Selasa, 08 Agustus 2017

Fantasytopia 2 - Pulau Larangan dan Si Iblis Putih


Ini merupakan novel kedua penulis^^, sekaligus sekuel dari novel pertama; Fantasytopia.



Penerbit Jentera Pustaka

Fantasytopia - Pulau Larangan dan Si Iblis Putih
Penulis: Ando Ajo

Editor: Sekar Mayang
Layout: Liez Ardian
Cover: Domels

Versi Cetak bisa diorder ke: jentera.pustaka@gmail.com

Versi Digital tersedia di:

- http://www.gramedia.com/conf-fantasytopia-pulau-larangan-dan-si-iblis-putih.html
- https://play.google.com/store/books/details/Ando_Ajo_Fantasytopia_Pulau_Larangan_dan_Si_Iblis?id=DGOZDQAAQBAJ
- https://books.google.co.id/books/about/Fantasytopia_Pulau_Larangan_dan_Si_Iblis.html?id=DGOZDQAAQBAJ&redir_esc=y

Juga tersedia di; www.wayang.co.id serta; www.getscoop.com/id



Sinopsis


Delapan tahun sudah “Sang Pemanggil” bersemayam di dalam dada Ahmad, sebuah pusaka Kerajaan Elfunity yang berwujud cincin emas, dan selama itu pula tidak sekalipun digunakan Ahmad, bahkan terpikir pun tidak. Hingga terjadi perselisihan antara Ahmad, Silva, dan Danny.
Silva yang sebelumnya adalah pacar Ahmad, berpaling hati pada Danny yang lebih kaya. Danny yang merasa di atas angin menantang Ahmad untuk berduel. Pada saat itu lah Sang Pemanggil memperlihatkan kemampuannya, mengejutkan semua orang yang ada di tempat kejadian tersebut.
Shock akan kejadian perselisihan itu, membuat Ahmad lebih sering melamun. Ia berusaha menghindar dari Silva juga Danny, bahkan di sekolah sekalipun. Kejadian itu juga semakin memperdalam kerinduan Ahmad pada sahabat-sahabatnya di Kerajaan Elfunity di dunia yang berbeda.

Gayung bersambut. Pertemuan kembali dengan Johan si petugas kepolisian adalah awal langkah Ahmad untuk bisa memasuki dunia peri.
Johan dan istrinya yang tengah hamil bermaksud akan pulang ke Sumatera, mereka menyarankan Ahmad untuk berlibur, menenangkan diri, sebab mereka menduga Ahmad tengah galau, selalu bermuram durja. Ahmad menyetujui saran tersebut, begitu juga dengan kedua orang tuanya, Pak Wardiman dan Bu Asih.
Di bandara, Ahmad juga Johan dan istrinya bertemu dengan Krisna yang juga adalah anggota kepolisian. Setelah berbasa-basi, Krisna meneruskan tujuannya ke Bali dengan menggiring seorang gembong narkoba. Sementara Ahmad, Johan dan istrinya tetap di bandara menunggu keberangkatan mereka masing-masing. Johan dan istri akan mengambil penerbangan ke Sumatera Utara, sementara Ahmad dengan tujuan Sumatera Barat.

Saat memasuki kabin pesawat, Ahmad merasakan satu firasat, sebab kabin yang luas hanya ditempati oleh belasan penumpang saja. Namun penjelasan sang pramugari yang mengatakan; pesawat harus berangkat tepat waktu, itu sedikit melegakan pikiran aneh dalam kepala Ahmad.
Ahmad ternyata duduk bersebelahan dengan seorang gadis seusianya yang sebelumnya sempat ia lihat saat di lobi tunggu keberangkatan di bandara. Perkenalan dan pembicaraan singkat dengan gadis bernama Anjha tersebut kembali mengingatkan Ahmad akan negeri Elfunity. Di kala pesawat akan lepas landas Ahmad merasa mengalami de javu, melihat lagi kakek bercaping yang delapan tahun silam seolah menitipkan Sang Pemanggil padanya. Namun Ahmad tidak bisa berbuat banyak, tidak mungkin ia menghentikan laju pesawat.
Lelah berpikir, Ahmad tertidur selama perjalanan itu, bahkan bermimpi bertemu dengan sahabat lain alamnya. Mimpi menakutkan seolah firasat pada satu kenyataan, hingga Ahmad terbangun ketika pesawat mengalami masalah pada keempat mesinnya. Pesawat jatuh menghempas ke permukaan laut.

Sementara itu, Kerajaan Elfunity kembali didera prahara. Zupaelf yang adalah kerabat dekat istana melakukan kehebohan. Dengan menyandera Ramelf, si Peri Kupu-kupu yang mampu membaca aksara kuno. Zupaelf memanfaatkan kelebihan Ramelf tersebut untuk melaksanakan niatnya; melepaskan segel kutukan yang mengungkung Na’ag Ranck alias Si Iblis Putih.
Siksaan demi siksaan masih sanggup ditahan Ramelf, namun dengan licik, Zupaelf juga menyiksa adik laki-laki Ramelf, sehingga mau tidak mau Ramelf terpaksa menuruti perintah Zupaelf; melepaskan segel sang iblis yang dahulu kala pernah memorak-porandakan kehidupan di Elfunity.
Si Iblis Putih terlepas, dan kekacauan sekali lagi melanda negeri tersebut, bahkan memaksa ordo Bayldan untuk bertindak, sebab ketenangan kaum mereka di Pulau Larangan menjadi ikut terancam.
Ratu Elfunity meminta bantuan kepada para Bayldan, juga kepada ordo Centaur yang beberapa orang dari kaum mereka telah menjadi korban keganasan sang iblis. Namun, hanya ordo Centaur yang dengan senang hati menyambut permintaan sang ratu, sedangkan para Bayldan menolak mentah-mentah, sebab perselisihan yang terjadi antara leluhur Bayldan dan leluhur Elfunity ribuan tahun sebelumnya, telah menjadikan para Bayldan kurang simpatik terhadap negeri yang terancam malapetaka tersebut.

Kekacauan terus merambat hingga jauh ke barat dari negeri Elfunity. Tak disangka, Ahmad dan Anjha yang sebelumnya mengalami kecelakaan dalam penerbangan, dibawa arus laut ke sebuah pulau misterius, Pulau Yang-tak-disebutkan-namanya.
Di pulau tersebut, Ahmad dan Anjha mengalami petualangan aneh sekaligus mendebarkan. Bertemu Peri Sungai yang cantik namun ternyata sangat buas. Dikejar-kejar makhluk setengah serigala, bahkan bertemu dengan manusia-manusia harimau.
Johan yang bermaksud mencari keberadaan Ahmad bersama dengan sejumlah Tim SAR dan relawan, justru mengalami kecelakaan dan tercebur ke dalam laut tanpa seorang pun yang mengetahui. Arus bawah laut menghanyutkan Johan, hingga terdampar di pantai Pulau Yang-tak-disebutkan-namanya.

