Jumat, 04 Desember 2015

Origin of Indonesia

#2. Mermaid alias Putri Duyung.


Salam Sahabat^^ .

Jumpa lagi dengan penulis (ekhemm…) dengan artikel yang bertujuan untuk mengingatkan—atau bahkan mengabarkan—soal mitologi yang ada di bumi Nusantara tercinta ini. Dan ini adalah artikel kedua dari penulis tentang hal mitologi Nusantara tersebut.

Artikel kedua ini, penulis ingin—sedikit—mengulik soal; Mermaid, atau di Indonesia lebih dikenal dengan nama; Putri Duyung.

Mermaid dalam Mitologi Dunia.

Secara garis besar, Mermaid atau Putri Duyung digambarkan berwujud manusia—dalam hal ini wanita—dari kepala hingga ke pinggang, dan dari pinggang ke bawah berwujud ikan. Namun di sebagian wilayah di muka bumi, ada juga yang berwujud laki-laki, atau lebih dikenal dengan Merman alias Putra Duyung.

Mermaid berasal dari Bahasa Inggris Kuno (Mid-English) mere;  yang berarti laut—merujuk kepada air. Dan maid;  yang bermakna perempuan.

Mitos atau pun legenda soal si Mermaid ini hampir merata di seluruh penjuru bumi—kebudayaan. Mulai dari Timur Dekat (negara-negara Asia bagian barat daya), Eropa, Afrika, bahkan Asia—termasuk Indonesia.

Mermaid pertama kali muncul dalam kebudayaan Asiria Kuno—Dewi Atargatis. Bahkan, hingga sampai saat ini—terakhir kali kemunculannya di Israel, dan ini mendapat banyak tanggapan, baik pro maupun kontra. Selengkapnya, baca di sini…

Hingga tahun 2012, para ilmuan tidak dapat menemukan bukti nyata keberadaan Mermaid itu sendiri—selain dari cerita mulut ke mulut, atau kesaksian segelintir orang yang—mengaku—melihat namun tanpa bukti konkret yang dapat mendukung. Hingga, makhluk seperti Mermaid dan lain sebagainya—Human-Animal Hybrids, digolongkan ke dalam Crypto yang berarti; yang tersembunyi. Atau, UMA—Unidentified Mysterious Animals.


Oke^^ cukup sampai di sana pembahasan si Mermaid, kalau masih penasaran silakan mengunjungi blog salah seorang sahabat, Ryan Mintaraga—Mitos Putri Duyung, Antara Masa Lalu dan Sekarang. Di sana, Mas Ryan membahas habis soal si Mermaid.

Nah… sekarang mari kita bahas soal si Putri Duyung. Lhaa, emang apa bedanya ma si Mermaid? Hahaha… tenang, kalo Mermaid, itu bule, nah kalo Putri Duyung berarti asli Indonesia doong, hee…


Putri Duyung, Origin of Indonesia.

Sejauh ini, ada dua cerita rakyat yang penulis ketahui—selain dua cerita lainnya yang akan penulis jabarkan setelahnya.

1. Wandiu Diu dari Sulawesi Tenggara.

Mungkin, cerita rakyat yang satu ini lebih tepatnya disebut; Asal-usul Putri Duyung. Diceritakan; seorang wanita yang memiliki tiga anak, namun memiliki suami bertemperamen buruk. Hingga sang wanita merasa hidupnya cukup menderita. Dan derita itu semakin bertambah kala anak bungsunya meminta lauk yang disimpan sang bapak. Karena kasihan, sang ibu memberikan lauk itu, sebab sang anak merengek tak berhenti. Sang suami yang mengetahui itu menjadi murka, marah besar.

Singkat cerita, sang ibu akhirnya memilih untuk “mengadukan” hidupnya pada laut. Tiga orang anaknya mencari di mana ibu mereka menghilang, saat tiba di tepian pantai, si sulung berteriak memanggil-manggil. Dan muncullah sang ibu dari dalam laut demi menyusui anak bungsunya.

2. Si Peminta Tumbal dari Tanjung Batu/Kundur.

Jika boleh penulis memberi pengandaian, Wandiu Diu adalah ujud Putri Duyung yang baik. Maka, Putri Duyung yang satu ini mungkin yang jahat, sebagaimana yang digambarkan oleh si Penjelajah Terkenal—Christopher Columbus.

Di Pulau Kundur - Tanjung Batu, Kepulauan Riau tersebut, diceritakan; jika ada warga yang berniat membangun satu pelabuhan atau dermaga, selalu diganggu oleh si Putri Duyung yang satu ini. Konon katanya, dia meminta tumbal terlebih dahulu untuk pembangunan itu. Entahlah, ini penulis ketahui saat penulis merantau di daerah itu.

Menurut beberapa orang tua—yang mengaku pernah melihat ujudnya—Putri Duyung di sana tidaklah cantik, atau baik rupanya. Lebih pada menakutkan.


-> Selain dua cerita rakyat di atas, penulis juga pernah mendengar cerita Putri Duyung yang juga berasal dari wanita—manusia, dari Tanah Jawa. Tapi sayangnya, penulis lupa dari daerah yang mana satu, atau pun kerajaan yang mana.

Diceritakan; seorang putri yang dipaksa menikah oleh orang tuanya hidup dengan bersusah hati. Sampai saat pernikahan, dan hujan turun dengan lebatnya, hingga terjadi banjir. Sang putri akhirnya membiarkan dirinya hanyut, saat mempelai pria dan keluarga mencari-cari sang putri, saat itulah sang putri menampakkan ujudnya ke permukaan.

Masih dengan mengenakan pakaiannya, sang putri mendekati orang tuanya, hanya saja, kain batik yang melilit tubuh bagian bawahnya telah menyatu dengan tubuh. Hingga, yang terlihat bukanlah kain ataupun kaki manusia, tapi ujud setengah ikan.

(Jika ada masukan lebih konkret soal cerita Putri Duyung dari Tanah Jawa ini, akan sangat penulis hargai sebagai pembelajaran bersama^^)


Putri Duyung dalam Pengalaman Pribadi.

