Sabtu, 26 Maret 2016

XYZ

Inisial D


Daan menghela napas, melepas sarung tangan karet berwarna hijau dari kedua tangannya. Lantas berdiri, melangkah menjauhi jasad kaku, meninggalkan sisanya pada tim forensik.
“Jadi,” songsong Dwipa, menyandarkan tubuhnya ke badan mobil. “Kaumenemukan sesuatu, Daan?”
Daan mengempaskan napas, dua tangan berada di sisi pinggang. “Entahlah… semua masih ambigu. Satu-satunya kesamaan, kemaluan korban yang hilang,” Daan menggerakkan kedua tangan sejajar bahu, menegaskan kata: hilang, pada ucapannya.
Dwipa melipat kedua tangan ke dada, berpikir sejenak. “Dan ini, korban keempat…” desahan yang mengakhiri ucapannya seakan meneriakkan pada Daan, jika sang Kepala Bareskrim Polda Bali tersebut berharap pelaku—yang belum diketahui itu—tertangkap secepatnya. Begitu pula: mengungkap motif pelaku yang mengebiri kemaluan korbannya.
          Ya, Daan sangat mengerti itu: keresahan warga, alih-alih wisatawan. Dan sampai korban keempat ini, pihak Kepolisian masih mampu menutupi. Tapi, andai jatuh korban lagi dan lagi, Daan sama khawatirnya dengan sang atasan. Bali, akan kembali ditelan ketakutan.
          “Bagaimana dengan ide; profesionalisme-nya?”
          Daan pun menyandarkan punggungnya ke mobil di hadapan Dwipa. “Yaa, saya masih memiliki prasangka pelakunya seorang dokter bedah—setidaknya seseorang yang sangat mengerti organ manusia.”
          “Soal, darah?”
          Ya, itu benar. Tidak setetes darah pun ditemukan tercecer di TKP, tidak pula semenjak TKP pertama hingga keempat. Inilah yang memusingkan Daan sebagai “orang andalan”  dalam tubuh Divisi Investigasi. Bahkan hal ini pun sudah dipastikan oleh tim forensik yang tidak menemukan ceceran darah meski telah menggunakan cairan luminol di sekitar TKP.
          Daan tidak mampu menjawab pertanyaan Dwipa, terlalu sulit, pikirnya. Penjahat macam apa yang mau bersusah-susah agar darah korban tidak tercecer?
          Dwipa merentangkan kedua tangan, memutar-mutar leher mencoba mengusir rasa pegal di tubuh. “Pukul tiga lewat sepuluh,” ujarnya melirik Daan. “Pulanglah, tenangkan pikiran, kami mengandalkanmu. Pastikan paling lambat jam sembilan pagi nanti, aku sudah menerima laporanmu di mejaku.”
          Daan mengangguk lemah. “Permisi, Ndan.”
          Dwipa mengawasi mobil Daan yang meluncur pelan meninggalkan TKP, menembus kebekuan dini hari ini.

