Rabu, 27 Mei 2015

Serbuk-serbuk Mimpi

Serbuk-serbuk Mimpi


Kilau-kilau yang mengusik pandangan, menggoda angan, lintas harapan. Atau merona kekuningan, seperti fajar di ufuk timur. Mungkin jingga menarik merah muda, menggoda syahwat  untuk becerita, mencoba, terlena.
Terbang terbang, terbanglah yang tinggi. Penuhi semua ruang imaji. Jangan peduli, meski otak kiri berontak minta berhenti. Abaikan saja. Teruskan khayalan membumbung menyesakkan otak kanan. Tawa-tawa palsu di tengah keramaian, bukan jati diri di antara pergaulan. Dalam belaian lentik gemulai jari-jari kehausan. Di ujung rayuan bibir-bibir berlapis gemetaran. Dalam pelukan tubuh-tubuh layu setengah telanjang, menutup pandangan.
Teruskanlah teruskan…
Terdiam bila diri berteman sunyi, sendiri, kesepian. Tersudut di ujung akhir malam.
Dan terbangun di penghujung hari. Langkah gontai menapaki bumi. Seakan memusuhi sapa hangat sang mentari, coba berkilah mengais mencari, jalan lain kebutuhan nafsu diri. Demi tumpukan rupiah yang kau sebut rezeki, pembeli serbuk-serbuk mimpi. Atau lembar-lembar hijau dalam lintingan di sela jari. Pada butir-butir merona yang tak lebih dari penyiksa diri. Lagi lagi, dan lagi.
Seakan tiada takut pada kematian. Hukuman Tuhan. Atau timah-timah panas senapan yang siap mengoyak badan.

Siapa yang kau tipu?
Apa yang coba kau buktikan?
Tidakkah kau hanya menipu diri sendiri? Menyiksa diri sendiri?

Kau masih ingin bermimpi?
Coba lihat di sana. Iya. Pasangan muda yang membimbing tangan anak mereka. Langkah beriringan menikmati rona senja. Kemilau yang lebih agung di ufuk persada.
Tidakkah kau iri?
Mereka begitu bahagia. Menggapai mimpi dalam canda keluarga. Tanpa harus membeli lembar-lembar hijau ilusi. Tanpa harus terseok demi kemilau serbuk-serbuk halusinasi.

Tidakkah kau iri, kawan?





Let’s Save Our Nation
TULISAN INI PERTAMA KALI DIPUBLIKASIKAN DI WWW.ANDOAJO.BLOGSPOT.COM, COPASING DIIZINKAN DENGAN MENYERTKANA URL LENGKAP POSTINGAN DI ATAS, ATAU DENGAN TIDAK MENGUBAH/MENGEDIT AMARANA INI.
Ando Ajo, Jakarta 27 Mei 2015.
Sumber ilustrasi 2, by; BNN-RI.

Sabtu, 23 Mei 2015

Aku Rela Menjadi Iblis

Aku Rela Menjadi Iblis


Satu rasa yang kini kupendam, membunuhmu dengan sejuta dendam. Hingga musnah semua sakit yang merajam. Baru kupuas dan lena dalam tidur di setiap malam. Aku akan menyambangi Artemis, persetan saja dengan Amor dan Fortuna. Kan kuhancurkan keangkuhan cinta yang memiris, dengan tombak dan anak panah berbalur racun berjelaga.
Kau tahu kenapa?
Sebab rasa sakit ini begitu meraja, melingkari tiap inci kulit tubuh dan jiwa. Ulahmu yang suka menebar kata. Nafsu angkara mengembara pada lain cerita. Sebab Fortuna memberimu rasa pada cinta menggelora. Dan Amor pun mendukungmu pada paras mempesona.
Kau tahu?
Aku akan mengadu pada Hades di neraka. Persetan dengan Zeus di Olympus. Aku rela membunuh Persefon demi bersua dengan dia. Mencabik-cabikmu dengan bantuan anjing Cerberus.
Kau tahu kenapa?
Sebab hatiku tidak rela. Melihatmu bercumbu dengan lain raga. Mengetahui kalian berdua begitu bergelora. Menyudutkanku dengan segala siksa derita.
Sebab aku masih butuh cinta, aku rela menggadaikan nyawa pada Iblis di neraka.

