t cry... ouh wuhuu… smile you don’t cry… oouh goodbye… Fitri aku rapopo…)


Mari kita lihat si Fahmi dan si Nandar yang tengah menemui Om Granito.

“Ooh, jadi begitu ceritanya,” ujar Tante Selsa.

“Iya Nantulang,” jawab Fahmi. (Nantulang = Bibi, Tante)

“Tuh kan, Pa,” sahut Desy. “Papa, sih,” ujarnya cemberut, sementara Om Granito mengangguk-angguk memahami apa yang tadi dijelaskan oleh si Fahmi. “Main marah-marah aja.”

Fahmi telah menuntaskan tugasnya (asiik…) menyelesaikan kesalahpahaman Om Granito terhadap Rahab dan kawan-kawan, lebih-lebih pada si Lipul.

“Hmm… baiklah, Fahmi,” ujar Om Granito kemudian. “Kau pergilah bilang sama bos kau si Rahab itu. Jugak si—siapa itu yang bengak kali ngomongnya?”

“Lipul Tulang.”

“Haa, itu..” sahut Om Granito. “Kau bilang sama mereka; aku minta maaf, sebab salah paham. Yaa, pande-pande kaulah.”

“Olo Tulang,” jawab Fahmi. “Kalo gitu, Fahmi pamit dulu Tulang, Nantulang, Desy.” (Olo = iya)

“Eiih sudah sarapannya kalian?”

“Sudah Om,” jawab Nandar.

“Nunga Tulang,” jawab Fahmi pula. (Nunga  = sudah, udah)

“Ya sudah, hati-hati kalian,” ucap Om Granito.

 “Olo Tulang, mauliate, kami pamit dulu,” ujar Fahmi. (Mauliate = terimakasih)

“Mari Tante, Om, Mbak,” pamit si Nandar pula.

“Mari-mari,” sahut Tante Selsa dan Desy berbarengan, Om Granito mengangguk tersenyum.


Mari kita beralih pada si Buyut yang ingin menyendiri.

Buyut melangkah pelan di sepanjang pantai, sesekali ia menendang gundukan pasir yang dilewati. Pandangan matanya sayu dan kosong, meski tidak sekosong semalam, Buyut masih memikirkan kenapa sang kekasih memutuskan hubungan mereka, sebut saja begitu jika tidak mau dibilang sedih.

Terkadang ia berhenti melangkah dan menarik napas dalam-dalam kemudian mendesah panjang, seakan-akan membuang semua ganjalan di dalam hati dan pikiran. Dan kembali melanjutkan langkahnya. Gitar kesayangan tetap ia panggul di punggung.

Setelah cukup jauh melangkah perhatiannya terpecah pada satu sosok berbulu hitam di ujung penglihatannya. Sepertinya Buyut mengenal sosok tersebut, dan ia memutuskan untuk menghampiri sosok berbulu hitam yang tengah duduk di atas hamparan pasir pantai menghadap ke arah lautan. Duduk mencangkung dengan posisi badan rendah dan seolah menyembunyikan kepala di antara lipatan kakinya.

Ahh, ternyata itu si gorila jantan yang belakangan sering dilihat si Buyut—si Toing. Sepertinya gorila tersebut dalam keadaan patah hati juga, alias galau melampau.

Buyut mendekati si gorila, tanpa merasa takut sedikit pun Buyut justru ikutan duduk di samping si gorila jantan—di sisi kiri. Si gorila jantan menatap Buyut, begitupun si Buyut menatap si gorila.

Entah bagaimana ceritanya, seolah sama memahami yang namanya perasaan sedih diputus pacar, kedua makhluk beda spesies itu sama kerutkan dahi dengan bibir sama-sama memble saling berhadapan. (Huahuahua… kompak banget euy gerakannya)

Buyut dan si gorila saling bersandar sisi kepala, satu sama lain, dan semakin terlihat aneh bin konyol, keduanya sama menangis terisak-isak.

“Kite senasib ye, Toing,” ujar Buyut di tengah tangisnya.