Mungkin ada baiknya penulis katakan terlebih dahulu; lebih baik lewatkan saja bab yang ini, sebab ini akan terlihat/terbaca sebagai satu kisah imajinasi dari penulis sendiri. Untuk itu, bila tidak berkenan, silakan di-skip saja^^. Namun, bila penasaran—soalnya ada beberapa orang yang penulis ketahui sangat penasaran—silakan simak cerita di bawah ini.

Tahun 1995, kala itu penulis masih duduk di bangku SMP kelas 2. Baru memasuki catur wulan pertama—saat itu sistem pendidikan memakai cawu bukan semester, beberapa minggu sebelum perayaan 50 tahun Indonesia Emas. Hari apa, penulis sungguh lupa, tapi itu antara hari senin, selasa, rabu, atau kamis. Soalnya, kala itu kami—murid-murid—mengenakan baju putih-biru. Sementara hari jumat mengenakan baju Teluk Belanga—di Jakarta kayaknya lebih dikenal dengan Baju Koko—dan sabtu mengenakan pramuka. Jadi, penulis cukup yakin antara hari senin hingga kamis itu kejadiannya.

Penulis bersekolah di SMPN-01 Tanjung Mutiara, Tiku – Sumatera Barat. Bangunan sekolah kami berada sangat dekat dengan bibir pantai, hanya dipisah muara selebar 20-40m, saja. Dan di Pasie itu juga tempat berlangsungnya bongkar-muat kapal-kapal ikan ataupun sampan-sampan nelayan. Pasie berarti pasir, namun kata itu digunakan penduduk setempat untuk merujuk; pantai.

Pagi itu, baru memasuki pelajaran jam pertama, kami mendengar sorakan/teriakan beberapa orang dari arah pantai. Kurang-lebih berbunyi seperti ini;

“Bagan dapek Duyuang, bagan dapek Duyuang…”

(Bagan—kapal besar penangkap ikan yang sisi kiri-kanannya memiliki sayap—dapat Duyung, bagan dapat Duyung…)

Awalnya, kami yang mendengar suara-suara itu beranggapan duyung yang tertangkap itu adalah mamalia laut yang bernama sama; Duyung atau Dugong. Jadi, penulis dan kawan-kawan tidak terlalu menganggap teriakan tersebut, begitu juga dengan guru yang sedang mengajar.

Namun sepertinya kehebohan di pantai semakin intens, hingga sejumlah murid dan guru dari kelas berbeda juga ikutan berteriak yang sama. Mau tidak mau, tentu saja hal tersebut membuat penasaran bagi yang lain. Penulis dan teman-teman juga guru segera saja berlarian ke arah pantai.

Di pantai, telah banyak orang-orang yang berkerumun, mengitari sesuatu. Saat itu, kondisi laut sedang pasang bebani—kondisi di mana air laut tidak pasang tidak pula surut, sehingga permukaan laut tidak terlalu bergelombang dan biasanya menjadi sangat jernih. Biasanya, terjadi sekali dalam sebulan.

Dalam kondisi itu, kedalaman muara tidaklah terlalu dalam, hanya sebatas lutut. Sehingga dengan mudah kami menyeberang menuju keramaian di pantai.

Sesampainya di tengah keramaian, ternyata bukan duyung si mamalia laut yang tertangkap kapal bagan tersebut, melainkan benar-benar Putri Duyung. Bahkan, penulis langsung saja merangsek mengambil posisi sangat dekat dengan makhluk indah tersebut.

Sungguh, itu pengalaman luar biasa yang tak terhingga, sejak kecil, penulis selalu suka dengan dunia fauna—biologi, dsb. Hingga, penulis memberanikan diri menyentuh pinggul si Putri Duyung dengan jari. Siapalah tahu, mungkin saja itu hasil karya seni entah oleh siapa, meskipun tahun itu rasa-rasanya tidak atau belum ada alat untuk membuat karya seni seindah itu.

Saat jari penulis menyentuh sisi pinggulnya, ternyata itu benar-benar sisik—sebagaimana sisik ikanmas, namun dengan ukuran sisik lebih lebar dan besar—berlendir, dan amis sebagaimana ikan.

Mungkin, ini mungkin, karena tidak pernah terpapar sinar matahari secara langsung, hingga si Putri Duyung terlihat megap-megap, sulit untuk bernapas. Dan lagi, ia tidak mengenakan apa pun untuk menutupi payudaranya. Oleh karena yang menyaksikan itu tua-muda, besar-kecil, pria dan wanita, para anak-ula (bahasa Indonesianya; anak-ular, adalah istilah untuk ABK) menutupi payudara si Putri Duyung dengan rambut hitamnya yang panjang—kira-kira sepinggul jika dia memiliki kaki.

Jika boleh penulis ungkapkan, hingga sekarang, tidak ada satu pun wanita secantik itu. Kulit kuning langsat, mata besar hitam dengan bulu mata tebal lentik, begitu juga dengan alisnya. Wajah oval, hidung kecil tapi runcing, bibir merah tipis. Sungguh, dari pinggang ke atas bentuknya tak ubah gadis remaja yang sangat cantik, sedang dari pinggang ke bawah—pas di bawah pusar—berbentuk ikan dengan warna hijau muda terang kekuningan. Hmm… seperti warna hijau stabilo.

Coba tebak?

Ternyata bukan hanya Putri Duyung saja, tapi ada juga Putra Duyungnya. Sayangnya, yang pria hanya mengawasi kami dari sisi kapal—lebih-kurang 30m ke arah laut. Jadi, penulis kurang bisa mengingat wajah Putra Duyung itu, lagi pula ia hanya menampakkan kepalanya saja.

Menurut cerita sang kapten kapal—yang kebetulan adalah Abang sepupu penulis, Bang Iwir. Dan kapalnya atau bagannya diberi nama; Bagan Si Api-api—mengambil nama salah satu daerah penghasil ikan laut terbanyak di Riau. Menurut Bang Iwir, malam tiga hari sebelumnya saat mereka berangkat melaut, mereka tidak mendapat seekor ikan pun, walau bahkan hampir mencapai wilayah Mentawai.