-------------------------------------------------------------------------------------------------------------
 TULISAN INI PERTAMA KALI DIPUBLIKASIKAN DI ANDOAJO.BLOGSPOT.COM, COPASING DIIZINKAN DENGAN MENYERTAKAN URL LENGKAP POSTINGAN DI ATAS, ATAU DENGAN TIDAK MENGUBAH/MENGEDIT AMARAN INI.
-------------------------------------------------------------------------------------------------------------
Sumber ilustrasi;   http://cdn-2.tstatic.net/tribunnews/foto/bank/images/20141017_042336_pembunuhan.jpg

Kamis, 14 Mei 2015

Wijayakusuma

Wijayakusuma


Hening, malam ini begitu tenang. Hamparan langit menghitam hanya berhias sedikit bintang. Sang rembulan, masih betah sembunyi di balik selimut sutra hitam. Hening, tanpa belaian lembut sang bayu yang menyapu tentram. Tenang, entah mengapa laut begitu tenang, tiada debur tiada pekik, hanya, riak-riak kecil berkejaran ke tepian. Perlahan perlahan perlahan, menjauh lagi, menyisakan buih merona putih. Garis hayal memanjang di atas hamparan pasir.

“Ci, yuk masuk,” seorang wanita paruh baya merangkul bahu Suci dengan lembut. “Bulan sepertinya gak mau muncul, mungkin malam besok.”

Gadis kecil sebelas tahun tersenyum, mengangguk lemah. Berdiri lunglai, melangkah terseok, dibimbing sang bunda. Sudah setahun ini tubuh yang awalnya ceria itu didera cobaan. Menjadi pesakitan, bukanlah hal yang ia inginkan, tidak ia harapkan.
Kecelakaan setahun yang lalu itu, merenggut keceriaan Suci. Kepala terbentur keras, hingga merusak sepertiga otaknya. Masih bernapas hingga sekarang, adalah satu keajaiban.
Ia tak lagi bisa bicara lurus. Sebelah mata pun tak lagi mampu melihat keindahan dunia. Otot-otot di kedua kaki seakan tak lagi mau menuruti kata hati, lemah tak berdaya.

“Suci, tidur ya. Tapi…” sang bunda tersenyum, memperlihatkan setumpuk obat dalam plastik putih. Suci tersenyum, mengangguk lagi. “Minum obat dulu ya, Sayang.”

Sang bunda mengelus lembut kepala Suci yang plontos, masih berbalut banyak perban. Meski bibir mengulas senyum, namun hati tak bisa dibohongi. Sakit. Memandang anak semata wayang hidup tak lama lagi, ini saja sudah sanggup menggoyahkan iman dalam dada.
Siapa orang tuanya yang tak akan bersedih hati?
Isi tabungan tersisa tak seberapa. Semua upaya telah dicoba, demi buah hati tercinta. Tidak mengapa ratusan juta hilang, asal bisa memperpanjang umur Suci sehari lagi.
Suci sendiri yang meminta pulang, tak ingin lagi tubuh yang lemah terbaring lebih lama di ranjang rumah sakit, tak ingin lagi tubuh yang sudah ringkih disakiti jarum-jarum infus. Tak ingin lagi. Suci hanya ingin kembali menikmati rembulan. Meski… meski hanya untuk satu hari saja.

Wanita paruh baya mengusap air mata yang bergulir, takut membangunkan sang buah hati. Perlahan bangkit, menyelimuti tubuh ringkih itu, dan tersenyum lagi sebelum akhirnya meninggalkan kamar.

Bunda telah keluar dari kamar, perlahan Suci membuka sepasang mata. Mencoba duduk meski terasa sangat sulit. Duduk di atas empuknya kasur, bersandar ke dinding. Bersusah payah meraih tumpukan kertas putih di atas bufet, dan sebuah pensil.
Suci tersenyum menuliskan keinginan dari hati terdalam pada lembar putih.