“A-hu ha-hu hua ahha,” sahut si gorila, juga di tengah ratapannya. (translet; wanita memang egois,)


Erri, Rahab, Conni, dan Lipul tengah sarapan di ‘Caffe Bu Sekar’, entah mengapa mereka memilih sarapan di sana, padahal mereka semua tahu jika sang pemilik kafe adalah wanita yang… ee-eehh sebut saja galak. (Gleckh…!) Namun, mungkin dikarenakan makanan ringan yang disajikan di sana luarrrr biasa enak. (Ekhemm…)

Tidak berapa lama Fahmi dan Nandar menghampiri mereka berempat. Fahmi menjelaskan permohonan maaf Om Granito pada mereka itu, mereka sama tersenyum dan tertawa lepas. Bahkan si Rahab dan si Lipul sama memeluk pria Batak tersebut. Dan tentu saja itu membuat mereka senang, senang tidak lagi dicurigai dan dituduh yang bukan-bukan. Tapi itu kan lebih tertuju pada si Lipul, lhaa si Rahab? Yaah, tentu saja pria itu juga, maksudnya tentang hubungan dia dengan gadis bernama Desy alias Desol.

Tiba-tiba di saat mereka tengah senang gembira suka-cita bla bla bla… itu, tahu-tahu Bu Sekar telah berdiri, berkacak pinggang di dekat mereka. Kontan saja keenam orang tersebut sama terdiam, kecut takut ciut bla bla bla… Mengingat si pemilik tergolong (maaf banget ya gan, he-he piissss..) galak.

“E-eeh, Tan—te,” ujar Rahab tertular penyakit si Lipul. “Ma-maaf Tan, kite gak sengaja, he-he keliwat seneng.”

“Tidak apa-apa,” jawab Bu Sekar tersenyum. (Laaah, kok?)

Mereka sama kaget, heran, bingung, bla bla blaa… menanggapi sikap pemilik kafe yang tahu-tahu berubah lembut, malah dengan senyum segala. Kontan saja mereka semakin pucat ketakutan, jangan-jangan ada sesuatu yang mengerikan dibalik senyum lembut itu.

Bu Sekar tentu saja bisa memahami tingkah keenam orang pengunjung kafenya tersebut, kembali sang pemilik kafe tersenyum sembari geleng-gelengkan kepala.

“Saya sudah mau nutup.”

“Lhoo…?” Keenam orang tersebut sama terperangah. Bukan apa-apa, ini kan belum malam, baru juga sekitar jam 1 siang, kenapa mesti tutup cepat?

“Eeh kenapa nutup cepet, Tan?” tanya Rahab.

“Ada acara; Musik Pantai. Saya dan anak-anak mau ke sana. Kalian tidak pergi?”

Tentu saja keenam orang ini sama gelengkan kepala sebab mereka tidak mengetahui akan acara yang disebutkan sang pemilik kafe. Bu Sekar tersenyum, ia maklum jika tamu-tamu kafenya itu tidak mengetahui perihal acara Musik Pantai tersebut.

“Dekat kok dari sini, hanya beberapa puluh meter saja. Kan mumpung masih di sini,” ujar Bu Sekar menerangkan. “jarang-jarang lhoo, ada acara seperti itu, makanya saya dan anak-anak akan ke sana”

“Hoo… boleh tuh!” ujar Erri pada rekan-rekannya.

“Ke sono, nih?” tanya Rahab meyakinkan.

“Yo wes,” ujar Conni.

“O-oke,” jawab Lipul.

Ya, gak ada salahnya menyaksikan acara yang pastinya ramai tersebut mumpung mereka masih di sana, bukankah rencananya mereka akan balik ke Jakarta sore nanti. Dan segera saja mereka meninggalkan kafe tersebut.

Bu Sekar tersenyum memandang pada mereka, dari arah belakang, kedua anak gadisnya menghampiri sang ibu, sama memandang pada Erri dan kawan-kawan.


***
...bersambung...
TULISAN INI PERTAMA KALI DIPUBLIKASIKAN DI WWW.KOMPASIANA.COM COPASING DIIZINKAN DENGAN MENYERTAKAN URL LENGKAP POSTINGAN DI ATAS, ATAU DENGAN TIDAK MENGUBAH/MENGEDIT AMARAN INI.