Sabtu, 14 Februari 2015

3M - Musyawarah Mencapai Mufakat

3M

Musyawarah Mencapai Mufakat


Apa pun yang akan terjadi belakangan, masa bodoh! Yang jelas, gebuk saja dulu, pukul, hantam. Bila perlu, bakar! Bacok!

Sepenggal kalimat di atas, tentulah sangat banyak ditemui dalam keseharian, belakangan ini. Dan, benar saja adanya, terlebih, bagi generasi muda sekarang.

Sebelumnya, izinkan saya menyusun sepuluh jari, meminta maaf. Sebab – saya yakin – dalam hal tulisan pun, mustilah ada adab-susilanya.
Jikanya ada silap kata, maka maaf kami dahulukan.
Takkan berdencing besi bila tak dipukul, takkan memercik air jika tak ditepuk.
Sebab beradat datang, berbudaya pulang.
Berhadapan muka jalan masuk, lihatkan punggung jalan pulang.

Adalah benar pepatah tua; Buah jatuh, tidaklah jauh dari batangnya. 
Namun, dalam pandangan (maaf) saya, menggambarkan apa yang terjadi di paragraf awal, sepertinya itu tidaklah cocok. Maaf, saya tidak mengatakan pepatah tua tersebut ‘salah’.
Mungkin, lebih tepatnya; Cucuran atap, jatuhnya kepelimbahan jua.

Melihat kejadian di paragraf awal (hidup keseharian) tentulah itu sesuatu yang buruk, sangat buruk malah. Pelajar-pelajar yang lebih senang tawuran, menyakiti satu sama lain. Warga-warga yang saling baku-hantam. Ini tentulah perangai/sikap yang buruk, sebagaimana halnya dengan pengertian pelimbahan – limbah/kotoran.
Padahal kebanyakan dari ‘perang’ tersebut, pemicunya hanya hal yang sepele.
Lantas, bagaimana dengan cucuran? Dalam pepatah tua tersebut, tentulah mengacu pada orang tua. Dan bila dijabarkan lagi, orang tua di sini bukanlah ‘dipatenkan’ hanya pada makna orang tua kandung. Sebab kita tahu, sikap dan pemikiran generasi muda sangat dipengaruhi (menurut pandangan saya) oleh tiga hal.
Yakni; orang tua, lingkungan pendidikan, dan media massa.
Orang tua juga bermakna orang yang lebih tua. Entah itu dalam hal usia, bahkan kedudukan atau posisi dalam satu bidang. Sebab dalam beberapa kebudayaan di Indonesia, ada yang muda namun dipandang lebih tua dalam adat.

Kesibukkan orang tua dalam hal mencari rezeki, lebih banyak mengabaikan anak. Mungkin juga, asalkan anak menurut apa kata ayah-ibu, silakan melakukan apa pun. Bagaimana perkembangan perilaku anak di dalam dan di luar rumah, itu terserah.
Guru-guru yang lebih mempercayakan para murid ‘belajar’ pada buku. ‘Silakan baca wacana ini, kemudian kerjakan soal halaman sekian’, sudah. Setelah itu, ditinggal ke kantin, atau parahnya, shopping ke mal-mal ternama. Jika hanya harus belajar dari buku, untuk apa adanya lembaga pendidikan?
Media massa yang belakangan kian tak terkontrol. Entah itu perangkat elektronik, hingga media cetak. Dan masih menurut pandangan saya, yang paling berpengaruh adalah televisi. Bukan mengada-ada, sebab media inilah satu-satunya yang (nyaris) dimiliki setiap rumah, dan paling gampang diakses. Berita-berita yang terkadang menampilkan carut-marutnya politik negeri ini, tingkah para petinggi yang seolah orang yang sangat berkuasa. Penyelesaian masalah yang tak kunjung menemui titik terang, berlarut-larut. Ketidak-adilan hukum, antara si kecil dan si besar.

Di sadari atau tidak, seseorang akan cepat belajar (terpengaruh) dengan melihat/menyaksikan, bukan membaca atau mendengar.
Mungkin, ini bagian dari; Alam berkembang menjadi guru.
Namun, tentunya berkembang dalam hal yang salah.

Segala ketimpangan inilah yang lambat-laun mempengaruhi pola pikir dan tingkah-laku generasi penerus.
Dan lagi-lagi benar ungkapan pepatah tua; Larutnya (mengalirnya) air itu, ya ke hilir.
Sadar ataupun tidak, sengaja atau bukan, tingkah-laku yang tualah yang berandil besar. Logisnya, yang lebih muda (kecil) tentulah belajar dari yang lebih tua (besar).
Tidak berlebihan juga bila saya katakan; sepenuhnya kesalahan bukanlah pada diri masing-masing generasi muda tersebut.