Karena—sudah menjadi kebiasaan—perbekalan yang hanya untuk tiga hari hampir habis, Bang Iwir memerintahkan abk-nya untuk putar balik saja, sebelum terlalu jauh ke laut lepas, bisa-bisa kehilangan arah. Saat itu, penulis sangat yakin tidak ada nelayan di Tiku yang menggunakan kompas alih-alih GPS, mereka hanya mengandalkan ilmu kuno, membaca letak bintang. Dan sama diketahui bila pantai barat Sumatera adalah laut lepas, sebagaimana pantai selatan di Jawa.

Karena kesal tidak mendapat tangkapan—padahal biaya hidup tiga hari di laut itu cukup mahal—Bang Iwir membiarkan saja abk-nya tetap menurunkan wariang—jaring, meski haluan bagan menuju pelabuhan.

Di sekitar Pulau Tengah dan Pulau Ujung, jaring yang terus terbentang di bawah laut seperti tersangkut atau menjaring sesuatu yang besar. Hingga, para abk bergegas untuk menaikkan jaring tersebut. Namun, alangkah kagetnya mereka ternyata yang mereka dapat adalah sepasang duyung—Putra dan Putri Duyung.

Mungkin, karena kodrat laki-laki lebih kuat dari wanita, hingga Putra Duyung akhirnya bisa terlepas, dan tertinggallah Putri Duyung yang masih meronta. Namun, hingga bagan berlabuh sang Putra Duyung tetap mengikuti bagan yang membawa Putri Duyung. Anehnya, sebelum kapal berlabuh, Bang Iwir tiba-tiba diserang kantuk yang teramat, hingga tertidur di atas bagan. Bahkan sampai Putri Duyung diturunkan abk ke tepian, Bang Iwir tetap saja tertidur.

Putri Duyung itu ditempatkan para abk di atas lapik—tikar—dari anyaman daun nyiur yang biasanya digunakan penduduk untuk menjemur ikan.

Ada yang unik dengan Putri Duyung tersebut, sisik-sisik di tubuhnya, sirip-sirip halus yang tumbuh juga di punggungnya, hingga ke sirip ekor, selalu berbunyi gemericik setiap dia bergerak. Tapi, dia terlihat lemah, mungkin kepanasan. Dan yang anehnya, bentuk sirip ekornya tidak sebagaimana gambaran yang banyak bertebaran. Yakni ekor dayung, ekor yang menyerupai Lumba-lumba atau Paus, bukan. Di mata penulis kala itu, ekor tersebut lebih mirip ekor gunting, sebagaimana yang dimiliki oleh ikanmas.

Sementara Bang Iwir masih tertidur di atas bagan, kami menikmati keindahan makhluk mengagumkan itu, dan sang Putra Duyung terus saja mengawasi kami dari perairan, selah-olah meminta—mungkin saja—pasangannya untuk dikembalikan.

Sayangnya, keberadaan Putri Duyung tersebut tidak sampai sepuluh menit di daratan. Bang Iwir yang tertidur tiba-tiba terbangun sambil berteriak kencang.

Menurut Bang Iwir—tentu saja penulis mengetahuinya setelah berada di rumah—Bang Iwir dalam tidurnya didatangi si Putra Duyung, padahal kala itu si Putra Duyung tengah berenang mengawasi kami di tepian.

Dalam mimpinya, si Putra Duyung meminta Bang Iwir untuk memerintahkan abk-nya melepas si Putri Duyung. Lebih-kurang seperti ini;

“Tologlah Angku lapehkan pasangan ambo tu. Kalau inyo diambiak, ambo jo sia lai?”

(Tolonglah Angku—sebutan takzim bagi laki-laki dewasa—lepaskan pasangan saya itu. Jikalau dia diambil, saya harus dengan siapa lagi?)

Hanya itu, dan Bang Iwir terbangun sambil berteriak, lantas dari atas kapal Bang Iwir berteriak lagi ke arah kami—lebih tepatnya kepada abk-nya.

“Hoii, alah tu, lapehkan lah baliau tu, baeko cilako awak dek e. Lapehkan…!”

(Hoii, sudah cukup, lepaskan saja beliau itu, ntar bisa celaka kita karenanya. Lepaskan…!)

Yaa, akhirnya, itu tadi. Tidak sampai sepuluh menit “kebersamaan” kami dengan si Putri Duyung, para abk kembali mengangkat tubuh si Putri Duyung membawanya kembali ke air. Begitu sampai di kedalaman sepinggang, makhluk cantik itu seolah menemukan dunianya. Ia membenamkan diri, kemudian muncul lagi, berenang mendekati sang Putra Duyung yang juga mendekatinya. Dan penulis sangat yakin sekali, semua orang kala itu sama melihat keduanya tersenyum.

Kemudian, keduanya memandang ke arah kami yang bengong saja memandang mereka berdua. Baik Putri juga Putra Duyung sama melambaikan tangan pada kami. Konyolnya lagi, entah kenapa kami semua justru balas melambai ke arah keduanya.

Dan setelah itu mereka menghilang. Hingga sekarang, tak lagi terdengar keberadaan mereka.

Namun ada keajaiban yang terjadi pada Abang sepupu penulis tersebut. Setelah kejadian itu, selama tiga kali pelayaran berturut-turut, bagan Bang Iwir selalu mendapat hasil tangkapan yang boleh dibilang luar biasa melimpah. Bayangkan, dari hasil tiga kali pelayaran itu, Bang Iwir bisa membeli mobil pick-up L300, dan dua motor Hondapro kala itu.

Entah itu ada hubungannya dengan sikap baik Bang Iwir yang akhirnya melepaskan sang Putri Duyung, atau ada pengaruh lain, entahlah… yang jelas, kebaikan pasti berbuah kebaikan pula.