Zupaelf yang bermaksud memanfaatkan kekuatan sang iblis, justru mendapat penolakan dari sang iblis sendiri. Sang iblis melemparkan Zupaelf ke tengah lautan, berikut dengan Ramelf dan adik laki-lakinya. Setelah menghabiskan tenaga berenang mencari daratan, Zupaelf pun mencapai sebuah pulau. Pulau yang sama di mana beradanya Ahmad dan Anjha, juga Johan.
Pihak Istana Elfunity yang geram dengan perbuatan Zupaelf, mengutus seratus prajurit memburu wanita tersebut hingga ke Pulau Yang-tak-disebutkan-namanya, tanpa mereka ketahui jika di pulau tersebut hidup keturunan Leluhur Putih.
Pihak istana dibuat gempar, terutama sang ratu dan sang pangeran. Dari mulut Nazarage, mereka mengetahui jika Zupaelf ternyata adalah anak pertama dari raja sebelumnya. Dan kekagetan pihak istana kian bertambah, bahkan berubah menjadi kecemasan di kala pemimpin Bayldan memberitahukan sebuah rahasia, yakni; keturunan Leluhur Putih juga bermukim di Pulau Yang-tak-disebutkan-namanya. Kecemasan sang ratu sangat beralasan, mengingat Leluhur Putih yang berasal dari tanah yang sama, mungkin masih menyimpan dendam. Dendam pada anak-keturunan raja-raja Elfunity, sebab leluhur Elfunity telah mengusir mereka.

Tanpa dapat dicegah, pertempuran terjadi di pulau tersebut, akibat keteledoran prajurit Elfunity yang menghancurkan makam kuno yang sangat dihormati penduduk Pulau Yang-tak-disebutkan-namanya.
Bahkan rombongan kedua prajurit Elfunity yang dipimpin langsung oleh sang pangeran juga terlibat pertempuran itu. Padahal mereka bermaksud untuk melerai pertikaian yang terjadi hanya karena kesalahpahaman.
Sebelum pertempuran itu semakin meluas dan berubah menjadi perang besar, dua orang keturunan Leluhur Putih datang menghentikan pertikaian tersebut. Mengingat kekuatan tempur keduanya, tidak seorang pun yang berani membantah. Bahkan bangsa manusia-harimau yang buas pun tidak berani menantang mereka.
Pertempuran dapat diredakan, dua Leluhur Putih meminta pertanggungjawaban pihak Elfunity akan kehancuran yang terjadi. Sang pangeran menyanggupi itu, pesan sang ratu padanya; jika memungkinkan, membawa kembali Leluhur Putih ke Negeri Elfunity.
Emosi prajurit Elfunity kembali terpancing tatkala melihat keberadaan Zupaelf di antara Leluhur Putih. Namun keinginan mereka untuk menangkap Zupaelf mendapat hadangan dari kedua Leluhur Putih tersebut.
Sang pangeran yang sudah mengetahui jati diri sebenar dari Zupaelf, meminta wanita tersebut untuk kembali ke Elfunity. Namun Zupaelf menolak dengan sikap serbasalah. Tidak seorang pun yang tahu, jika Zupaelf adalah orang yang bertanggung jawab atas kematian Ibu Suri. Saat kenyataan itu ia utarakan, sontak kembali membangkitkan amarah pihak Elfunity. Lebih-lebih sang pangeran sendiri. Namun, setelah Zupaelf membeberkan kebenaran atas kejadian tersebut, barulah semua orang memahami apa yang telah diperbuat Zupaelf.

Ketegangan telah dapat ditenangkan. Semua kekusutan telah diurai dengan manis. Bahkan sang iblis pun dapat dijinakkan, berakhir menjadi penjaga wilayah Elfunity. Namun, keinginan pihak Elfunity agar Leluhur Putih bersedia tinggal di istana ditolak oleh kedua leluhur tersebut, mereka lebih memilih tetap tinggal di Pulau Yang-tak-disebutkan-namanya.
Begitu juga dengan Ahmad, Anjha, dan Johan. Selama tiga hari mereka menghabiskan waktu berada di lingkungan istana para peri tersebut. Dan kemudian, mereka harus kembali ke dunia mereka sendiri. Untuk kedua kalinya Ahmad harus berpisah dengan sahabt-sahabat lain alamnya tersebut. Waktu tiga hari terasa belum cukup untuk melepas kerinduannya pada mereka.

Datang lewat air, pulang pun melewati jalan air. Ahmad, Anjha, dan Johan di antar “pulang” dengan menggunakan perahu. Di tengah lautan, mereka bertiga melanjutkan perjalanan pulang dengan harus melewati terowongan air.
Sekali lagi arus bawah laut memberikan peranannya. Saat mereka bertiga mencapai permukaan laut, mereka telah berada di tengah-tengah laut dengan sebuah perahu karet sebagai sarana keselamatan mereka. Hingga, mereka “ditemukan” oleh nelayan setempat.
Ahmad kembali dengan selamat dengan satu kenangan manis, yang ia tahu, ia tidak akan meyesal karenanya; mengenal gadis bernama Anjha tersebut.

Sedangkan Johan, kepulangannya disambut tangisan bayi laki-laki yang baru dilahirkan sang istri. Tidak ada yang lebih membahagiakannya dari itu. Bertemu kembali istri tercinta, dan menggendong buah sang buah hati.


---o0o---


Selasa, 27 September 2016

Wajah di Balik Topeng


Crass…

Darah berceceran dari luka menganga di bahu kiri. Dan pria bajingan itu seolah mendengkur kencang menahan tawanya yang menjijikkan atas penderitaan saudara perempuanku.

Yang aku tahu, orang ini bukan mau membunuh saudara perempuanku, ia bisa melakukannya dengan cepat. Aku tahu itu, sebab meski “terkungkung”, aku dapat melihat dengan jelas aksi bajingan itu.

Dia… hanya ingin melihat saudara perempuanku menderita. Berada di titik terlemah manusia: ketidakberdayaan, dalam siksa yang aku tahu pasti lebih baik mati daripada harus mengalami itu.

Sebelum berada di tengah situasi mengerikan ini, aku telah membuat laporan kepada pihak yang berwajib: saudara perempuanku, menghilang, dan itu telah seminggu lamanya. Mereka tidak menemukan keberadaan saudara perempuanku.

Dan—tentu saja. Setelah aku pun “dibawa” ke ruang bawah tanah ini, baru kuketahui, ternyata saudara perempuanku justru ada di sini. Ruang pengap di bawah gudang belakang rumah kami sendiri, terikat di sebuah kursi tua dengan mulut disumpal kain kumal.

Kata kebodohan menempeleng kuat kepalaku. Gudang ini, tempat kami bermain dulu saat kecil—termasuk, ruang pengap ini. Tempat pelarianku kala ibu memarahiku, dan dengan segala cerita tidak menyenangkan mengiringi.

Kenapa tidak terpikirkan olehku?

“Emhhh… Emmh…”
Dengan mulut yang tertutup dan luka di sekujur tubuh, aku dengan jelas melihat begitu ketakutannya saudara perempuanku, dan penyiksa berengsek itu datang lagi dengan pisau yang bersih berkilat.

Crass…

Darah berceceran lagi, kali ini dari paha kanan. Penyiksa sialan itu tertawa dari balik topeng.
Ya, topeng para Hacker Anonymous, topeng yang sama yang digunakan V dalam film V For Vendetta, yang diilhami wajah Guy Fawkes pemberontak kerajaan Inggris yang dipenggal di Abad Pertengahan.