“Sudah empat pria dalam sebulan,” gumam Daan dalam perjalanan pulangnya. Meski jalanan sedikit lebih lengang dini hari ini, Daan tak hendak buru-buru, ia butuh satu mukjizat dalam kasus kali ini. “Turis Jepang, Australia, pria lokal, dan… India. Damn! Ayolah Daan… keluarkan instingmu seperti yang sudah-sudah!”
          Daan memelankan laju mobilnya, memberi kesempatan sebuah truk pengangkut sampah berbelok ke kiri. Dan kembali mobil Daan meluncur.
          “Ayolaaah…” kembali Daan bergumam menyemangati diri. “Pikir-pikir-pikir!” Daan bahkan sampai menepuk-nepuk kepalanya sendiri. “Empat korban, pria, semua kisaran tiga puluh tahunan. Tidak ada ID yang hilang, tidak juga uang dan harta di tubuh korban. Lantas apaaa…? Ahh!”
          Daan nyaris saja melewatkan tikungan ke kanan di pertigaan, jalan menuju apartemennya. Untung saja jalanan masih sepi, Daan jadi bisa memundurkan mobilnya, dan berbelok ke kanan.
          “Tiga korban sebelumnya,” lanjut Daan seperti orang sinting berbicara ke diri sendiri. “Dikebiri setelah dibunuh dengan menyumpal tenggorokan. Dan darah yang dikeringkan dari tubuh mereka… Tidak ada jejak perlawanan. Keringat yang mengering di tubuh.”
          Semula—dari dua korban sebelumnya—Daan dan rekan forensik berkesimpulan jika pelaku berkemungkinan besar adalah wanita dan menyerang turis asing saja, mengingat dua korban awal ditemukan tewas di atas ranjang. Seorang di kamar apartemennya, lainnya di kamar sebuah penginapan di tepi pantai. Ditambah kenyataan bahwa tubuh korban berkeringat yang menandakan ada aktifitas ranjang yang dilakukan antara si korban dan pelaku. Reka yang ada dalam kepala Daan adalah: korban dan pelaku berhubungan intim, kemudian korban merasa puas, lantas tertidur, kemudian dibius oleh pelaku, dan pelaku menyumpalkan sesuatu seperti kain ke tengggorokan korban, setelah korban tewas kehabisan napas dalam tidurnya, pelaku mengebiri kemaluan korban, dan… mengeringkan darah korban.
          Tapi, korban ketiga yang adalah warga lokal yang ditemukan di tepian pantai, sedikit menyisikan deskripsi sang pelaku. Begitu pula dengan korban keempat yang baru ditemukan tadi—di tengah kerapatan tanaman kelapa. Dan dugaan pelaku adalah seorang yang sangat mengerti anatomi tubuh manusia serta keperfeksionisan menjadi mencuat. Tidak adanya tetesan darah, dan pengamputasian alat kelamin korban yang begitu rapi—nyaris sempurna, mengindikasikan kedua hal tersebut.
          Tanpa terasa, Daan telah berada di depan gerbang apartemen. “Ahh, aku butuh kesegaran, dan secangkir kopi hitam.”

Setengah malas Daan membuka pintu apartemennya, bayang bathup dengan genangan air hangatnya, membuat Daan sedikit bersemangat. Dan biasanya, itu ampuh menyegarkan pikirannya. Berlama-lama merendam diri ditemani secangkir kopi hitam kesukaannya. Perfect.
          “Daisy!” Daan seolah lupa pada kekasihnya itu.
          “Hai, Sayang.” Daisy merebahkan tubuhnya di atas sofa merah.
          Daan terkekeh, ya, ia memang memberikan duplikat kunci apartemennya pada Daisy. Dan, posisi berbaring Daisy sekarang itu, menghasut gairah lain di dirinya. Lebih-lebih, wanita 27 tahun itu hanya mengenakan kaos putih longgar saja menutupi tubuhnya.
          “Kapan sampai?” tanya Daan sembari melepas pakaian atas di tubuhnya. Yang ia ingat pasti, terakhir kali menikmati bibir sensual itu sekitar sebulan yang lalu.
          “Setengah jam yang lalu,” Daisy mengerling manja, melipat kakinya sedemikian rupa.
          “Kamu terlihat letih banget,” ejek Daan, duduk di sofa yang sama, menggeser dan mengangkat kaki Daisy ke atas pahanya.
          “Yaa, setengah jam sebelumnya nungguin kamu di kafe bawah.”
          “Novelmu gimana?” Daan coba memberikan terapi ringan di kedua kaki Daisy.
          “Mentok lagi.” Daisy tertawa, sedikit kegelian akibat kenakalan tangan Daan yang memijit pahanya.
          “Sebulan di Lombok masih mentok juga?!” Daan terkekeh, punggung tangannya dicubit oleh Daisy, dan juga bibir yang sengaja dimonyong-monyongkan itu menanggapi pertanyaan sekaligus keheranannya. “Hahh, ya udahlah. Kamu mau ikut, Sayang?” Daisy mengangkat kedua alis indahnya, Daan terkekeh lagi. “Bathup, menyegarkan diri?”