Sayangnya, entah kenapa kala itu tidak ada yang berpikiran untuk mengabadikan itu semua dengan foto. Yaa, akan lain ceritanya bila itu terjadi di zaman sekarang, di mana narsis menjadi hal yang mutlak, dan itu berarti gadget canggih, kamera digital, dll. Dulu, itu semua belum ada. Kamera aja masih yang model jadul, menggunakan klise/film—pakai diputar pulak bila habis diklik. Itu pun setiap nelayan setempat belum tentu punya.

Hahh… seandainya…

Oh iya, meski sampai sekarang penulis masih “merekam” wajah dan bentuk sang Putri Duyung dalam ingatan, namun penulis tidak bisa menggambarkan/melukiskan secara tepat kecantikannya, mungkin karena bukan pelukis handal hahaha. Tapi, bentuk tubuhnya kurang lebih seperti gambar ilustrasi yang penulis buat di atas^^.

Sedikit hal tentang kebiasaan masyarakat di kampung penulis itu. Dibilang mereka percaya hal-hal mistis, iya. Tapi tidak ada yang terlalu mengacuhkan hal-hal demikian. Pernah suatu hari, penulis memancing di sungai dan mendapat seekor ikan gabus (bahasa di sana; Kiuang, atau Rutiang) dan itu cukup besar—lebih besar dari paha penulis kala itu. Seorang tua yang penulis temui di tepian sungai itu berkata; “Lepaskan saja, sebab, mungkin itu penunggu,”

Intinya, dalam hal menangkap/memancing ikan contohnya, jika yang didapat itu lebih besar dari ukuran normalnya, maka mereka akan melepaskannya kembali. Bayangkan jika tim Mancing Mania, yang mendapatkan ikan tersebut. Jelas mereka akan bersorak girang sambil bilang; “Monster, mantap…!”

Entah sikap penduduk itu adalah bentuk kearifan lokal—dalam hal ini menjaga kelestarian ikan-ikan di sungai—atau ada hal lain. Entahlah.


Bagaimana, sahabat? Bukankah itu terdengar seperti cerita yang sengaja dirangkai demi tujuan tertentu?^^

But, I see what I see. Believe it or not, it’s depending on your mind. Yaa, mungkin saja sahabat akan berkata; ahh, itu imajinasi kamu aja yang kelewat tinggi.

Mungkin juga^^. Tapi, itu imajinasi dan mimpi terindah yang penulis dapat dari Sang Penguasa Keindahan. Dan juga, setiap kali penulis menceritakan kisah ini kepada saudara-saudara Nusantara dari Indonesia Timur, mereka justru menanggapi seolah melihat Putri Duyung itu adalah sesuatu yang biasa. Terutama bagi nelayan dan pelaut dari Indonesia Timur tersebut. Waallahu a’lam.

Sejatinya, manusia akan mempercayai/meyakini sesuatu jika ia sudah melihatnya dengan mata kepala sendiri, bukan dari cerita bukan pula dari kabar tak berbukti^^.

Tapi, jika sahabat bertanya kepada penulis; Apakah Putri Duyung itu nyata? Maka, penulis akan menjawab; Hell, yeah.

Jadi… sebelum jauh mengagumi si Mermaid bule, ada baiknya bukan, mengagumi Putri Duyung? The Origin Mermaid from Indonesia^^.

Jumpa lagi di artikel ketiga, dengan mitologi lainnya.


Salam Indahnya Negeriku.


Dari berbagai sumber.

TULISAN INI PERTAMA KALI DIPUBLIKASIKAN DI WWW.KOMPASIANA.COM COPASING DIIZINKAN DENGAN MENYERTAKAN URL LENGKAP POSTINGAN DI ATAS, ATAU DENGAN TIDAK MENGUBAH/MENGEDIT AMARAN INI.
Sumber ilustrasi; karya pribadi.

Jumat, 27 November 2015

Member FC - Kite Lagi Liburan [Chapter 8]

Selamatkan Dewi Ysed Dari Tangan Raksasa Otinarg


“Ini semua karena ulah lu!” ujar Rahab sewot bin sengit pada Lipul yang tertunduk berdosa. “Kacau semua. Kecewa gue…”

Saat ini mereka berada di ruang santai di dalam villa, sekitar pukul delapan malam. Namun si Fahmi dan juga si Nandar tidak terlihat di sana, entah kemanakah gerangan.

“I-iye ma-maap,” Lipul memelas. “Gu-gue, gak senga—ja,”

“Gak sengaja gimana critanya?” Erri menimpali.

“Tau tuh!” Conni tak kalah kesal.

Maka, semakin merasa terkucilkanlah si Lipul oleh rekan-rekannya tersebut. (Baahh, lebay nian dikau, Pul) Sedangkan si Buyut, tengah asyik menyantap mie instan. (Konyooll… hahha) Sudah jelas-jelas panas, berasap gitu, main masuk ke mulut saja. (Parah ente, Yut, rasain tuh, kepanasan)

“Kemaren pan, lu ngakunye ntu kalung punye lu,” dengus Erri. “Gimana critanya, lu bilang gak sengaja?”

“Iye ma-maap,” kembali Lipul menunduk lemas.

“Lu mulai gak asik, Pul,” Buyut ikut berkomentar. “Lu udah mencampakkan kejujuran di antara kita,” (Asiik, gaya bahasa ente, Yut, hehe…)

“Seharusnya, waktu lu nemuin tuh kalung,” lanjut Erri menasehati. “Mestinya, lu kudu lapor ma polisi,”

“Iye,”

“Jadi gak kacau karu-karuan gini,” timpal Conni.

“Dan semestinya si Rahab bisa jadian,” sahut Buyut. (Oops mulutnya belepotan mie, tuh,)

Untuk beberapa saat mereka hanya berdiam diri, merenungi apa yang terjadi di siang hari tadi. Utamanya si Lipul yang sangat terpukul, sedih, merasa berdosa pada semua rekannya, utamanya lagi pada si Rahab. Hanya desahan-desahan napas yang sepertinya menyiratkan kekesalan dan penyesalan yang terdengar di ruangan itu.

Buyut bangkit dari duduknya yang mencangkung—padahal, kan dia di atas sofa, bukannya duduk baik-baik malah mencangkung, kayak di pematang sawah aja. Melangkah menuju dapur, membawa serta cup mie yang telah ludes isinya.