Cleept…

Pisau di tangan pria jahanam terbenam ke dalam perut saudara perempuanku. Sengaja, dia sengaja tidak menusuk titik vital.

Aku bersumpah mendengar dia terkekeh.

Andai saja kain kumuh itu tidak menghalangi rongga mulutnya, jeritan saudara perempuanku mungkin akan terdengar oleh seseorang di luar sana. Semakin tersiksa, itu yang tergambar di wajah dan tubuh saudara perempuanku. Bahkan mungkin—tidak tidak tidak, kurasa pasti—saudara perempuanku, pasti lebih memilih mati di saat itu juga seperti anggota PKI yang disiksa pada zaman Orde Baru.

Tidak! Aku tidak tahan lagi. Akan aku hentikan bajingan itu!

Aku tidak tahu apa yang menahanku sedari tadi, bajingan itu tidak mengikatku, tidak pula menyekapku. Entah kenapa kaki dan tangan ini sulit untuk kugerakkan. Tidak pula mulut ini, tak sanggup sekadar berteriak meminta pertolongan—entah pada siapa pun. Aku… hanya terpaku pada situasi ini, terkungkung pada ruang tak kasatmata.

Kukuatkan tekad di hati, mendekati penyiksa biadab bertopeng itu. Entah hanya firasatku saja, tapi aku yakin bajingan itu menoleh kepadaku. Langkahku sempat terhenti, sebab yang aku lihat dia juga berdiri dan melangkah mendekatiku.

Aku tertegun, tak mampu bersuara. Lagi-lagi tawa menjijikkan itu, tanpa kuduga bajingan yang telah menyiksa saudara perempuanku itu, membuka topengnya. Jaraknya teramat dekat. Bahkan, wajah iblis-nya itu terpaut hanya sejengkal dari wajahku.

Wajah itu… sangat familiar.

Aku menatap heran ke dalam wajahnya. Kuberanikan diri menggapai wajah menjijikkan itu. Kembali gerakanku terhenti saat dia melakukan gerakan yang sama persis denganku. Hingga, tangan kami bersentuhan.

Ah, tidak-tidak-tidak. Lebih tepatnya, tanganku menyentuh cermin besar, dan penuh debu, peninggalan ibu kami yang selalu membela saudara perempuanku itu.

I—ni… wajahku. Diriku!

"Kejutan…!"

Aku mendengar jelas ratap mengiba saudara perempuanku itu. Derai tangis dengan mata bengkak memerah bisa kulihat jelas di dalam cermin tua di hadapanku. Dan aku… menyadari, bayanganku di cermin, menyeringai.

“Sekarang tidak akan ada yang membelamu…”



---o0o---


A Cerpen by Fatihnokturnal & Ando Ajo.

Sabtu, 13 Agustus 2016

Kek

“Kek, beberapa jam lagi sangsaka akan dikibarkan!” seru Alif bersemangat, menunjuk ke arah lapangan terbuka.
“Iya, Nak,” Kakek Adam tersenyum, mengenang. “Bahkan gaungnya saja sudah terdengar, Nak!” mengelus kepala cucu sepuluh tahunnya itu.
“Kita ikutkan, Kek?”
Ahh… mata bening itu bersungguh-sungguh. Lagi-lagi kakek tersenyum senang, meski tiada lagi baris rapi gigi putih.
“Ayoo Kek, nanti kita terlambat!”  Alif menarik-narik tangan Kakek Adam.
“Sabar, Nak. Sabar,” lagi kakek mengelus kepala Alif. “Perjuangan butuh kesabaran. Jangan tergesa-gesa, Nak. Itu tidak baik!”
“Perjuangan, Kek?! Eeh…” Alif bingung. “Ta-pi kita, kan gak lagi berjuang, Kek.”
“Nak,” Kakek Adam menatap dalam mata yang bening. “Kakek sudah renta, lapangan itu cukup jauh, kita tidak memiliki kendaraan, satu-satunya yang kita miliki cuma sepeda kumbang karatan di belakang… bagi Kakek, kini berjalan ke lapangan itu adalah perjuangan, Nak.” Kakek kembali tersenyum, “Bagimu, menemani Kakek, menuntun Kakek ke sana juga perjuangan!”
Alif tertawa senang, karena sekarang ia tahu; aku pun berjuang.
*
“Kek, apa Kakek haus?”
Matahari bersinar terik, membara menyambut peringatan Hari Kemerdekaan. Kakek menggeleng, tersenyum. Kembali meneruskan perjalanan. Alif sangat bersemangat menuntun Kakek Adam.
“Kek, Ayah bilang… Kakek adalah pejuang.” Wajah Alif  memerah, bangga.
“Iya, Nak. Bersama Nenekmu,” senyum sang kakek dalam langkah yang perlahan. Kaki tuanya tak sekuat dulu lagi.
“Berarti… Kakek, Pahlawan doong, Kek?” Alif melompat senang.
“Ha-ha… kamu itu,” Kakek Adam geleng-geleng kepala. “Pahlawan atau pun pejuang, hanyalah sebutan. Gelar yang mereka sematkan di dada para pendahulu, Nak. Kamu tahu? Hmm… seperti pemain bulu tangkis, atau sepak bola, yaa… yang kamu sukai.”
“Tapi—“ Alif tertunduk sedih. “Ke-kenapa… Kakek gak dapat bunga?!” Alif menatap lesu wajah sang kakek. “Gak dapat piala kek pemain bola itu, Kek?!” Sang kakek tersenyum, menghela napas panjang. “Rumah aja da-dari anyaman bambu. Lantainya, cuman tanah. Atap jalinan ilalang, listrik juga gak masuk—Alif gak bisa nonton tipi, Kek! Kakek juga.” Alif berhenti, dan jongkok, merajuk dalam sedih.
“Nak!” ujar Kakek Adam. “Perjuangan itu bentuk lain dari keikhlasan!” Kakek tersenyum, membelai lembut kepala sang cucu. “Terlalu banyak kesedihan kami yang tersisih, Nak, bila harus diungkapkan.”
Kembali Kakek Adam mengajak Alif berdiri, dan melangkah menuju lapangan di ujung sana.
“Tapi-tapi… kenapa Kakek gak minta aja ma Pak Presiden, Kek?! Kata temen Alif, Presiden itu kaya. Banyak duit…”
Kake Adam tertawa halus mendengar penuturan sang cucu. “Tidak apa-apa, Nak. Begini saja sudah bagus, kok.”
“Padahal Kakek pejuang…” Alif masih saja bersedih.
“Nak. Kakek bukan lagi pejuang, itu dulu… Semua sudah usai, kan kita sudah merdeka. Makanya kita mau ikut upacara, kan?” Kakek Adam tersenyum lagi, namun Alif berdiam diri saja, cemberut.
“Mereka jahat sama Kakek!” gumam Alif setengah tak terdengar. “Duitnya banyak! Rumah tinggi-tinggi ada kolam berenang! Mobilnya bagus-bagus! Makannya pake daging, pake ayam terus! Kakek cuman makan nasi lembek, kangkung terus… urap terus! Katanya Kakek Pahlawan, katanya kita udah merdeka…”
Kembali Kakek Adam terkekeh, berhenti sejenak, jongkok di hadapan Alif.
“Nak,” mata teduh Kakek Adam mampu menghentikan laju kehangatan di mata bening Alif. “Tak ada alif yang tak bengkok.”
Alif bingung dengan ucapan sang kakek. Sepasang alisnya terangkat tinggi. Kakek Adam terkekeh melihat ekspresi Alif.
“Manusia tiada yang sempurna, Nak.” Kakek Adam memegang kedua bahu Alif. “Benar. Kita sudah merdeka. Kalau tidak, gak mungkin kita bisa jalan santai begini. Berhentilah mengutuk keadaan. Jika kamu besar nanti… buatlah perubahan.”
Alif mengangguk seolah berjanji. Kembali keduanya melangkah menyusuri jalanan di pagi hari itu.
“Pahlawan atau tidak, cukup kamu saja yang tahu,” sang kakek kedipkan sebelah matanya. Alif tersenyum. “Atau… kamu gak bangga ya, sama Kakek?”
“Bangga kok, Kek.” Alif memeluk. “Sangat bangga.”
“Kemerdekaan yang sejati itu—“ kakek menatap dalam pada Alif. “Ada di sini,” ujarnya menunjuk  dada. “Juga di sini,” tangan keriput beralih ke kepala.
“Maksud Kakek? Alif bingung, Kek…”
*
“…Hiduplah tanahku, hiduplah negeriku. Bangsaku, rakyatku, semuanya…
Bangunlah jiwanya, bangunlah badannya untuk Indonesia Raya.
Indonesia Raya merdeka… merdeka tanahku, negeriku, yang kucinta…”

