Kamis, 02 April 2015

Menepuk Air Di Dulang

Menepuk Air Di Dulang


Mungkin, judul di atas sudah cukup sering kita dengar. Kata pepatah. Petuah orang-orang tua dahulu. Nasihat dalam kiasan. Namun, saya sangat ingin menulis sedikit tentang hal tersebut.

Oleh karena itu, izinkan saya meminta maaf pada semua sahabat, jika tulisan ini berbumbu menggurui. Terkesan kurang ajar, sebab umur belumlah setahun jagung.
*
Judul di atas tentu bisa kita cari dengan mudah arti dan maknanya. Lewat buku kata-kata mutiara, atau bahkan, yang lebih canggih dengan menggunakan search engine seperti Mbah Google.
Namun demikian, izinkan lagi saya mengingatkan maknanya.
Bagai menepuk air di dulang; Ringkasnya: Hal yang akan merugikan diri sendiri.

Jika dijabarkan, tentulah akan panjang jadinya. Sebab jika melihat lagi, dan kita benar-benar menepuk air di dulang, tentulah kita sendiri yang akan basah. Airnya akan menciprati tubuh sendiri. Namun saya mencoba untuk meringkasnya, berdasarkan apa-apa yang pernah saya terima, baik dari para sahabat, orang-orang tua di kampung, pun orang tua sendiri.

Petuah tersebut mengajarkan tentang risiko – imbas balik – yang akan kita dapat dalam melakukan sesuatu.
Melakukan di sini, bisa jadi melingkupi semua hal dalam sendi kehidupan yang kita jalani. Seperti misalnya; Dalam hal berbicara, dan berkelakuan.
Berbicara pun bukan sekadar bermakna harfiah atau lewat mulut/omongan saja, namun juga tulisan yang kita buat. Entah itu berupa artikel, status di jejaring sosial, hingga yang hanya berupa komentar.
Berkelakuan juga begitu. Ia menyangkup semua aspek. Sikap diri dalam menanggapi satu dan lain hal. Akankah diri menjadi emosi, saat membaca sebuah ulasan/artikel? Atau saat mendengar seseorang berujar? Mungkin juga, melihat/menonton/menyaksikan satu hal yang bisa memancing emosi diri? Atau justru sebaliknya?

Jujur saja, dua hal tersebutlah belakangan ini yang selalu tersajikan. Entah itu lewat siaran berita televisi, hingga juga ke media sosial.
Maaf, saya sendiri juga sering melakukan itu. Sengaja ataupun tidak. Namun saya bersyukur, sebab beberapa sahabat langsung mengingatkan saya. Dan saya membenarkan ucapan mereka, meski berbeda keyakinan akan hal tersebut.

Petuah tersebut, didukung lagi oleh banyak pepatah lainnya. Seperti contoh; Bercermin diri. Atau juga, Jika ingin merasa sakitnya dicubit, cubitlah diri sendiri.
Tentu saja kedua pepatah tersebut mengindikasikan; Apa pun yang akan kita perbuat, kita nilai, pada seseorang ataupun sebuah ulasan, haruslah melihat terlebih dahulu ke diri sendiri sebelum melanjutkan apa yang akan dilakukan/diucapkan/dituliskan.
Jika pepatah itu saja tidaklah cukup untuk mengingatkan, mari kita lihat pepatah berikut ini; Pembalasan selalu lebih kejam.
Cobalah menoel/mencolek/mencuil seseorang, khususnya yang tidak kita kenal, coleklah dengan satu jari saja! Apa yang akan kita dapatkan? Imbas baliknya?
Yaa… lebih banyak dengan balasan lima jari, alias tamparan. Padahal kita mencoel hanya dengan satu jari.
Begitu juga dengan perkataan (tulisan), satu yang kita bikin, bertubi-tubi serangan yang datang.

Tidakkah itu cukup?

Dan – maaf – hal yang selalu dilupakan, diabaikan, dipandang sebelah mata saja, adalah; Lupa mengkaji diri sendiri.
Utamanya bila diri sudah memiliki Taji, Taring, dan Cakar. Alias; Kedudukan, Kekuasaan, dan Tinta.

Orang-orang tua, dahulu telah amat sangat memperhitungkan hal tersebut.
Kenapa saya katakan demikian, sebagaimana halnya pernah saya singgung juga dalam tulisan saya Bahasa Paling Jujur.
Baik bahasa dan apalagi pepatah, saya rasa telah diramu sedemikian rupa oleh para leluhur. Mengalami banyak masa dan ‘evolusi’. Dan itu, bukanlah sekadar kalimat yang diciptakan begitu saja. Satu hari? Satu minggu? Satu bulan atau setahun? Yang benar saja! Bukan! Itu ratusan bahkan mungkin ribuan tahun. Dan sejauh ini, saya melihat, itu semua adalah benar.
Para leluhur telah memikirkan itu. Tentang perangai (sikap/kelakuan) yang akan diambil anak-cucu mereka kelak. Pun begitu jua dengan berbahasa (bertutur kata/ucapan). Ringkasnya; Sopan Santun.
Dan tidak itu saja, para leluhur juga memberikan cara/metode/kiat untuk menangkal hal tersebut. Salah satu contohnya, seperti yang pernah saya ulas di Atittude Changes Everything.

Tentu banyak lagi pepatah yang pada intinya mengajarkan untuk hidup lebih baik dalam keragaman, yang tentu saja selalu bersinggungan satu sama lain.
*
Sesal Dahulu Pendapatan, Sesal Kemudian Tiada Berguna.
Marah Pada Nyamuk, Kelambu Yang Dibakar.
*
Meminta maaf itu mulia, lebih mulia lagi memberi maaf.
-----------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------
 TULISAN INI PERTAMA KALI DIPUBLIKASIKAN DI WWW.KOMPASIANA.COM, COPASING DIIZINKAN DENGAN MENYERTAKAN URL LENGKAP POSTINGAN DI ATAS, ATAU DENGAN TIDAK MENGUBAH/MENGEDIT AMARAN INI.
-----------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------
Sumber ilustrasi; https://everythingatone.files.wordpress.com/2013/01/air.jpg

8 komentar:

  1. Inspiratif mas Ando. Ajaran orang tua kita yg masih relevan sampai jaman modern ini.

    BalasHapus
    Balasan
    1. iya Mas Pical :) tak lekang di panas, tak lapuk di hujan

      makasih Mas Pical :)

      Hapus
  2. Hmmmm,... iya. Tahu. Galak amat sih nulisnya. wkwkwkwk.

    BalasHapus
    Balasan
    1. hahaha gak galak-galak kok Mbak Etha :v

      makasih Mbak e :)

      Hapus
  3. Kata ibu saya : alam takambang jadi guru he he he bener begitu tulisannya Uda Ando?

    BalasHapus
  4. Uni Fabina :D haha betul sangat.. :D

    makasih Uni

    BalasHapus