***

“Sayang, malam ini jangan, ya,” bunda mengusap wajah Suci dengan sapu tangan putih. Ia coba tersenyum merayu sang buah hati. Namun Suci menggeleng, tetap menunjuk langit malam lewat jendela kamar. “Suci anak Bunda, kondisi kamu lagi gak baik, Sayang. Dari pagi kamu muntah-muntah terus, malam ini saja, ya?”
Suci menggeleng lagi. Sang bunda mendesah dalam, meski tahu akan beginilah jadinya tubuh sang anak, namun, paling tidak, ia ingin menjaga tubuh kecil itu sebaik yang ia bisa. Meski, hanya untuk satu hari saja. Dan, menolak keinginan lewat tatap mata bening polos itu, ia sungguh tak sanggup.

Suci melangkah perlahan, dalam rangkulan sang bunda. Di tangan kanan, Suci menggenggam sebuah lipatan kertas putih. Perlahan duduk di atas kursi berlapis bantal putih. Kursi yang sama nyaris enam bulan ini menemaninya. Teman menikmati indahnya sang bulan, di tepi pantai ini beberapa meter saja di samping rumah.

Bulan malam ini begitu indah, terang benderang meski belumlah purnama. Langit malam begitu bersih, tiada cacat berawan. Kerlip bintang kemintang ikut menghias rajutan selimut alam. Suci tersenyum dalam dekapan bunda.

“Bunda, kenapa bulan yang indah selalu sendiri?” tanya Suci satu ketika dulu.
Bunda tersenyum membelai lembut pipi Suci. “Sebab bulan tak butuh teman. Cahayanya yang lembut selalu setia menemani malam, kita, dan semua kehidupan.”
“Kenapa begitu, Bunda?” tanya Suci lagi.
“Hmm…” bunda tersenyum, pura-pura berpikir panjang. “Mungkin, bulan gak pamrih. Ikhlas memberikan kasih. Seperti pada kamu, Sayang,”
“Eeh…!” Suci bingung, bibir mengerucut imut menggemaskan.
“Iya,” sahut bunda, dan kembali merangkul sang buah hati. “Kan Suci suka memandangi bulan.” Suci mengangguk. “Suka berhayal menari dan bernyanyi di sana, kan?” Suci mengangguk lagi, tersenyum memandang bulan. “Nah… itu, kasih.”

Suci masih tersenyum memandangi bulan, dalam dekapan bunda. Perlahan, bulir-bulir kehangatan mengalir dari pelupuk mata, mengaburkan pandangannya. Bayang putih menari riang. Mendekat dan semakin mendekat. Seolah tersenyum menyapa si gadis kecil. Seakan mengajak Suci untuk menari. Suci menoleh pelan pada bunda. Tapi, sepertinya bunda tidak melihat itu.
Suci tersenyum lagi, air mata semakin banyak yang tumpah. Perlahan, tangan yang menggenggam lipatan kertas ia berikan pada sang bunda.
Gemetar, bunda gemetar. Bingung menerima lipatan kertas dari sang buah hati. Namun Suci tersenyum, bunda tiada tega, ikut tersenyum memeluk Suci, meski mata ikut berlinang.
Perlahan, Suci mengelus pipi bunda yang terasa dingin, basah. Tersenyum sesaat, lantas menyambut uluran tangan makhluk putih indah di depan.

***

“Seharusnya Mbak gak ngelakuin itu!” tukas om Dafa pada bunda yang masih terisak di depan makam.
Makam yang masih baru, masih merah, basah. Bertabur kelopak-kelopak bunga warna-warni. Makam, Suci.
“Tubuh manusia itu bukan obat! Apalagi dipakai buat menyambung hidup orang lain,” sambung om Dafa tidak senang.
Yaa, bunda pernah dengar itu. Tubuh manusia terlarang dijadikan makanan, terlarang untuk dijadikan bahan obat. Tapi… ini keinginan Suci. Dan om Dafa seorang yang belakangan ini begitu gigihnya menuntut ilmu agama, tapi bunda melihat, om Dafa lebih seperti orang kesurupan, yang tiba-tiba saja begitu bernafsu menggali ilmu. Ini salah! Itu haram! Yang ini tidak boleh! Yang itu terlarang!
“Tidakkah kau mengkaji dirimu sendiri, Dafa?” ujar bunda di antara isak tertahan.
“Maksud, Mbak?” om Dafa bingung, tidak mengerti jalan pikiran kakak iparnya itu.
“Kau lupa,” bunda menoleh pada om Dafa. “Sebagian darah yang mengalir dalam tubuhmu, juga bukan milikmu!”
Om Dafa terdiam, bersungut-sungut tidak senang. “Itu berbeda, Mbak. Jangan disamakan dengan jantung Suci yang Mbak berikan ke orang lain!”
“Beda?” bunda tersenyum hambar. “Kau pikir darah itu bukan bagian dari tubuh manusia juga? Naif sekali kamu Dafa! Sia-sia rasanya orang yang mentransfusikan darahnya ke dalam tubuhmu. Dan lagi…” bunda menyerahkan secarik kertas putih yang agak lecek pada om Dafa. Om Dafa menerima itu, meski ia tetap teguh pada pendiriannya. “Itu… keinginan Suci sendiri.”