“Kek, sangsaka udah hampir sampai di ujung tiang, Kek,” seru Alif bersemangat, lima jari tangan kanan tersusun rapat di samping pelipis dengan siku membentuk sudut empat puluh lima derajat.
“Ssstt...” sela Kakek Adam, “Jangan bicara! Dengarkan lagu itu sampai habis. Tegakkan badanmu, pentangkan tatapanmu, busungkan dadamu,” mata tua berkaca-kaca.
*
“Kek, tadi rame banget, ya,” langkah riang Alif menemani kakek Adam melangkah pulang, sehabis upacara bendera.
“Kamu senang?” Kakek Adam berusaha mengikuti laju langkah sang cucu.
“Iya, Kek,” Alif tersenyum. “Besok-besok, Alif ikut lagi ya, Kek. Boleh, kan?”
Kakek Adam tertawa lepas. “Tentu saja, Nak,” ia elus kepala Alif dengan segala kebanggaan. “Selagi darahmu masih merah, selagi garuda di dadamu, selagi merah-putih di pikiranmu… tentu saja, Nak. Tentu saja.”
Alif melompat-lompat kegirangan. Memainkan bendera kecil segitiga merah-putih di tangan kanan.
“Kek, Alif boleh ikut berjuang?” tanya Alif, tatapannya liar penuh semangat.
“Tentu saja, Nak,” kakek tertawa halus. “Perjuangan Kakek… mungkin sudah usai. Tapi, perjuangan yang sesungguhnya telah Kakek wariskan di pundakmu, Nak.”
“Haa…” lagi, Alif melonjak kegirangan. “Alif tahu, Kek. Alif tahu!”
Kakek Adam tertawa lepas, membimbing sang cucu, melangkah pulang ke rumah indah mereka. Yaa… mungkin kini ia masih sanggup menemani sang cucu mengikuti upacara bendera, meski hanya dari barisan paling belakang, terluar. Entah dengan tahun depan. Kerinduannya pada sang istri yang telah mendahului, sama besarnya dengan kerinduannya pada upacara tujuh belas Agustus tahun depan.
Rona mentari sedikit menguning, dikawal awan sedikit menghitam, memberikan kesejukan pada langkah Kakek Adam.

***

Cermin ini didedikasikan pada mereka yang mampu legowo diri meski mereka adalah pahlawan.

TULISAN INI ADALAH KARYA ANDO AJO, COPASING DIIZINKAN DENGAN MENYERTAKAN URL LENGKAP POSTINGAN DI ATAS, ATAU DENGAN TIDAK MENGUBAH/MENGEDIT AMARAN INI.
Ando Ajo, Depok - 13 Agustus 2016.
Sumber ilustrasi di sini

Selasa, 09 Agustus 2016

Sumpah ini Pemuda

Sumpah ini Pemuda



“Kau tidak bosan?”
       “Bosan?” Maun terkekeh, mungkin baginya akulah yang harus di-tertawa-i. “Bagaimana mungkin kau mengharap perubahan bila kau selalu terbentur kata; bosan?”
             “Haah, sudahlah,” sanggahku, seperti biasa Maun pasti akan mengeluarkan jurus ceramahnya padaku. “Aku mau berangkat kerja dulu, waktu makan siang sudah usai, nih.”
          Kutinggalkan Maun begitu saja, aku sangat yakin jika dia pastilah menatap punggungku dengan menggelengkan kepala, plus gurat senyum di bibirnya yang menghitam.
Maun adalah sahabatku sedari STM dulu. Hanya saja, ia tidak seberuntung teman-teman yang lain. Sepertiku. Mendapat pekerjaan yang layak, gaji yang tetap—bahkan bila kau bagus, bisa lebih daripada itu. Tapi… dia berbeda. Yaa, aku tidak bisa mengacuhkan itu, Maun pernah beberapa kali mendapat pekerjaan—sebut saja sesuatu yang layak daripada yang sekarang. Entahlah, hanya beberapa bulan saja, dan ia memutuskan keluar dari pekerjaannya.
Kau mungkin akan membalikkan ucapannya. Soal, bosan tadi. Tapi Maun selalu punya alasan untuk berkilah. Yang paling sering ia gunakan; “Rasanya ada yang tidak beres.” Entah apa pun itu artinya, aku sendiri juga tidak mengerti. Dan di sanalah dia, sehari-hari membersihkan sungai yang tak lagi bisa disebut sungai. Sudah dua tahun Maun melakukan itu, dan aku tidak melihat ada perubahan sama sekali. Maksudku, soal kehidupannya. Yaa, meski ada upah yang ia terima dari pemerintah setempat, tapi menurutku itu terlalu kecil dari tenaga dan usaha yang ia keluarkan.
Sudahlah, kutinggalkan saja dia dulu. Ada hal yang harus kupikirkan—dan lebih utama—laporanku kepada atasan. Hahh, malas sekali rasanya kaki ini untuk melangkah.