“Hab,” panggil Erri memecah kebuntuan di sana. “Gue punya mantra hebat nih,”

“Buat apaan?” nada suara si Rahab memastikan kegalauan yang teramat masygul.

Erri mengeluarkan benda segi empat—seukuran kartu remi yang tertutup lipatan plastik berwarna hitam—dari dalam kantong celananya. Mengajak teman-temannya lebih mendekat. Setelah semua merapat, Erri membuka lipatan, ternyata di dalamnya terdapat setumpuk lembaran-lembaran kertas putih yang penuh rajahan (mungkin juga beraksara India) Kertas-kertas itu sendiri seukuran kartu gaplek atau domino.

“Buat apaan sih, kertas ginian?!” Conni menilik selembar. “Rak ngerti gue tulisane,”

“Ni mantra yang bisa ngebantu si Rahab,” ujar Erri.

“Bantu gue, gimane?” Rahab semakin bingung.

“Apaan tuh, Ri?” tanya Buyut yang datang dari arah dapur. Tanpa menunggu komando Buyut pun ikut duduk di sela antara Rahab dan Conni, di atas lantai berlapis ambal.

“Buat ngebantu si Rahab ngedapetin si Desy,”

“Waduuuh, canggih juga tuh,” kagum si Buyut.

“Gimane caranye?” Rahab kembali mendapat angin, semangat baru.

Erri menjelaskan pada sahabatnya tentang bagaimana cara prosesinya. Erri menerangkan, kertas mantra mesti ditempelkan ke kening saat akan tidur. Nah, nanti di dalam tidur kita bakal bertemu dengan hal-hal yang akan menuntun kita untuk mendapatkan cinta orang yang kita inginkan. Namun Erri juga menegaskan, jika mantra itu tidak akan bekerja bila orang yang dituju tidak kita kenal, pun sebaliknya, paling tidak mantra tersebut akan bekerja sempurna jika sang pujaan memberi sinyal cinta, walau sedikit. Khususnya bagi cinta mereka yang terhalangi tembok keras.

Conni mempertanyakan, kenapa mereka juga harus menempelkan mantra tersebut ke kening, kenapa bukan si Rahab saja? Erri menjelaskan, di sini lah peran mereka berempat sebagai sahabat sejati, dengan menggunakan kertas mantra yang beraksara sama, dengan yang digunakan si Rahab, maka saat di dalam tidur nanti mereka akan bertemu, dan di sana lah nanti mereka akan bisa membantu si Rahab.

Karena ngebet ingin mendapat cintanya si Desy, tanpa membuang masa, Rahab mencoba mantra yang ditawarkan. Setelah semua kompak setuju, segera kelimanya menempelkan satu kertas mantra dengan corak aksara yang sama ke kening masing-masing. Selanjutnya memilih tempat untuk berbaring.

Conni memilih di atas sofa panjang, Buyut memilih di sofa pendek. Lipul dan Erri memilih tidur di lantai berlapiskan ambal tebal, dan si Rahab juga memilih tidur di sofa panjang dengan kaki saling tindih dengan kaki si Conni yang selonjoran.

Di dahului dengan membaca mantra—yang gak jelas banget apaan juga yang mereka ucapkan—serentak sepasang mata sama menutup. Tidak sampai 10 detik (Et—dah,cepet bingit yak tidurnye…?!) kelimanya pun sama-sama tertidur lena.


Di dalam dunia mimpi.

Dengan kecepatan yang melebihi kecepatan cahaya a.k.a warp (Seet—dah, kecepatan cahaya kan 300.000 km/detik, wuiihh ajib cepet banget tuh...) tahu-tahu kelimanya diteleportasikan ke sebuah kawasan tepi laut, siang menjelang sore. Berdiri gagah di atas bongkahan batu karang, menatap pasti ke arah lautan.

Sebagai pemimpin, berdiri di hadapan semua orang, si Buyut berkacak pinggang. Di kiri belakangnya, berdiri gagah si Rahab yang juga tegak berkacak pinggang. Sementara di kanan belakang, Erri berdiri menatap pasti ke arah yang sama, pun dengan bertolak pinggang. Di belakang si Erri dan Rahab berdiri gagah si Lipul, sedangkan di belakang si Lipul berdiri gagah juga si Conni, pun keduanya sambari berkacak pinggang.

Hmm… kalau dilihat-lihat formasi mereka berdiri dengan gagah itu, mirip-mirip rasi bintang biduk, tapi sayang kurang dua titik bintang lagi, kan rasi bintang biduk punya tujuh titik bintang. Hmm, mestinya mereka juga membawa serta si Fahmi dan si Nandar, jadi pas tuh, hehe.

Dan mereka sama mengenakan setelan tuxedo hitam. Blazer panjang hingga ke lutut, lebih mirip jaket hujan. Lengkap dengan dasi hitam panjangnya. Sepatu hitam mengkilap, dan (alamaaak…) masing-masing mengenakan kaca mata hitam. (Cek ileeeh… mafia konon, E-eeh, ape mirip-mirip setelannye si Emen In Black, ye?)

(Kok ane ngerasa ada yang salah, ya? Ya udah, lanjut ajalah dulu)

Buyut bertindak sebagai leader (ekhemm) melepas kaca mata hitam dengan tangan kanan, dengan serta merta kaca mata ia buang begitu saja ke sisi kanan. Gerakan si Buyut diikuti oleh keempat lainnya dan sama melempar kaca mata hitam ke sisi kanan begitu saja, kecuali si Rahab yang membuang ke sisi kiri. Selagi kaca mata hitam melayang, tiba-tiba kaca mata tersebut sama meledak, lenyap tak berbekas. (Ni jugak, keknya mirip-mirip adegan pelem apaaa, gitu…)

Bersamaan dengan meledaknya kelima kaca mata itu, Buyut acungkan tangan kanan lurus ke atas, jemari mencakar angkasa, dengan cepat tangan yang teracung ditarik, seperti gerakan menghantam menggunakan siku dengan jemari mengepal.