Sementara om Dafa membaca beberapa baris kalimat tulisan tangan Suci itu, bunda kembali jongkok menghadap makam. Kembali derai air mata mengiringi kedua tangan yang mengelus permukaan makam.

“Aahh…” om Dafa kesal, membuang secarik kertas di tangan begitu saja. Dan lantas membalikkan badan, pergi meninggalkan bunda, meninggalkan makam Suci.

Kini tinggallah bunda seorang diri. Meski mata berlinangan, namun satu senyum keikhlasan hadir di sana. Kembali menuangkan air putih dalam botol kaca, membasahi kelopak-kelopak menghiasi kepergian.

***

Jauh di tempat lain.
Seorang bocah laki-laki lima belas tahunan berdiri memandang rembulan purnama seorang diri. Di atas gundukkan tanah di samping rumahnya.
Sang ayah memandang dengan senyuman, pada tubuh kecil yang selama ini hanya terbaring lemah, menatap pasti pada harapan, yang selalu diberikan sang bulan. Sama, ia pun berharap begitu. Perlahan ia mendekati sang anak. Memandang tinggi rembulan yang indah. Bersih dan terang. Lantas berjongkok di samping kiri sang anak.

“Kamu mengagumi sang bulan, Nak?” tanya sang ayah tersenyum melirik pada anaknya itu. Dan mengelus lembut rambutnya.
Sang anak tersenyum mengangguk. Di kedua tangan masih terlihat perban putih yang menutupi luka-luka kecil dari jarum-jarum infus sebelumnya.
“Ardhi…” sang anak menoleh pada sang ayah. “Gak tahu kenapa, tapi,” kembali ia menatap purnama, tersenyum lagi. “Begitu melihat bulan, rasanya,” tangan kanan bergerak mengelus dada kiri. Sama, dada itu masih dibebat kasa putih, bekas operasi. “Indah. Ardhi, senang aja ngelihatnya, Yah.”

Sang ayah kembali tersenyum, dan kembali mengusap lembut kepala sang anak. Ia memandang purnama, tersenyum lagi.
“Yaa, bulan adalah pasangan bumi.” Sang ayah melirik pada Ardhi yang juga melirik padanya. “Ardhi berarti; Bumi, Nak.”

Ardhi tersenyum kembali memandang bulan purnama di ketinggian sana. Sang ayah berdiri dan merangkul sang anak. Sama menikmati pesona rembulan yang selalu memberikan harapan.

***

“Suci, kamu tahu apa itu Bunga Wijayakusuma?” cahaya putih bertanya dalam senyum indah pada Suci. Suci menoleh pada wajah indah itu. Dan menggeleng. “Itu adalah bunga yang tumbuh di celah-celah bebatuan keras. Bunganya kecil putih, namun harum mewangi.”
Cahaya putih terus membimbing tangan Suci, melangkah santai di atas gelombang laut yang tenang. Suci merasa senang, ia mampu melangkah lagi, meski tak lagi akan bertemu dengan bunda. Mungkin nanti, di surga sana.
“Di tempat kamu lahir,” kembali cahaya putih tersenyum pada Suci. “Ada legenda tentang bunga yang sanggup menghidupkan orang mati.” Suci menoleh lagi pada wajah tak terlukiskan itu. Bingung. Cahaya putih tertawa halus pada kepolosan wajah Suci. “Namanya juga sama; Wijayakusuma. Dan kamu… mungkin bagian dari itu!”