Di dalam kamar mandi. Dua cangkir kopi hitam masih mengepulkan asap tipis, berjejer di atas meja keramik kecil di sisi kanan Daan bersandar. Daan berendam sembari memeluk Daisy di dalam bathup.
          “Kasusnya pelik juga, ya…” ujar Daisy
          “Yaah,” sahut Daan, dan mengecup rambut basah Daisy. “Hampir gak ada petunjuk—” saat menyibakkan rambut Daisy ke depan bahu kanan wanita tersebut, Daan melihat dua luka gores di leher belakang sang kekasih. “Leher kamu, kenapa, Yang?”
          “Agas. Gatel banget, yaa aku garukin aja ampe lecet.”
          Daan memiringkan kepala, ia perhatikan lagi areal luka gores di tengkuk Daisy. Tidak ada bekas gigitan nyamuk pantai itu di lehernya, gumam Daan dalam hati. Itu, tidak mirip sama sekali dengan luka lecet akibat garukan. Lebih terlihat seperti luka cakaran dalam sekali tarikan.
Intuisi Daisy tak bisa dianggap biasa saja, sebagai seorang novelis perfeksionis, hal sekecil apa pun akan menjadi pertimbangan lain baginya. Termasuk, gerak tangan Daan yang seolah terhenti, dan debaran tak beraturan yang ia rasakan di punggungnya dari dada pria tersebut.
“Masak kamu cemburu sama nyamuk pantai, sih?” manja Daisy dengan mengulas senyum teramat manis.

Jam tujuh pagi. Daan dalam perjalanan menuju Mapolda. Dalam kondisi jalan ramai pagi ini, butuh waktu nyaris satu jam bagi Daan untuk mencapai kantornya. Dan sialnya, ia melupakan laporan yang diminta Dwipa. Ya, keberadaan Daisy membakar gairahnya malam tadi. Dan Daisy pun telah meninggalkan kamar apartemen di awal hari, kebiasaan gadis tersebut sedari awal dikenal Daan.
“Apa yang bisa kuperbuat?” desah Daan mengenang tingkah Daisy yang suka pergi begitu saja tanpa pamit, tanpa memo. “Apa semua penulis seperti itu?!”
Daan tiba-tiba terdiam, kembali memikirkan dua luka gores di tengkuk Daisy. Seakan mengingat sesuatu yang terabaikan, Daan bergegas menghubungi seseorang lewat ponselnya.
“Hallo, Danang. Saya minta kamu memeriksa kuku tangan korban… ya, TKP pantai. Benar, korban ketiga. Ya. Ok, secepatnya. Satu jam lagi saya akan berada di kantor.”

“Rhesus Negatif? B?” ulang Daan.
“Ya. Anda terlihat tidak senang, Pak?” sahut Danang memerhatikan mimik wajah Daan yang lain dari biasanya.
“Yakin cuma ini saja yang kautemukan?” selidik Daan lagi.
Danang mengangguk pasti, cuma sedikit bercak darah yang bisa ia temukan di kuku korban ketiga tersebut, nyaris luput dari mata telanjang.
Daan menghela napas panjang. “Terima kasih,” ujarnya sambil berlalu dari ruang laboratorium tersebut.
“Sial… bagaimana ini?” geram Daan seorang diri di koridor lengang itu. Di satu sisi, ia senang sebab dengan informasi dari Danang, jelas Daisy tidak lagi menjadi kandidat pelaku-nya. Namun di sisi lain, kembali ia harus memulai dari nol. Ahh, tidak. Dari angka satu, paling tidak ia sudah mengantongi golongan darah pelaku yang tergolong langka—Rhesus Negatif.
Daan baru akan mencapai pintu kantor sang komandan saat ponselnya berdering.
“Daisy, kurasa ini bukan saat yang tep—ehh, apa? Dari mana kamu—ahh, shit aku lupa merapikan meja. Apa…?! Inisial katamu? Damn, benar juga. Thanks Hon, I’ll get you later. Bye—“
“Daan,” seru Dwipa saat akan keluar dari dalam kantornya. “Untung kau sudah di sini.”
“Eeh…?”
“Sanur. Hotel yang baru direnovasi tiga bulan yang lalu,” sahut Dwipa menjawab keanehan di wajah Daan.
“Biar saya tebak,” sahut Daan mengiringi langkah Dwipa. “Korban lainnya dengan inisial; D.” Daan bisa melihat tanya besar dari tatapan Dwipa kala memandang kepadanya, sebelum keduanya menghilang di pintu berikutnya.
“Hebat,” seru Dwipa menuruni anak tangga. “Tapi sudah tidak terlalu penting.”
“Maksud Anda, Ndan?”
“Kali ini korbannya tidak sampai kehilangan nyawa, dan—“ keduanya berada di dalam satu mobil yang sama. Dwipa yang mengemudi. “—Si korban berhasil menangkap pelakunya.”
Keterkejutan Daan sekaligus kelegaan akan tertangkapnya pelaku dijawab Dwipa dengan raungan mobil yang meluncur ke arah timur.