*

“Bagus, ketawai aja terus…!” dengusku, dan melampiaskan emosi di diri pada jus jeruk di dalam gelas. Ludes.
Maun tak jua mau berhenti tertawa, menyesal juga rasanya aku menceritakan kejadian siang tadi padanya. Maksudku, soal laporanku pada atasan di kantor. Hahh, apa yang bisa kulakukan? Atasan tidak menerima laporanku dengan baik, kadang aku berpikir apa dia tidak bisa melihat dari sisi diriku. Capek gitu lhoo… dan itu tidak dihargai? Waoow… Terlalu banyak kesalahan, begitu kata atasanku, dan yaa kau bisa membayangkan dia berujar sambil menghempaskan setumpuk kertas itu ke atas meja, tepat di hadapanku.
“Kau itu berangkat pagi—rapi lagi, pulang udah malam… kusut pula,” sahut Maun, dan itu menjengkelkan. “Kerja, apa dikerjain?”
Hahh, aku tidak ingin  menanggapi pertanyaan itu, bisa-bisa kehilangan kontrol diri. Yang bisa kulakukan, hanya meremas rambut, biar pada rontok atau botak sekalian.
“Lupakan itu,” ujarku sesaat kemudian, “Kau tidak mau kerja yang lebih baik?”
“Seperti dirimu, itu?!”
“Berengsek…!” lihat, begini saja sudah membuatku kesal nih cowok satu. “Maksudku, kau bisa mendapatkan pekerjaan yang lebih baik dari sekadar membersihkan kotoran sungai. Kau tidak perlu mencontohku,”
“Baiklah, akan aku turuti ucapanmu,” Maun menyeringai, “Terus, siapa yang bakal membersihkan sungai-sungai itu?”
“Heehh, capek ngomong ama kamu,” dengusku lagi.
Maun tertawa lagi. Entah apa yang ada dalam tempurung kepalanya itu. Maun sendiri bukanlah orang bodoh, maksudku, dulu dia adalah anak yang pintar—aku serius. Jadi kami pikir—paling tidak aku sendiri—dia pasti bisa menemukan pekerjaan yang cocok, yang sangat ia sukai untuk menyokong perekonomiannya sendiri.
“Kau tidak terpikirkan untuk mengumpulkan… entahlah, biaya mungkin. Kau pasti ingin memiliki istri bukan, keluarga kecilmu sendiri?”
“Kenapa?”
Pertanyaan itu, plus sepasang alis yang mengerut aneh, membuatku tidak bisa memarahinya. Dan lagi, apa urusanku? Maun hanya teman, dan sebagai teman aku tentu hanya bisa memberi saran terbaik, sesederhana itu.
“Ayolah, aku serius,” ujarku mengalah.
“Kau pernah punya mimpi?”
Aku mencibir menanggapi pertanyaan itu, tidak relevan, begitu pikirku untuk seusia kami. Lain hal bila kau masih kecil, unyu-unyu… Maun tertawa lagi. Apa pun masalahnya, dia selalu tertawa seperti itu. Mengesalkan.
“Aku punya,” ujarnya melanjutkan ucapan. “Punya istri, punya anak lucu-lucu. Pagi lari bersama menghirup kesegaran alam. Sore bercanda ria di tepian sungai mengalir bening—“
“Jadi…” aku memotong ucapannya, tahu pasti ke mana perginya itu. “Kau akan berkata; Lantas bagaimana aku akan menikah dan punya keturunan jika alam tak sesegar yang dibayangkan, dan sungai tak sebening yang diharapkan. Begitu?”
Maun mengangguk, dan menghadirkan senyum teramat manis—menurutku—yang belum pernah kulihat selama ini.
“Kau gila!” dengusku. Entahlah, aku tidak tahu apa yang tengah kurasakan. Kecewakah? Marahkah? Atau justru senang mendengar impian konyol itu? “Kau terlalu naif, sobat… terlalu naif.”

*

“Apa itu?”
Aku bisa melihat banyak kerutan di jidat Maun yang hitam tersengat mentari itu. Aku… entahlah, mungkin naif seperti dia.
“Naiklah, dulu…!” teriakku kepadanya.
“Kenapa kau terlihat berbeda?”
Haha, sukar untuk menyembunyikan itu dari mata Maun. Ia keluar dari dalam sungai, yaa kotor dan bau. Bau dari sampah-sampah orang-orang yang merasa suci dan memiliki kota ini.
“Kau tidak sedang mengigau, kan?”
“Berhentilah menggodaku, pemuda berengsek!” dengusku meski senyum tak pernah pupus di bibirku. Kuserahkan bungkusan itu padanya, juga sekotak makanan untuk makan siangnya. “Sudah kuputuskan—“
“Apa itu?” potong Maun, “Ahh, akhirnya… kau mau juga menjadi istriku,”
“Jangan seenaknya memotong ucapan orang!” dan sial, Maun justru tertawa kencang menanggapi jeritanku. Aku merasa wajahku tebal, begitu tebal, pandangan beberapa orang yang berlalu lalang begitu aneh di mataku. “Aku… sebut aku naif, tapi aku banyak belajar darimu. Yaa, sudah saatnya kata; bosan, kuhapus dari kamus dalam kepalaku. Itu saja,”
Untuk pertama kalinya di mataku, Maun tidak banyak bicara seperti yang sudah-sudah. Dia hanya memandangiku, bungkusan dan kotak makanan di tangannya yang kotor berlumpur. Dan senyum indah seperti semalam.
“Aku, keluar dari pekerjaanku. Kuputuskan untuk pulang ke kampung saja. Kau benar, sobat. Masih banyak hal yang bisa dilakukan anak muda seperti kita. Masih banyak…”

*

Di kampung tidak banyak yang bisa kukerjakan. Yaa, bukan berarti tidak ada yang bisa kukerjakan. Ada kok. Aku menerapkan ilmu semasa kuliah dulu di sini. Mengumpulkan beberapa anak-anak yang putus sekolah dan yang tidak pernah mengecap pendidikan, mengajar mereka dua hal ilmu yang penting—menurutku. Mengenal tulisan, dan berhitung. Tidak ada yang membayarku, kecuali orang tua dari anak-anak tersebut. Lucu sekali, dan itu lebih banyak dengan berbentuk barang. Kau tahu yang kumaksud? Seikat sayuran, ikan, atau apalah itu yang menjadi mata pencarian mereka.
Yaah, memang tidak banyak yang bisa kulakukan. Naif sekali. Aku tersenyum sendiri, separti apa jika Maun si pemuda berengsek itu melihatku di sini. Hahaha… lupakan saja.

Waktu bergulir begitu cepat. Dua tahun sudah aku berada di kampung halaman. Satu hal yang selalu menggelitik rasa ingin tahuku; bagaimana keadaan Maun sekarang? Jadi, kuputuskan untuk kembali ke Jakarta. Sudah lama rasanya tidak mendapat kabar dari dia. Hmm, terakhir setahun yang lalu.

*

Aku menemukan dia di tempat yang sama, seperti dulu. Maun masih setia pada sungai itu. Tidak ada yang berbeda, kecuali rambut yang sedikit gondrong dan kulit tubuh yang semakin mirip batu pualam. Satu lagi, ada empat orang lainnya yang sekarang membantu Maun membersihkan sungai itu.
Lama aku memandanginya sebelum ia menyadari kehadiranku. Dan sungguh, senyuman manis di bibir menghitam itulah yang kunantikan. Maun merangkak ke tepian.
“Haaa, bagaimana?” sahutnya tanpa rasa grogi sama sekali, maksudku sudah terpisah dua tahun, basa-basi dulu kek, apa kek. Menyebalkan. “Kau sudah memutuskan untuk menjadi istriku?”
Entah kenapa, kali ini aku tidak memaki sebagaimana dulu-dulu itu. Aku terkekeh menanggapi ucapannya.
“Sudah lama juga, ya?” ujarnya lagi. “Aku sih, sebenarnya pengen meluk kamu, gitu. Tapi… ya kamu lihat sendiri, kan?”
Lumpur bau masih menempel mesra di tubuhnya. Hahaha, sudah pasti aku akan menolak.
“Aku, hanya ingin mengatakan satu hal padamu, Maun,” kutatap dalam kedua matanya.
“Kau boleh mengatakan apa pun yang kau mau,”
“Aku serius… aku, juga memiliki mimpi yang sama!”