Suci tidak mengerti, tapi ia tahu, itu pasti sesuatu yang baik. Yang indah. Jadi Suci tersenyum manis. Sesaat Suci terperangah, cahaya putih ternyata punya sayap, itu… indah sekali. Suci beranikan diri mengelus bulu-bulu putih nan halus itu.

Cahaya putih tersenyum mengerling. “Kamu mau merasakan senangnya terbang?”
Suci menggeleng, tersenyum. “Su—ci, mau jalan saja. Senang rasanya bisa jalan lagi.”
Cahaya putih tertawa halus, kepolosan jiwa yang satu ini sungguh menyejukkan.

Mereka terus melangkah, mengarungi permukaan laut tenang dengan berjalan kaki, menuju sang bulan yang merangkak turun dari singgasananya, kembali ke peraduan.


-o0o-

--------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------
TULISAN INI PERTAMA KALI DIPUBLIKASIKAN DI WWW.KOMPASIANA.COM, COPASING DIIZINKAN DENGAN MENYERTAKAN URL LENGKAP POSTINGAN DI ATAS, ATAU DENGAN TIDAK MENGUBAH/MENGEDIT AMARAN INI.
--------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------
 Sumber ilustrasi; http//www.gambargambarbunga.com

Senin, 04 Mei 2015

Duhai Pelita Jiwa

Duhai Pelita Jiwa


Duhai tumpuan segala rasa
Tempat nanti kami bernaung di kala tua
Dengarkanlah syair ayahanda bercerita
Agar engkau tahu hidupmu ke mana
Duhai anak junjungan rasa
Kasih kami tiadakan binasa
Pengiring di setiap langkahmu nan ceria
Ambilkan santun di kala engkau dewasa
Duhai anugerah terindah dari Ilahi
Sematkanlah syair kami ini di hati
Sebagai bekal bagimu di hari nanti
Di kala tiba saatnya dipanggil bagi kami
Duhai anak juwita hati
Pengobat luka di kala hati tersakiti
Senyum tawamu yang begitu membahagiakan
Mampu menyegarkan di saat lelah mengitari badan
Jangan bertekuk lutut pada sang bintang
Sedang pasir di tanah lagi berguna
Pandang lah diri pada ajar mendulang
Agarkan engkau nanti tidakkan merana
Jangan engkau berharap pada purnama
Sebab ianya akan segera menghilang
Usah diturut megahnya dunia
Sesalmu nanti pastikan berkalang
Duhai anak sambungan rasa
Kiranya hidup ini hanyalah sementara
Sebab itu kami bercerita
Takut tiada kesempatan datang menjelma
Duhai anak tumpuan kasih dan cinta
Janganlah engkau berkecil hati jika nanti kami tiada
Tetapkan tegar menapaki dunia
tiada lain doa kami kecuali engkau bahagia
*
Duhai anak tumpuan segenap jiwa
Dengarkanlah ayahanda bunda bercerita
***
--------------------------------------------------------------------------------------------------------------
 TULISAN INI PERTAMA KALI DIPUBLIKASIKAN DI WWW.KOMPASIANA.COM, COPASING DIIZINKAN DENGAN MENYERTAKAN URL LENGKAP POSTINGAN DI ATAS, ATAU DENGAN TIDAK MENGUBAH/MENGEDIT AMARAN INI.
--------------------------------------------------------------------------------------------------------------
Sumber ilsustrasi; http://cdn.c.photoshelter.com/img-get/I0000rAD1adBQ090/s/650/Father-and-Daughter.jpg

Minggu, 03 Mei 2015

Siapa Yang Paling Cepat?

Siapa Yang Paling Cepat?


Note: Cerita ini sudah berkembang di Sumatera Barat di awal 2000-an. Ane tulis ulang dalam translet Bahasa Indonesia (eeh… nyampur prokem deh, he-he-he)

Alkesah… toyeeeeeeeep… maka tersebutlah kisah, toyeeep…

Di sebuah Sekolah Dasar, tersebutlah 5 orang sahabat baik pelajar kelas 5. Si Buyung A, Buyung B, Buyung C, Buyung D, dan Buyung E – sebut aje gitu, kalo pake nama, ntar pade kesinggung kelesss.
Saat itu kelima Buyung tengah beristirahat di halaman samping sekolah, duduk-duduk santai di bawah pohon kuini – ni pohon gak da hubungannya kok!
Dan, kelima anak tersebut tengah asyik memperbincangkan (azeeek…) orang tua siapa yang terbaik. Masing-masing anak tidak ada yang mau kalah.