“Berubah…” teriak Buyut dengan lantang.

Serentak keempat yang lain melakukan gerakan yang sama, dan sama-sama berteriak lantang.

“Berubah…”

Szzzzzzwiiing… splaaasss… wwuuuuus... criinggg… (…???)

Wuus, tahu-tahu kelima orang itu telah berganti pakaian dan kostum—alamak jang, kok malah pake kostum warna-warni? Kek bocah-bocah aje ente pade! Buyut merah, Erri biru, Rahab hijau, Lipul hitam, nahh si Conni malah pink.

“Dowerr Rangerr…” ucap kelimanya serempak. (-_- hedeuuh…)

Penulis    : “Arrgg, Hoi-hoi-hoi…!!! Apa-apaan, itu, haa…?!”

(sumpah—ceritanya—ane kezzeeelll banget…)

Buyut dan kawan-kawan sama terhenti, sama mencoba mencari dari mana arah datangnya suara (ekhemm) barusan.

“Harusnya kan, wayang! Pandawa Lima. Bukannya Dowerr Rangerr…!”

Buyut dan kawan-kawan memandangi kostum yang sedang mereka kenakan. Sama terkejut. Menyadari kostum yang salah.

“Waduuh…!” kaget si Buyut. “Oii, plen. Salah kostum, nih…”

“Laah… lu yang leader-nya, kok,” sahut Rahab. “Kite pan ngikutin lu doang. Pe-ak!”

“Oke, ulangi lagi…!” Buyut memberi komando.

Zrrreeettttttt… Werrrrrrrr… (Ntu bunyi kaset nyang lagi di-rewind… >.<)


Baiklah, karena kelimanya pada ngacuook, maka waktunya kita kembalikan di saat kelimanya masih melayang di medan warp dalam kecepatan melebihi kecepatan cahaya.

Akhirnya… kelima orang itu mendarat mulus di atas karang yang menyembul di tepian pantai, (kembali) sama memandang ke arah lautan. Dengan sama mengenakan pakaian wayang (asli Indonesia doong, pastinya. Cieee, angkut budaya nih critanye hohoho) dalam banyak gambaran pada kisah Pandawa Lima. Dan tetap dengan formasi seperti sebelumnya, formasi rasi bintang biduk. Dan satu lagi, waktunya diubah menjadi pagi hari.

Buyut sebagai Gatotkaca berdiri di depan dari keempat lainnya bak seorang dewa jawara. Rahab sebagai Arjuna sang pencari cinta dengan segala kharismanya. Erri, penuh wibawa sebagai Bima. Lipul sebagai Yuyutsu. Dan diurutan terakhir, Conni sebagai Dewi Arimbi. Sikap tubuh dalam pose pewayangan.

(Stop-stop-stop…! Tunggu dulu! Aduuh… ntu kan, bukan formasinya Pandawa Lima. Gimana seeh? Kok cuman Arjuna ma Bima, doang? Mana Yudistira, juga Nakula dan Sadewa?! Argg… terserah lah, hancur-hancur dah skalian. Hikss…)

“Raksasa Otinarg…” teriak Buyut, e-eh maap, Gatotkaca, membahana.

(E-eh, kok suara ente berubah serak dan terdengar berat, Yut? Tapi, kereenn… gitu dong)

“Keluar kau…!” tantang Gatotkaca lantang.

Oarggg…

Satu raungan membahana dahsyat, menindih suara teriakan Gatotkaca, alih-alih suara deburan ombak. Bersamaan itu, satu sosok luar biasa besar muncul dari kedalaman laut.

(Lhoo?! Bukannya… itu mirip Om Nito…?!)

Raksasa sangar mengerikan, sepasang taring mencuat ke bawah, sepasang kuping dicantol perhiasan dari (huu… takut) tengkorak manusia. Rambut ikal panjang sebahu, dan kepala tertutup mahkota. Di tangan kanan, membekal senjata gada berukuran superbesar, disandang di bahu.

Raksasa itu benar-benar tinggi. Kedalaman laut saja, hanya sebatas lutut bagi dirinya. Ia memandang angker pada kelima jawara tersebut (sebenernya, ane mo bilang; kelima Pandawa itu. Tapi, berhubung formasi Pandawa-nya ngacok, ya ane batalin aja, ane ganti dengan sebutan; para jawara) sekali lagi, raksasa mengaum dahsyat, namun tidak sedikit pun memengaruhi raut wajah para jawara.

“Serahkan Dewi Ysed…!” titah Buyut—ed—dah, salah lagi—Gatotkaca, tak kalah garangnya. “Dan kau akan kami lepas Otinarg...”

“Atas dasar apa, kau mengancamku, haa…?” ujar raksasa itu menantang, suaranya seperti berasal dari dasar sumur yang dalam, bergema keras.

“Atas nama cinta, Otinarg…” Gatotkaca mulai kesal. “Cinta Arjuna dan Dewi Ysed yang terhalang olehmu,”

“Ho-ho-ho-ho…” raksasa itu tanggapi ucapan Gatotkaca dengan tawa membahana. (Begitu aje, dibilang membahana? -_- hedeuh…) “Langkahi dulu mayatku,” tantang sang raksasa sembari memamerkan seringai menakutkan. (Huu, atut…)

Mendengar jawaban raksasa—sepertinya lebih memilih (oops... maap) jalan kekerasan—dengan serta-merta, sepasang mata Gatotkaca berubah merah api, bergelora, berkobar, dan lain-lain, dan sebagainya, dan seterusnya… memenuhi tiap sudut rongga mata. Didahului dengan amarah yang menggelegak (ajie busyeett… ampe ngeluarin aura ledakan segala) Gatotkaca melesat, terbang, mengarah langsung ke kepala si raksasa.

“Jangan bilang aku tidak memberimu peringatan, Otinarg…!”

Sang raksasa mengayunkan gada superbesar-nya, (maap) memukul Gatotkaca. Sementara itu, Bima, Arjuna, Yuyutsu, dan Dewi Arimbi masih berdiri pada posisi mereka semula, tidak terpengaruh dengan pertarungan yang akan terjadi tak lama lagi tersebut. Sepertinya mereka merasa belum saatnya untuk turun tangan, dengan seorang Gatotkaca saja, raksasa itu dapat ditaklukan.

