Selasa, 27 September 2016

Wajah di Balik Topeng


Crass…

Darah berceceran dari luka menganga di bahu kiri. Dan pria bajingan itu seolah mendengkur kencang menahan tawanya yang menjijikkan atas penderitaan saudara perempuanku.

Yang aku tahu, orang ini bukan mau membunuh saudara perempuanku, ia bisa melakukannya dengan cepat. Aku tahu itu, sebab meski “terkungkung”, aku dapat melihat dengan jelas aksi bajingan itu.

Dia… hanya ingin melihat saudara perempuanku menderita. Berada di titik terlemah manusia: ketidakberdayaan, dalam siksa yang aku tahu pasti lebih baik mati daripada harus mengalami itu.

Sebelum berada di tengah situasi mengerikan ini, aku telah membuat laporan kepada pihak yang berwajib: saudara perempuanku, menghilang, dan itu telah seminggu lamanya. Mereka tidak menemukan keberadaan saudara perempuanku.

Dan—tentu saja. Setelah aku pun “dibawa” ke ruang bawah tanah ini, baru kuketahui, ternyata saudara perempuanku justru ada di sini. Ruang pengap di bawah gudang belakang rumah kami sendiri, terikat di sebuah kursi tua dengan mulut disumpal kain kumal.

Kata kebodohan menempeleng kuat kepalaku. Gudang ini, tempat kami bermain dulu saat kecil—termasuk, ruang pengap ini. Tempat pelarianku kala ibu memarahiku, dan dengan segala cerita tidak menyenangkan mengiringi.

Kenapa tidak terpikirkan olehku?

“Emhhh… Emmh…”
Dengan mulut yang tertutup dan luka di sekujur tubuh, aku dengan jelas melihat begitu ketakutannya saudara perempuanku, dan penyiksa berengsek itu datang lagi dengan pisau yang bersih berkilat.

Crass…

Darah berceceran lagi, kali ini dari paha kanan. Penyiksa sialan itu tertawa dari balik topeng.
Ya, topeng para Hacker Anonymous, topeng yang sama yang digunakan V dalam film V For Vendetta, yang diilhami wajah Guy Fawkes pemberontak kerajaan Inggris yang dipenggal di Abad Pertengahan.

Cleept…

Pisau di tangan pria jahanam terbenam ke dalam perut saudara perempuanku. Sengaja, dia sengaja tidak menusuk titik vital.

Aku bersumpah mendengar dia terkekeh.

Andai saja kain kumuh itu tidak menghalangi rongga mulutnya, jeritan saudara perempuanku mungkin akan terdengar oleh seseorang di luar sana. Semakin tersiksa, itu yang tergambar di wajah dan tubuh saudara perempuanku. Bahkan mungkin—tidak tidak tidak, kurasa pasti—saudara perempuanku, pasti lebih memilih mati di saat itu juga seperti anggota PKI yang disiksa pada zaman Orde Baru.

Tidak! Aku tidak tahan lagi. Akan aku hentikan bajingan itu!

Aku tidak tahu apa yang menahanku sedari tadi, bajingan itu tidak mengikatku, tidak pula menyekapku. Entah kenapa kaki dan tangan ini sulit untuk kugerakkan. Tidak pula mulut ini, tak sanggup sekadar berteriak meminta pertolongan—entah pada siapa pun. Aku… hanya terpaku pada situasi ini, terkungkung pada ruang tak kasatmata.

Kukuatkan tekad di hati, mendekati penyiksa biadab bertopeng itu. Entah hanya firasatku saja, tapi aku yakin bajingan itu menoleh kepadaku. Langkahku sempat terhenti, sebab yang aku lihat dia juga berdiri dan melangkah mendekatiku.

Aku tertegun, tak mampu bersuara. Lagi-lagi tawa menjijikkan itu, tanpa kuduga bajingan yang telah menyiksa saudara perempuanku itu, membuka topengnya. Jaraknya teramat dekat. Bahkan, wajah iblis-nya itu terpaut hanya sejengkal dari wajahku.

Wajah itu… sangat familiar.

Aku menatap heran ke dalam wajahnya. Kuberanikan diri menggapai wajah menjijikkan itu. Kembali gerakanku terhenti saat dia melakukan gerakan yang sama persis denganku. Hingga, tangan kami bersentuhan.

Ah, tidak-tidak-tidak. Lebih tepatnya, tanganku menyentuh cermin besar, dan penuh debu, peninggalan ibu kami yang selalu membela saudara perempuanku itu.

I—ni… wajahku. Diriku!

"Kejutan…!"

Aku mendengar jelas ratap mengiba saudara perempuanku itu. Derai tangis dengan mata bengkak memerah bisa kulihat jelas di dalam cermin tua di hadapanku. Dan aku… menyadari, bayanganku di cermin, menyeringai.

“Sekarang tidak akan ada yang membelamu…”



---o0o---


A Cerpen by Fatihnokturnal & Ando Ajo.