Buyung A; “Bapak gue sangat hebat!”

Yang Lain; “Apa hebatnya Bapak-lu? Kan cuman seorang atlet panahan!”

Buyung A; “Nah-nah, kalian belum lihat Bapak gue kalo lagi nembak sasarannya! Beuuh, gitu panah lepas dari busur, Bapak gue langsung lari ke sasaran. Kalian tahu? 5 detik setelah Bapak gue nyampe di sono, tuh anak panah baru nyampe! Kerenkan?!”

Yang Lain; “Aahh… mana mungkin!”

Buyung B; “Kalo gitu, Bapak gue lebih hebat dari Bapak-lu!”

Yang Lain; “Hahaha… apa hebatnya? Bapak-lu, kan cuman polisi!”

Buyung B; “Kalian gak tau, seeeh! Bapak gue, kalo lagi bidik sasaran pake pistol, gitu peluru melesat, Bapak gue bakal langsung lari menuju sasaran. Tuh peluru kalah cepat 5 menit dari Bapak gue. Mana sekarang yang lebih keren, hayoo?!”

Yang Lain; “Bohong banget!!”

Buyung C; “Kalo gitu, Bapak kalian berdua gak da hebatnya dibanding Mak gue!”

Yang Lain; “Huahaha, apa hebatnya Mak-lu?”

Buyung C; “Eeh-eh-eh, jangan anggap remeh kalian! Belum tau sih…! Mak gue lebih hebat dari orang tua kalian semua!

Yang Lain; “Haa!! Yang bener? Mak-lu, kan cuman PNS?!”

Buyung C; “Hahaha, belum tau seeh! Kalian pikir nih, ya! Mak gue berangkat kerja jam 7 pagi. Tapi, jam 9 pagi dia udah pulang. Hayoo…! 5 jam lebih cepat dari yang lain, kan!”

Yang Lain; “Itu siih, Tukang Bolos!”

Buyung D; “Itu belum ada apa-apanya ketimbang Mak gue!”

Yang Lain; “Oh ya? Mak-lu, kan cuman pejabat!”

Buyung D; “Hahhaha, belum tau kalian, kan!? Mak gue 5 hari lebih cepat dari siapa pun! Nih! Orang tua kalian libur, kan cuman minggu doang! Mak gue, liburnya dari selasa! Cepat, kan?”

Yang Lain; “Beuuh… itu mah, pemalas! Makan gaji buta!”

Si Buyung E, termangu-mangu mendengar kelebihan orang tua dari teman-temannya tersebut. Ingin membanggakan kedua orang tuanya. Jadi, bocah ini berpikir keras. Tiba-tiba ia teringat gunjingan tetangga dekat rumahnya. Ia pun tersenyum, bangga.

Buyung E; “Hoahahahha… orang tua kalian semua gak da apa-apanya dibandingkan orang tua gue!”

Yang Lain; “Eeh? Hahaha, orang tua-lu?”

Buyung E; “Iya! Orang tua gue lebih cepat 5 bulan dari orang tua kalian semua!”

Yang Lain; “Haa…?!”

Buyung E; “Baru tau kalian, kan! Hahahha… nih! Orang tua gue nikah bulan 1, tapi bulan 4 gue udah lahir. Hayoo… siapa yang lebih cepat sekarang!?”

Yang Lain; “#%%^&T*((_)(+_)_+………………”


-----------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------
 TULISAN INI PERTAMA KALI DIPUBLIKASIKAN DI WWW.KOMPASIANA.COM, COPASING DIIZINKAN DENGAN MENYERTAKAN URL LENGKAP POSTINGAN DI ATAS, ATAU DENGAN TIDAK MENGUBAH/MENGEDIT AMARAN INI.
-----------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------
Sumber Ilustrasi; https://s-media-cache-ak0.pinimg.com/736x/4c/0a/14/4c0a14229fdbac0b2bf8fcd558b62260.jpg