Daan masih berdiri bersidekap dada, menunggu dua perawat itu keluar dari kamar tersebut. Di atas ranjang, seorang pria tergolek lemah. Ia baru saja menjalani operasi darurat—beberapa jahitan di areal kemaluannya.
“Katakan, Dana,” bayang kelabu mewarnai wajah Daan. “Haruskah aku bersyukur karena kau tidak menjadi korban kelima, atau aku harus menamparmu atas nama Kakak ipar?”
Dana tak mampu menjawab pertanyaan adik-kembarannya itu. Ia ingin saja memohon untuk menyelamatkan rumah tangganya, namun rasa bersalah memaku lidahnya.
Daan memandang iba Dana. “Untuk kali terakhir. Tapi berjanjilah, buang gairahmu pada istrimu sendiri.” Daan melangkah keluar kamar, ia yakin Dana telah mendapat hukuman lebih daripada cukup.

“Baiklah Nona Dian.”
Daan harus menginterogasi pelaku, bukan untuk penangkapan karena hal itu sudah pasti, lebih kepada motif gadis 28 tahun tersebut. Di dalam ruangan empat kali enam meter persegi, hanya ada satu meja panjang dengan dua kursi. Satu kursi diduduki Daan, satunya lagi di seberang meja, diduduki Dian.
Dwipa dan beberapa petugas lainnya, menyaksikan “sesi” tersebut dari balik kaca persegi di dinding sebelah kanan Daan. Kaca antipeluru yang hanya bisa melihat dari sisi luar saja.
“Kenapa harus mengeringkan darah korban?”
“Kau tidak ingin bertanya; kenapa harus memotong penis mereka?”
Daan terkekeh, memantik sebatang rokok. “Kaumerokok?” Daan melemparkan bungkus rokok menthol ke atas meja, meluncur ke arah Dian berikut dengan pemantiknya. “Lupakan itu. Kau bukan perempuan pertama yang memotong kemaluan pria, jadi—“ asap putih mengepul dari mulut Daan. “—Aku lebih tertarik soal darah.”
Dengan kedua tangan yang disatukan oleh borgol, Dian mengeluarkan sebatang rokok dan menyalakannnya. “Aku femme yang menyukai femme.”
“Menarik,” Daan terkekeh. “Kaumembunuh demi pasanganmu, begitu?” Dian menanggapi pertanyaan Daan dengan tawa, tawa tak bersuara. “Darah?”
Dian mengisap rokok lebih dalam. “Kautahu… bercinta itu adalah seni tertinggi. Sebagian mereka bilang; seni ilahi. Kauingin melakukan apa saja saat bergumul. Bercinta dalam genangan darah yang hangat, itu—sensasi yang luar biasa. Kaumau mencoba?”
“Lewatkan saja,” Daan mematikan rokok ke dalam asbak.
Di luar, Dwipa dan beberapa anggota saling pandang. Bergidik ngeri mendengar pengakuan wanita tersebut.
“Jadi… siapa femme yang satu lagi?”
“Aku tidak akan mengatakannya,” Dian mencibir. Sebelum Daan membuka mulut, Dian mendahului, “Kaupikir dia juga terlibat?” Daan mengangkat kedua bahu. “Kau tidak mengerti apa-apa tentang kami—“
“Kurasa,” potong Daan. “Aku lebih dari mengerti.”
“Begitu?” Dian terkekeh lantas menjentikkan sisa rokok.
Daan memiringkan kepalanya ke kiri menghindari terjangan puntung rokok, lantas mengumbar senyum.
Dayita Calya… Dian terkekeh lagi, ia ingin saja menyebutkan nama itu sekencang-kencangnya. Namun, ia memilih menyimpannya dalam hati.
“Bisa kau lebih bekerja sama?”
“Dan kalian akan mengurangi hukumanku?” Dian sunggingkan kesinisan di sudut bibir.
Daan mengangkat bahu lagi, “Mungkin saja.”
“Aku tidak akan bicara padamu lagi, sebelum mendapatkan pengacara!”