Memang, terlalu naif bila saya mengatakan; semua generasi muda pastilah buruk, atau juga semua orang tua pun begitu.
Tidak, itu hanya segelintir saja, oknum. Namun, bila melihat dampak yang diberikan, ini sama saja dengan pepatah tua; Ulah nila setitik, rusak susu sebelanga. Orang-orang modern bilang; Efek domino. Yang di atas bobrok, maka bobroklah yang di bawah.

Tentu masih banyak orang-orang tua yang bijaksana dan arif dalam hal mengajar anak mereka. Guru-guru yang mampu membangkitkan keinginan murid untuk berkarya. Dan tayangan-tayangan media yang sanggup memicu daya kreatifitas generasi muda, tentunya dalam hal yang positif.
Akan tetapi, ini sama saja dengan; Umpama mencari sebatang jarum dalam tumpukan jerami. Atau; Menunggu ayam jantan bertelur. Yang lebih berat; Menunggu kuda bertanduk.
Kalau bukan dari sumbernya (orang tua, lingkungan pendidikan, media massa) pastilah anak-anak muda yang malas mencari tahu, sebab hidup sudah terbiasa menerima.

Satu dari sekian banyak hal terpenting (menurut saya) yang haruslah diajarkan pada generasi muda, yakni; Menyelesaikan masalah dengan kepala dingin.
Mengajarkan sesuatu yang sangat berkaitan dengan ideologi negeri ini; Pancasila. Terkhususnya, pada sila keempat; Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan, dalam permusyawaratan dan perwakilan.

Dan benar, kepala dingin saja tidaklah cukup untuk menyelesaikan satu masalah. Sebab bila hati panas, kepala yang dingin tentulah akan ‘menggelegak’ jua jadinya. Kepala dingin, mestilah dibarengi dengan hati yang tenang. Ibarat kata; Hati seluas samudera, pikiran seluas jagat raya. Dengan kata lain, dalam menghadapi satu masalah, hati akan tenang menerima segala macam keluhan bahkan cacian dan makian. Dan, pikiran akan mampu ‘berjernih’ diri, menampung segala macam ‘masukan’ hingga akan menghubungkan dengan ‘benang merah’ penyelesaian. Dan hal ini pun sangat berkaitan dengan ideologi pancasila, terkhususnya sila pertama; Ketuhanan Yang Maha Esa.

Leluhur bijak mengajarkan; Bulatnya air karena pembuluh, bulatnya kata karena mufakat.
Kasarnya, air yang adalah benda tak memiliki bentuk tetap, dapat dibentuk dengan bantuan benda lain. Dalam hal ini, pembuluh/pipa/selang.
Begitu juga dengan perkataan (masalah), semua dapat diselesaikan dengan mufakat. Dengan kata lain, keputusan bersama, yang tentu saja di sini mengacu pada musyawarah.

Generasi muda itu umpama; Kertas yang putih. Bila kertas putih ditulis (diisi) dengan kata-kata pujangga yang indah, bahasa yang santun, gambar panorama mengagumkan, tentulah kertas yang putih menjelma menjadi sesuatu yang berharga. Dan tentu pula bila sebaliknya, kertas yang putih tidak sedikit jua berharga, tidak pula hanya sekedar menjadi pembungkus gorengan pedagang kaki-lima.
Pun jua; Umpama si pohon rindang dengan buah yang besar dan nikmat, ianya dipupuk dan dirawat semenjak tunas. Pohon yang rindang memberi keteduhan, alih-alih oksigen untuk kehidupan. Buah yang nikmat yang mampu meredakan dahaga sekaligus rasa lapar.
Jika generasi muda ‘dipupuk’ baik sedari kecil – entah itu dari orang tua, lingkungan pendidikan, juga media massa – tentulah ia akan menjadi berguna sebagaimana halnya si pohon rindang tadi. Bahkan mungkin lebih dari pada itu.

Dan saya yakin seyakin-yakinnya, bila ‘orang-orang tua’ memberikan contoh sikap dan perilaku yang baik, maka generasi muda tentulah tidak akan main hakim sendiri dalam menyelesaikan persoalan.
Tentulah dengan begitu saya, dia, kami akan mengenal apa itu; Musyawarah Mencapai Mufakat.

Wassalam.
----------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------
Meminta maaf itu mulia, lebih mulia lagi memberi maaf.
----------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------
Sumber ilustrasi: https://supriyadikaranganyar.files.wordpress.com/2013/08/gambar-2-musyawarah-01.jpg

0 komentar:

Posting Komentar