Ando Ajo, Jakarta 09 Agustus 2016.

Sabtu, 26 Maret 2016

XYZ

Inisial D


Daan menghela napas, melepas sarung tangan karet berwarna hijau dari kedua tangannya. Lantas berdiri, melangkah menjauhi jasad kaku, meninggalkan sisanya pada tim forensik.
“Jadi,” songsong Dwipa, menyandarkan tubuhnya ke badan mobil. “Kaumenemukan sesuatu, Daan?”
Daan mengempaskan napas, dua tangan berada di sisi pinggang. “Entahlah… semua masih ambigu. Satu-satunya kesamaan, kemaluan korban yang hilang,” Daan menggerakkan kedua tangan sejajar bahu, menegaskan kata: hilang, pada ucapannya.
Dwipa melipat kedua tangan ke dada, berpikir sejenak. “Dan ini, korban keempat…” desahan yang mengakhiri ucapannya seakan meneriakkan pada Daan, jika sang Kepala Bareskrim Polda Bali tersebut berharap pelaku—yang belum diketahui itu—tertangkap secepatnya. Begitu pula: mengungkap motif pelaku yang mengebiri kemaluan korbannya.
          Ya, Daan sangat mengerti itu: keresahan warga, alih-alih wisatawan. Dan sampai korban keempat ini, pihak Kepolisian masih mampu menutupi. Tapi, andai jatuh korban lagi dan lagi, Daan sama khawatirnya dengan sang atasan. Bali, akan kembali ditelan ketakutan.
          “Bagaimana dengan ide; profesionalisme-nya?”
          Daan pun menyandarkan punggungnya ke mobil di hadapan Dwipa. “Yaa, saya masih memiliki prasangka pelakunya seorang dokter bedah—setidaknya seseorang yang sangat mengerti organ manusia.”
          “Soal, darah?”
          Ya, itu benar. Tidak setetes darah pun ditemukan tercecer di TKP, tidak pula semenjak TKP pertama hingga keempat. Inilah yang memusingkan Daan sebagai “orang andalan”  dalam tubuh Divisi Investigasi. Bahkan hal ini pun sudah dipastikan oleh tim forensik yang tidak menemukan ceceran darah meski telah menggunakan cairan luminol di sekitar TKP.
          Daan tidak mampu menjawab pertanyaan Dwipa, terlalu sulit, pikirnya. Penjahat macam apa yang mau bersusah-susah agar darah korban tidak tercecer?
          Dwipa merentangkan kedua tangan, memutar-mutar leher mencoba mengusir rasa pegal di tubuh. “Pukul tiga lewat sepuluh,” ujarnya melirik Daan. “Pulanglah, tenangkan pikiran, kami mengandalkanmu. Pastikan paling lambat jam sembilan pagi nanti, aku sudah menerima laporanmu di mejaku.”
          Daan mengangguk lemah. “Permisi, Ndan.”
          Dwipa mengawasi mobil Daan yang meluncur pelan meninggalkan TKP, menembus kebekuan dini hari ini.

“Sudah empat pria dalam sebulan,” gumam Daan dalam perjalanan pulangnya. Meski jalanan sedikit lebih lengang dini hari ini, Daan tak hendak buru-buru, ia butuh satu mukjizat dalam kasus kali ini. “Turis Jepang, Australia, pria lokal, dan… India. Damn! Ayolah Daan… keluarkan instingmu seperti yang sudah-sudah!”
          Daan memelankan laju mobilnya, memberi kesempatan sebuah truk pengangkut sampah berbelok ke kiri. Dan kembali mobil Daan meluncur.
          “Ayolaaah…” kembali Daan bergumam menyemangati diri. “Pikir-pikir-pikir!” Daan bahkan sampai menepuk-nepuk kepalanya sendiri. “Empat korban, pria, semua kisaran tiga puluh tahunan. Tidak ada ID yang hilang, tidak juga uang dan harta di tubuh korban. Lantas apaaa…? Ahh!”
          Daan nyaris saja melewatkan tikungan ke kanan di pertigaan, jalan menuju apartemennya. Untung saja jalanan masih sepi, Daan jadi bisa memundurkan mobilnya, dan berbelok ke kanan.
          “Tiga korban sebelumnya,” lanjut Daan seperti orang sinting berbicara ke diri sendiri. “Dikebiri setelah dibunuh dengan menyumpal tenggorokan. Dan darah yang dikeringkan dari tubuh mereka… Tidak ada jejak perlawanan. Keringat yang mengering di tubuh.”
          Semula—dari dua korban sebelumnya—Daan dan rekan forensik berkesimpulan jika pelaku berkemungkinan besar adalah wanita dan menyerang turis asing saja, mengingat dua korban awal ditemukan tewas di atas ranjang. Seorang di kamar apartemennya, lainnya di kamar sebuah penginapan di tepi pantai. Ditambah kenyataan bahwa tubuh korban berkeringat yang menandakan ada aktifitas ranjang yang dilakukan antara si korban dan pelaku. Reka yang ada dalam kepala Daan adalah: korban dan pelaku berhubungan intim, kemudian korban merasa puas, lantas tertidur, kemudian dibius oleh pelaku, dan pelaku menyumpalkan sesuatu seperti kain ke tengggorokan korban, setelah korban tewas kehabisan napas dalam tidurnya, pelaku mengebiri kemaluan korban, dan… mengeringkan darah korban.
          Tapi, korban ketiga yang adalah warga lokal yang ditemukan di tepian pantai, sedikit menyisikan deskripsi sang pelaku. Begitu pula dengan korban keempat yang baru ditemukan tadi—di tengah kerapatan tanaman kelapa. Dan dugaan pelaku adalah seorang yang sangat mengerti anatomi tubuh manusia serta keperfeksionisan menjadi mencuat. Tidak adanya tetesan darah, dan pengamputasian alat kelamin korban yang begitu rapi—nyaris sempurna, mengindikasikan kedua hal tersebut.
          Tanpa terasa, Daan telah berada di depan gerbang apartemen. “Ahh, aku butuh kesegaran, dan secangkir kopi hitam.”