Beberapa bulan kemudian.
Daan melangkah mantap keluar dari dalam lift, menuju pintu apartemennya. Sebenarnya, ia sangat berharap Daisy ada di dalam, dan ia akan sedikit “merayakan” pengeksekusian pelaku pembunuhan sadis beberapa bulan yang lalu. Sayang, Daisy tengah berada di Jakarta.
“Gimana peluncuran novelmu, Sayang?” sapa Daan membuka obrolan via ponsel.
“Yaah, lumayanlah. Kuharap dengan begini bisa mengangkat genre ini.”
“Haa, begitu. Yaa, kudoakan, deh. Buat kamu, apa sih yang enggak?”
Daisy terkekeh mendengar ucapan merajuk Daan tersebut. Ia cukup tahu jika sekarang sang kekasih butuh kehangatannya.
“Gimana dengan kasusmu itu, Yang?”
“Haaa…” Daan mengempaskan tubuhnya ke atas pembaringan. “Ternyata Nona Kutu Buku tertarik juga dengan kasus pembunuhan. Hmm…”
“Yaah, ngambek tuh… hahaha. Siapa tahu bisa menginspirasi novelku yang berikutnya. Ngasi roh gitu.”
Daan tertawa menanggapi kelakar Daisy. “Yaa, aku merasa sayang saja.”
“Sayang?”
“Begitulah. Muda, sangat pintar, mahasiswi kedokteran… S2 pula,” Daan mendesah panjang. “Ya sudahlah. Kamu kapan pulang? Kangen, nih…”
“Dua hari lagi. Baiklah, Sayang. Aku mau mandi dulu.”
“Bye, jangan tidur kelewat malam lhoo.”

Daisy tersenyum liar, menatap tubuh setengah telanjangnya di depan cermin. Kepala masih dilindungi lilitan handuk.
“Kautahu, Daan?” gumamnya. “Novel itu butuh nyawa, Sayang. Nyawa. Untuk menghidupkan setiap unsur yang ada di dalamnya. Tapi sudahlah. Kau tidak akan tahu itu, Sayang, tidak akan tahu. Kau tidak suka membaca novel. Ahh, aku suka sisimu yang satu itu.”
Daisy terkekeh sembari melemparkan ponsel ke atas ranjang. Di tangan kirinya, tergenggam sebuah novel yang baru saja dicetak. Pada sampul novel berjudul ‘XYZ’ tersebut, tertera nama sang penulis: Dayita Calya.

---o0o---

TULISAN INI PERTAMA KALI DIPUBLIKASIKAN DI WWW.KOMPASIANA.COM COPASING DIIZINKAN DENGAN MENYERTAKAN URL LENGKAP POSTINGAN DI ATAS, ATAU DENGAN TIDAK MENGUBAH/MENGEDIT AMARAN INI.
Ando Ajo, Jakarta 23 Maret 2016.

Catatan:
Luminol; Chemiluminescence (C8H7N3O2) cairan kimia yang mampu mendeteksi unsur partikel darah dari satu objek. Biasanya digunakan bersama zat Hidrogen Peroksida (H2O2) dalam ilmu forensik. Saat menyentuh objek yang terkena darah (dan atau pun pernah terkena darah) cairan luminol akan memancarkan cahaya biru terang dalam gelap.
Agas: nyamuk pantai, kecil-kecil, namun dengan gigitan lebih menyengat dan menimbulkan bengkak serta gatal luar biasa.
Rhesus Negatif: golongan darah yang tidak memiliki Aglutinogen (senyawa yang menjadi faktor penggumpalan darah) di permukaan sel darah merahnya.
Femme; istilah dalam kaum LGBT untuk merujuk lesbian yang berkarakter feminin.

Dayita Calya; dari bahasa Sanskerta. Dayita: kekasih. Calya: tanpa cacat.