Begitu ayunan gada hampir menyentuh tubuh Gatotkaca…

“Stop…!” teriak Gatotkaca secara tiba-tiba. (Lhoo-lhoo-lhoo…?)

Raksasa menghentikan ayunan gadanya, sementara si Gatotkaca juga berhenti mendadak di awang-awang, mengambang setengah dari jarak ketinggian tubuh raksasa tersebut.

“Keknya, ada yang aneh, deh,” Gatotkaca tengah berpikir keras.

(Lhaa? Kok, suara ente balik ke semula, Yut? Oi-oi-oiii… ada apaan, ini?!)

Sang raksasa bingung dengan tindak-tanduk Gatotkaca. Gatotkaca melesat, kembali ke arah rekannya di bawah.

“Eii-eiii, yang betul aja lah kau itu, Gatot...” seru sang raksasa. “Jadi betempur atau tidak…? Bahh…!”

(Woiii… ada apaan ini? Kenapa brenti? Laah… kok, raksasanya pake logat Batak segala? Ni kan, cerita wayang…! Hiks-hiks-hiks, mana ada peran sebagai orang Batak dalam wayang…! Hua… gue bener-bener gak dianggap… hiks)

“Nntar dulu…!” seru Gatotkaca pada raksasa itu.

Gatotkaca mendarat mulus di hadapan keempat rekannya. Namun, posisi keempat orang itu tidak sedikit pun berubah, alih-alih beranjak melangkah.

“Ada apa, Gatot?” tanya Bima. (Tuh…! Erri aja pake suara berat, tuh…!)

“Ndak, ntar dulu!” sergah Gatotkaca.

“Ada apaan?!” sahut Erri lagi. (Huaa, kok sampeyan juga ikut-ikutan berubah logatnya, Ri? Pan tadi udah bener, itu…)

“Iye, ade apaan?” timpal Rahab. (Hancur-hancur, dah! Hua…)

“Ho-oh,” sahut Conni.

“Lu pade gak ngerasa heran, apa?” ujar Buyut. “Dari kemaren-kemaren, gue tuh mikir terus, keknya ada…”

“Hooo…” Sahut yang lain nyaris berbarengan seakan mengerti apa yang dimaksud oleh si Buyut. (Beuuh, ane aje kagak ngarti)

“Iye, lu bener,” kata Rahab, kemudian celingak-celinguk.

(Ni, ada apaan sih, sebenernya?! Kok gue yang penulis bisa kagak ngarti?)

“Nah, tuh…! Lu pade dengerkan?” ujar Buyut lagi, yang lain mengangguk. (Eeh?) “Lu orang, gak heran apa? Gue aja bingung,”

Kembali keempat rekan si Buyut sama mengangguk mengerti, mereka sama celingak-celinguk seperti mencari-cari keberadaan sesuatu atau seseorang. (Oopss…!)

“Nah… Ntu die, tuh…!” seru si Erri.

(Eeh busyeeettt, nape si Erri nunjuk tepat ke arah ane?Mampus…)

Serentak keempat orang itu menghadap ke arah kiri, sedangkan si Buyut ke arah kanan.

(Ampun dahh. Mereka semua melihat ke arah ane, ee busyeett tuh raksasa malah ikut-ikutan ngelihat ke ane… Hadeuuh, keringet dingin nih, ane,)

Buyut        : “Wooiii…!” (Eet—dah, pake teriak-teriak lagi ke ane, hedeuuh)

Penulis      : “Apaan?!”

Buyut        : “Lu kagak bisa kasi nama yang bagus dikit, apa?”

Penulis      : “Nama? Buat siapa?”

Buyut        : “Mana ada Dewi Ysed ma Otinarg dalam pewayangan! Lu pikir gak riweuh apa? Mending Ysed, lhaa… ini, Otinarg,”

Penulis      : “Habis, gue mo kasi nama apa lagi, Yut?”

Buyut        : “Lagian, ntu kan cuman kebalikan nama si Desy ma Om Granito, doang,”

Penulis      : “E-eeh, kok ente bisa tau, Yut?”

Erri, Rahab, Conni, Lipul : “Hoooo… baru tau gue,”

Buyut        : “Beuuh, nenek-nenek tatoan juga tau, keleusss…”

Penulis      : “Ya sudah lah, udah terlanjur. Jangan banyak protes! Ntar, pada gue coret-coretin nih semua,”

Buyut        : “Ya udeh. Lanjut… lain kali kasi nama yang enak diucap,”

Penulis      : “……………………………………………………………!”


Baiklah, sepertinya sudah tidak ada lagi protes. Hmm, cerita kita kembalikan di saat raksasa Otinarg alias Om Nito tertawa lantang mendengar ancaman Gatotkaca. Dan seketika itu juga Gatotkaca melesat ke bagian kepala si raksasa, setelah sebelumnya didahului (lagi) oleh ledakan aura dari tubuh si Gatotkaca.

Raksasa Otinarg mengayunkan gada dengan tangan kanan, menyongsong serangan Gatotkaca. Saat gada (maaf) menghantam, Gatotkaca mampu menahan hempasan gada dengan tangan kirinya. Bersamaan dengan berbenturnya gada besar dan tangan kiri Gatotkaca, terjadi dentuman keras. Seolah dua truk pasir saling bertubrukan dengan kecepatan tinggi—Kok, truk sih?

Ada aksi ada pula reaksi. Maka, reaksi dari dentuman itu, sang raksasa terjejal ke belakang dua langkah. Akan halnya Gatotkaca, terhempas kencang ke bawah, tepat di tempat mana sebelumnya dia berdiri.

Kembali terjadi dentuman, saat Gatotkaca membentur hamparan karang. Ledakan keras, sehingga tercipta kawah kecil. Gatotkaca tidak mengalami luka sedikit pun. Ia dalam posisi berjongkok, tepat di pertengahan titik kawah dengan satu tangan bertumpu ke lutut, sebelah tangan lagi menapak ke permukaan karang. Pandangan mata kembali berkobar dahsyat, menyeringai.