Setengah malas Daan membuka pintu apartemennya, bayang bathup dengan genangan air hangatnya, membuat Daan sedikit bersemangat. Dan biasanya, itu ampuh menyegarkan pikirannya. Berlama-lama merendam diri ditemani secangkir kopi hitam kesukaannya. Perfect.
          “Daisy!” Daan seolah lupa pada kekasihnya itu.
          “Hai, Sayang.” Daisy merebahkan tubuhnya di atas sofa merah.
          Daan terkekeh, ya, ia memang memberikan duplikat kunci apartemennya pada Daisy. Dan, posisi berbaring Daisy sekarang itu, menghasut gairah lain di dirinya. Lebih-lebih, wanita 27 tahun itu hanya mengenakan kaos putih longgar saja menutupi tubuhnya.
          “Kapan sampai?” tanya Daan sembari melepas pakaian atas di tubuhnya. Yang ia ingat pasti, terakhir kali menikmati bibir sensual itu sekitar sebulan yang lalu.
          “Setengah jam yang lalu,” Daisy mengerling manja, melipat kakinya sedemikian rupa.
          “Kamu terlihat letih banget,” ejek Daan, duduk di sofa yang sama, menggeser dan mengangkat kaki Daisy ke atas pahanya.
          “Yaa, setengah jam sebelumnya nungguin kamu di kafe bawah.”
          “Novelmu gimana?” Daan coba memberikan terapi ringan di kedua kaki Daisy.
          “Mentok lagi.” Daisy tertawa, sedikit kegelian akibat kenakalan tangan Daan yang memijit pahanya.
          “Sebulan di Lombok masih mentok juga?!” Daan terkekeh, punggung tangannya dicubit oleh Daisy, dan juga bibir yang sengaja dimonyong-monyongkan itu menanggapi pertanyaan sekaligus keheranannya. “Hahh, ya udahlah. Kamu mau ikut, Sayang?” Daisy mengangkat kedua alis indahnya, Daan terkekeh lagi. “Bathup, menyegarkan diri?”

Di dalam kamar mandi. Dua cangkir kopi hitam masih mengepulkan asap tipis, berjejer di atas meja keramik kecil di sisi kanan Daan bersandar. Daan berendam sembari memeluk Daisy di dalam bathup.
          “Kasusnya pelik juga, ya…” ujar Daisy
          “Yaah,” sahut Daan, dan mengecup rambut basah Daisy. “Hampir gak ada petunjuk—” saat menyibakkan rambut Daisy ke depan bahu kanan wanita tersebut, Daan melihat dua luka gores di leher belakang sang kekasih. “Leher kamu, kenapa, Yang?”
          “Agas. Gatel banget, yaa aku garukin aja ampe lecet.”
          Daan memiringkan kepala, ia perhatikan lagi areal luka gores di tengkuk Daisy. Tidak ada bekas gigitan nyamuk pantai itu di lehernya, gumam Daan dalam hati. Itu, tidak mirip sama sekali dengan luka lecet akibat garukan. Lebih terlihat seperti luka cakaran dalam sekali tarikan.
Intuisi Daisy tak bisa dianggap biasa saja, sebagai seorang novelis perfeksionis, hal sekecil apa pun akan menjadi pertimbangan lain baginya. Termasuk, gerak tangan Daan yang seolah terhenti, dan debaran tak beraturan yang ia rasakan di punggungnya dari dada pria tersebut.
“Masak kamu cemburu sama nyamuk pantai, sih?” manja Daisy dengan mengulas senyum teramat manis.

Jam tujuh pagi. Daan dalam perjalanan menuju Mapolda. Dalam kondisi jalan ramai pagi ini, butuh waktu nyaris satu jam bagi Daan untuk mencapai kantornya. Dan sialnya, ia melupakan laporan yang diminta Dwipa. Ya, keberadaan Daisy membakar gairahnya malam tadi. Dan Daisy pun telah meninggalkan kamar apartemen di awal hari, kebiasaan gadis tersebut sedari awal dikenal Daan.
“Apa yang bisa kuperbuat?” desah Daan mengenang tingkah Daisy yang suka pergi begitu saja tanpa pamit, tanpa memo. “Apa semua penulis seperti itu?!”
Daan tiba-tiba terdiam, kembali memikirkan dua luka gores di tengkuk Daisy. Seakan mengingat sesuatu yang terabaikan, Daan bergegas menghubungi seseorang lewat ponselnya.
“Hallo, Danang. Saya minta kamu memeriksa kuku tangan korban… ya, TKP pantai. Benar, korban ketiga. Ya. Ok, secepatnya. Satu jam lagi saya akan berada di kantor.”

“Rhesus Negatif? B?” ulang Daan.
“Ya. Anda terlihat tidak senang, Pak?” sahut Danang memerhatikan mimik wajah Daan yang lain dari biasanya.
“Yakin cuma ini saja yang kautemukan?” selidik Daan lagi.
Danang mengangguk pasti, cuma sedikit bercak darah yang bisa ia temukan di kuku korban ketiga tersebut, nyaris luput dari mata telanjang.
Daan menghela napas panjang. “Terima kasih,” ujarnya sambil berlalu dari ruang laboratorium tersebut.
“Sial… bagaimana ini?” geram Daan seorang diri di koridor lengang itu. Di satu sisi, ia senang sebab dengan informasi dari Danang, jelas Daisy tidak lagi menjadi kandidat pelaku-nya. Namun di sisi lain, kembali ia harus memulai dari nol. Ahh, tidak. Dari angka satu, paling tidak ia sudah mengantongi golongan darah pelaku yang tergolong langka—Rhesus Negatif.
Daan baru akan mencapai pintu kantor sang komandan saat ponselnya berdering.
“Daisy, kurasa ini bukan saat yang tep—ehh, apa? Dari mana kamu—ahh, shit aku lupa merapikan meja. Apa…?! Inisial katamu? Damn, benar juga. Thanks Hon, I’ll get you later. Bye—“
“Daan,” seru Dwipa saat akan keluar dari dalam kantornya. “Untung kau sudah di sini.”
“Eeh…?”
“Sanur. Hotel yang baru direnovasi tiga bulan yang lalu,” sahut Dwipa menjawab keanehan di wajah Daan.
“Biar saya tebak,” sahut Daan mengiringi langkah Dwipa. “Korban lainnya dengan inisial; D.” Daan bisa melihat tanya besar dari tatapan Dwipa kala memandang kepadanya, sebelum keduanya menghilang di pintu berikutnya.
“Hebat,” seru Dwipa menuruni anak tangga. “Tapi sudah tidak terlalu penting.”
“Maksud Anda, Ndan?”
“Kali ini korbannya tidak sampai kehilangan nyawa, dan—“ keduanya berada di dalam satu mobil yang sama. Dwipa yang mengemudi. “—Si korban berhasil menangkap pelakunya.”
Keterkejutan Daan sekaligus kelegaan akan tertangkapnya pelaku dijawab Dwipa dengan raungan mobil yang meluncur ke arah timur.

Daan masih berdiri bersidekap dada, menunggu dua perawat itu keluar dari kamar tersebut. Di atas ranjang, seorang pria tergolek lemah. Ia baru saja menjalani operasi darurat—beberapa jahitan di areal kemaluannya.
“Katakan, Dana,” bayang kelabu mewarnai wajah Daan. “Haruskah aku bersyukur karena kau tidak menjadi korban kelima, atau aku harus menamparmu atas nama Kakak ipar?”
Dana tak mampu menjawab pertanyaan adik-kembarannya itu. Ia ingin saja memohon untuk menyelamatkan rumah tangganya, namun rasa bersalah memaku lidahnya.
Daan memandang iba Dana. “Untuk kali terakhir. Tapi berjanjilah, buang gairahmu pada istrimu sendiri.” Daan melangkah keluar kamar, ia yakin Dana telah mendapat hukuman lebih daripada cukup.

