Jumat, 27 November 2015

Member FC - Kite Lagi Liburan [Chapter 8]

Selamatkan Dewi Ysed Dari Tangan Raksasa Otinarg


“Ini semua karena ulah lu!” ujar Rahab sewot bin sengit pada Lipul yang tertunduk berdosa. “Kacau semua. Kecewa gue…”

Saat ini mereka berada di ruang santai di dalam villa, sekitar pukul delapan malam. Namun si Fahmi dan juga si Nandar tidak terlihat di sana, entah kemanakah gerangan.

“I-iye ma-maap,” Lipul memelas. “Gu-gue, gak senga—ja,”

“Gak sengaja gimana critanya?” Erri menimpali.

“Tau tuh!” Conni tak kalah kesal.

Maka, semakin merasa terkucilkanlah si Lipul oleh rekan-rekannya tersebut. (Baahh, lebay nian dikau, Pul) Sedangkan si Buyut, tengah asyik menyantap mie instan. (Konyooll… hahha) Sudah jelas-jelas panas, berasap gitu, main masuk ke mulut saja. (Parah ente, Yut, rasain tuh, kepanasan)

“Kemaren pan, lu ngakunye ntu kalung punye lu,” dengus Erri. “Gimana critanya, lu bilang gak sengaja?”

“Iye ma-maap,” kembali Lipul menunduk lemas.

“Lu mulai gak asik, Pul,” Buyut ikut berkomentar. “Lu udah mencampakkan kejujuran di antara kita,” (Asiik, gaya bahasa ente, Yut, hehe…)

“Seharusnya, waktu lu nemuin tuh kalung,” lanjut Erri menasehati. “Mestinya, lu kudu lapor ma polisi,”

“Iye,”

“Jadi gak kacau karu-karuan gini,” timpal Conni.

“Dan semestinya si Rahab bisa jadian,” sahut Buyut. (Oops mulutnya belepotan mie, tuh,)

Untuk beberapa saat mereka hanya berdiam diri, merenungi apa yang terjadi di siang hari tadi. Utamanya si Lipul yang sangat terpukul, sedih, merasa berdosa pada semua rekannya, utamanya lagi pada si Rahab. Hanya desahan-desahan napas yang sepertinya menyiratkan kekesalan dan penyesalan yang terdengar di ruangan itu.

Buyut bangkit dari duduknya yang mencangkung—padahal, kan dia di atas sofa, bukannya duduk baik-baik malah mencangkung, kayak di pematang sawah aja. Melangkah menuju dapur, membawa serta cup mie yang telah ludes isinya.

“Hab,” panggil Erri memecah kebuntuan di sana. “Gue punya mantra hebat nih,”

“Buat apaan?” nada suara si Rahab memastikan kegalauan yang teramat masygul.

Erri mengeluarkan benda segi empat—seukuran kartu remi yang tertutup lipatan plastik berwarna hitam—dari dalam kantong celananya. Mengajak teman-temannya lebih mendekat. Setelah semua merapat, Erri membuka lipatan, ternyata di dalamnya terdapat setumpuk lembaran-lembaran kertas putih yang penuh rajahan (mungkin juga beraksara India) Kertas-kertas itu sendiri seukuran kartu gaplek atau domino.

“Buat apaan sih, kertas ginian?!” Conni menilik selembar. “Rak ngerti gue tulisane,”

“Ni mantra yang bisa ngebantu si Rahab,” ujar Erri.

“Bantu gue, gimane?” Rahab semakin bingung.

“Apaan tuh, Ri?” tanya Buyut yang datang dari arah dapur. Tanpa menunggu komando Buyut pun ikut duduk di sela antara Rahab dan Conni, di atas lantai berlapis ambal.

“Buat ngebantu si Rahab ngedapetin si Desy,”

“Waduuuh, canggih juga tuh,” kagum si Buyut.

“Gimane caranye?” Rahab kembali mendapat angin, semangat baru.