Keempat rekannya seperti tidak terpengaruh, padahal jelas-jelas tadi terjadi benturan dan ledakan selangkah di hadapan mereka. Namun, tidak sedikit pun mereka bereaksi. Di depan mereka Gatotkaca kembali bangkit, menatap raksasa dengan seringai.

Raksasa Otinarg kembali mengaum, detik berikutnya, gada superbesar kembali berayun. Kali ini, ia berniat menghancurkan kelima jawara tersebut sekaligus. Bahkan gada itu sendiri dibungkus aura hitam mematikan.

Melihat serangan yang lebih dahsyat itu, dengan sigap Gatotkaca kembali dalam barisan, formasi utuh (sebut saja begitu meski kurang dua titik bintang) rasi bintang biduk.

“Satukan kekuataaan…!” titah Gatotkaca tanpa berpaling. Kedua telapak tangan bertaut di dada, seketika telapak tangan dikobari api merah.

Dengan gerak cepat, Bima dan Arjuna yang berdiri di belakang Gatotkaca, menempelkan telapak tangan masing-masing ke punggung Gatotkaca. Arjuna dengan telapak tangan kanan, Bima telapak tangan kiri. Telapak tangan Gatotkaca yang dikobari api merah berubah menjadi api biru.

Gerakan itu dilanjutkan oleh Yuyutsu yang berdiri di belakang Arjuna dan Bima. Telapak tangan kiri Yuyutsu menempel di punggung Arjuna, sedang yang kanan menempel di punggung Bima. Kembali api di telapak tangan Gatotkaca berubah warna menjadi api hijau, setiap kali berubah warna tiap kali itu juga kobarannya semakin membesar.

Terakhir, rapalan penyatuan kekuatan tersebut di sudahi dengan menempelnya kedua telapak tangan Dewi Arimbi di punggung Yuyutsu. Begitu kedua telapak tangan wanita agung itu menempel, saat itu juga kelima jawara dilingkupi aura kelabu yang berputar-putar. Bersamaan itu juga, kobaran api hijau yang membungkus telapak tangan Gatotkaca berubah warna, menjadi api putih terang. Bahkan membesitkan kilatan-kilatan listrik kebiru-biruan. Semua itu berlaku begitu cepat seiring ayunan gada.

Whhuuuungggg…

Ayunan gada menimbulkan suara bergaung. Dengan pandangan tajam (yaa kek-kek mata elang gitu lah) dikobari api merah, Gatotkaca berlaku tenang, seringai terukir dibibirnya.

Begitu gada super besar menghantam, kurang dari tiga kali uluran tangan, didahului dengan teriakan lantang, Gatotkaca menyambut serangan tersebut. Dua tangan memukul ke atas. Satu sinar terang berkilau disertai kilatan-kilatan menyambar mencuat dari kedua telapak tangan Gatotkaca.

Blaarrrrr…

Pilar cahaya melesat dari kedua tangan Gatotkaca, membentur gada raksasa, sekaligus menghentikannya. Suara benturan menggema kencang.

Tidak itu saja, satu ledakan aura kembali terjadi saat cahaya terang membentur gada raksasa. Ledakan aura membentuk satu lingkaran penuh. (Pernah lihat batu dilemparin ke kolam, trus terbentuk gelombang kecil yang bergerak keluar titik pusat lemparan, kan?) Semakin lama semakin membesar, menyapu semua yang ada.

Raksasa Otinarg lakukan serangan kedua, bahkan dengan waktu yang nyaris bersamaan saat gadanya menghantam kelima jawara. Mulut bertaring tiba-tiba menganga lebar, dan…

Wrrruuuusss…

Gelombang api dahsyat menyambar kelima jawara. Serangan cepat raksasa Otinarg tidak diduga oleh kelima jawara yang sedang menahan gada besar. (Mungkin berat kali, ye)


Balik ke dunia nyata.

“Waa-waaa-waaa…”

“Puannaaass…”

Serentak, Erri, Rahab, Conni, Lipul, dan Buyut terbangun dari mimpi. (Dari tidur keleus…! Eeh, mimpi pa tidur, ya? Ahh, sama aja. Lanjut. Yuuk, mari...) Bahkan sama-sama langsung terduduk, terengah-engah. (Jiahaha... Oops, sorry, gue ketawa duluan lagi)

Ternyata apa yang terjadi saudara-saudara… (Hedeuuh mang komentator bola?)

Ternyata, apa yang terjadi di dalam mimpi mereka berlima, terjadi juga di alam nyatanya. Haha, konyoll. Rambut mereka sama gosong, kriting, bahkan masih mengepulkan asap. Dari dalam mulut, hidung, dan kuping juga mengeluarkan asap tipis. Pakaian mereka juga hitam, hangus, pun masih mengepulkan asap. Tubuh, apalagi wajah kelimanya, jangan ditanyakan lagi. Celemongan seperti arang.

(Hahaha… asli gak karu-karuan tuh, muka, wakkakaka…)

Bersamaan dengan terbangunnya kelima orang yang sambil berteriak kepanasan itu, tahu-tahu si Fahmi dan si Nandar nongol di ambang pintu, bahkan bertburukan satu sama lain. Sebab mendengar teriakan kelima orang tersebut.

Namun, begitu Fahmi dan Nandar menyadari kejadian yang ada, kontan saja keduanya kaget dan tertawa kencang, terbahak-bahak, terpingkal-pingkal. Bahkan si Nandar sampai menangis, menyerah, saking gak kuat menahan perut yang kejang sembari bergulingan di lantai.



***
-----bersambung^^-----
TULISAN INI PERTAMA KALI DIPUBLIKASIKAN DI WWW.KOMPASIANA.COM COPASING DIIZINKAN DENGAN MENYERTAKAN URL LENGKAP POSTINGAN DI ATAS, ATAU DENGAN TIDAK MENGUBAH/MENGEDIT AMARAN INI.