“Baiklah Nona Dian.”
Daan harus menginterogasi pelaku, bukan untuk penangkapan karena hal itu sudah pasti, lebih kepada motif gadis 28 tahun tersebut. Di dalam ruangan empat kali enam meter persegi, hanya ada satu meja panjang dengan dua kursi. Satu kursi diduduki Daan, satunya lagi di seberang meja, diduduki Dian.
Dwipa dan beberapa petugas lainnya, menyaksikan “sesi” tersebut dari balik kaca persegi di dinding sebelah kanan Daan. Kaca antipeluru yang hanya bisa melihat dari sisi luar saja.
“Kenapa harus mengeringkan darah korban?”
“Kau tidak ingin bertanya; kenapa harus memotong penis mereka?”
Daan terkekeh, memantik sebatang rokok. “Kaumerokok?” Daan melemparkan bungkus rokok menthol ke atas meja, meluncur ke arah Dian berikut dengan pemantiknya. “Lupakan itu. Kau bukan perempuan pertama yang memotong kemaluan pria, jadi—“ asap putih mengepul dari mulut Daan. “—Aku lebih tertarik soal darah.”
Dengan kedua tangan yang disatukan oleh borgol, Dian mengeluarkan sebatang rokok dan menyalakannnya. “Aku femme yang menyukai femme.”
“Menarik,” Daan terkekeh. “Kaumembunuh demi pasanganmu, begitu?” Dian menanggapi pertanyaan Daan dengan tawa, tawa tak bersuara. “Darah?”
Dian mengisap rokok lebih dalam. “Kautahu… bercinta itu adalah seni tertinggi. Sebagian mereka bilang; seni ilahi. Kauingin melakukan apa saja saat bergumul. Bercinta dalam genangan darah yang hangat, itu—sensasi yang luar biasa. Kaumau mencoba?”
“Lewatkan saja,” Daan mematikan rokok ke dalam asbak.
Di luar, Dwipa dan beberapa anggota saling pandang. Bergidik ngeri mendengar pengakuan wanita tersebut.
“Jadi… siapa femme yang satu lagi?”
“Aku tidak akan mengatakannya,” Dian mencibir. Sebelum Daan membuka mulut, Dian mendahului, “Kaupikir dia juga terlibat?” Daan mengangkat kedua bahu. “Kau tidak mengerti apa-apa tentang kami—“
“Kurasa,” potong Daan. “Aku lebih dari mengerti.”
“Begitu?” Dian terkekeh lantas menjentikkan sisa rokok.
Daan memiringkan kepalanya ke kiri menghindari terjangan puntung rokok, lantas mengumbar senyum.
Dayita Calya… Dian terkekeh lagi, ia ingin saja menyebutkan nama itu sekencang-kencangnya. Namun, ia memilih menyimpannya dalam hati.
“Bisa kau lebih bekerja sama?”
“Dan kalian akan mengurangi hukumanku?” Dian sunggingkan kesinisan di sudut bibir.
Daan mengangkat bahu lagi, “Mungkin saja.”
“Aku tidak akan bicara padamu lagi, sebelum mendapatkan pengacara!”


Beberapa bulan kemudian.
Daan melangkah mantap keluar dari dalam lift, menuju pintu apartemennya. Sebenarnya, ia sangat berharap Daisy ada di dalam, dan ia akan sedikit “merayakan” pengeksekusian pelaku pembunuhan sadis beberapa bulan yang lalu. Sayang, Daisy tengah berada di Jakarta.
“Gimana peluncuran novelmu, Sayang?” sapa Daan membuka obrolan via ponsel.
“Yaah, lumayanlah. Kuharap dengan begini bisa mengangkat genre ini.”
“Haa, begitu. Yaa, kudoakan, deh. Buat kamu, apa sih yang enggak?”
Daisy terkekeh mendengar ucapan merajuk Daan tersebut. Ia cukup tahu jika sekarang sang kekasih butuh kehangatannya.
“Gimana dengan kasusmu itu, Yang?”
“Haaa…” Daan mengempaskan tubuhnya ke atas pembaringan. “Ternyata Nona Kutu Buku tertarik juga dengan kasus pembunuhan. Hmm…”
“Yaah, ngambek tuh… hahaha. Siapa tahu bisa menginspirasi novelku yang berikutnya. Ngasi roh gitu.”
Daan tertawa menanggapi kelakar Daisy. “Yaa, aku merasa sayang saja.”
“Sayang?”
“Begitulah. Muda, sangat pintar, mahasiswi kedokteran… S2 pula,” Daan mendesah panjang. “Ya sudahlah. Kamu kapan pulang? Kangen, nih…”
“Dua hari lagi. Baiklah, Sayang. Aku mau mandi dulu.”
“Bye, jangan tidur kelewat malam lhoo.”

Daisy tersenyum liar, menatap tubuh setengah telanjangnya di depan cermin. Kepala masih dilindungi lilitan handuk.
“Kautahu, Daan?” gumamnya. “Novel itu butuh nyawa, Sayang. Nyawa. Untuk menghidupkan setiap unsur yang ada di dalamnya. Tapi sudahlah. Kau tidak akan tahu itu, Sayang, tidak akan tahu. Kau tidak suka membaca novel. Ahh, aku suka sisimu yang satu itu.”
Daisy terkekeh sembari melemparkan ponsel ke atas ranjang. Di tangan kirinya, tergenggam sebuah novel yang baru saja dicetak. Pada sampul novel berjudul ‘XYZ’ tersebut, tertera nama sang penulis: Dayita Calya.

---o0o---

TULISAN INI PERTAMA KALI DIPUBLIKASIKAN DI WWW.KOMPASIANA.COM COPASING DIIZINKAN DENGAN MENYERTAKAN URL LENGKAP POSTINGAN DI ATAS, ATAU DENGAN TIDAK MENGUBAH/MENGEDIT AMARAN INI.
Ando Ajo, Jakarta 23 Maret 2016.

Catatan:
Luminol; Chemiluminescence (C8H7N3O2) cairan kimia yang mampu mendeteksi unsur partikel darah dari satu objek. Biasanya digunakan bersama zat Hidrogen Peroksida (H2O2) dalam ilmu forensik. Saat menyentuh objek yang terkena darah (dan atau pun pernah terkena darah) cairan luminol akan memancarkan cahaya biru terang dalam gelap.
Agas: nyamuk pantai, kecil-kecil, namun dengan gigitan lebih menyengat dan menimbulkan bengkak serta gatal luar biasa.
Rhesus Negatif: golongan darah yang tidak memiliki Aglutinogen (senyawa yang menjadi faktor penggumpalan darah) di permukaan sel darah merahnya.
Femme; istilah dalam kaum LGBT untuk merujuk lesbian yang berkarakter feminin.

Dayita Calya; dari bahasa Sanskerta. Dayita: kekasih. Calya: tanpa cacat.