Erri menjelaskan pada sahabatnya tentang bagaimana cara prosesinya. Erri menerangkan, kertas mantra mesti ditempelkan ke kening saat akan tidur. Nah, nanti di dalam tidur kita bakal bertemu dengan hal-hal yang akan menuntun kita untuk mendapatkan cinta orang yang kita inginkan. Namun Erri juga menegaskan, jika mantra itu tidak akan bekerja bila orang yang dituju tidak kita kenal, pun sebaliknya, paling tidak mantra tersebut akan bekerja sempurna jika sang pujaan memberi sinyal cinta, walau sedikit. Khususnya bagi cinta mereka yang terhalangi tembok keras.

Conni mempertanyakan, kenapa mereka juga harus menempelkan mantra tersebut ke kening, kenapa bukan si Rahab saja? Erri menjelaskan, di sini lah peran mereka berempat sebagai sahabat sejati, dengan menggunakan kertas mantra yang beraksara sama, dengan yang digunakan si Rahab, maka saat di dalam tidur nanti mereka akan bertemu, dan di sana lah nanti mereka akan bisa membantu si Rahab.

Karena ngebet ingin mendapat cintanya si Desy, tanpa membuang masa, Rahab mencoba mantra yang ditawarkan. Setelah semua kompak setuju, segera kelimanya menempelkan satu kertas mantra dengan corak aksara yang sama ke kening masing-masing. Selanjutnya memilih tempat untuk berbaring.

Conni memilih di atas sofa panjang, Buyut memilih di sofa pendek. Lipul dan Erri memilih tidur di lantai berlapiskan ambal tebal, dan si Rahab juga memilih tidur di sofa panjang dengan kaki saling tindih dengan kaki si Conni yang selonjoran.

Di dahului dengan membaca mantra—yang gak jelas banget apaan juga yang mereka ucapkan—serentak sepasang mata sama menutup. Tidak sampai 10 detik (Et—dah,cepet bingit yak tidurnye…?!) kelimanya pun sama-sama tertidur lena.


Di dalam dunia mimpi.

Dengan kecepatan yang melebihi kecepatan cahaya a.k.a warp (Seet—dah, kecepatan cahaya kan 300.000 km/detik, wuiihh ajib cepet banget tuh...) tahu-tahu kelimanya diteleportasikan ke sebuah kawasan tepi laut, siang menjelang sore. Berdiri gagah di atas bongkahan batu karang, menatap pasti ke arah lautan.

Sebagai pemimpin, berdiri di hadapan semua orang, si Buyut berkacak pinggang. Di kiri belakangnya, berdiri gagah si Rahab yang juga tegak berkacak pinggang. Sementara di kanan belakang, Erri berdiri menatap pasti ke arah yang sama, pun dengan bertolak pinggang. Di belakang si Erri dan Rahab berdiri gagah si Lipul, sedangkan di belakang si Lipul berdiri gagah juga si Conni, pun keduanya sambari berkacak pinggang.

Hmm… kalau dilihat-lihat formasi mereka berdiri dengan gagah itu, mirip-mirip rasi bintang biduk, tapi sayang kurang dua titik bintang lagi, kan rasi bintang biduk punya tujuh titik bintang. Hmm, mestinya mereka juga membawa serta si Fahmi dan si Nandar, jadi pas tuh, hehe.

Dan mereka sama mengenakan setelan tuxedo hitam. Blazer panjang hingga ke lutut, lebih mirip jaket hujan. Lengkap dengan dasi hitam panjangnya. Sepatu hitam mengkilap, dan (alamaaak…) masing-masing mengenakan kaca mata hitam. (Cek ileeeh… mafia konon, E-eeh, ape mirip-mirip setelannye si Emen In Black, ye?)

(Kok ane ngerasa ada yang salah, ya? Ya udah, lanjut ajalah dulu)

Buyut bertindak sebagai leader (ekhemm) melepas kaca mata hitam dengan tangan kanan, dengan serta merta kaca mata ia buang begitu saja ke sisi kanan. Gerakan si Buyut diikuti oleh keempat lainnya dan sama melempar kaca mata hitam ke sisi kanan begitu saja, kecuali si Rahab yang membuang ke sisi kiri. Selagi kaca mata hitam melayang, tiba-tiba kaca mata tersebut sama meledak, lenyap tak berbekas. (Ni jugak, keknya mirip-mirip adegan pelem apaaa, gitu…)

Bersamaan dengan meledaknya kelima kaca mata itu, Buyut acungkan tangan kanan lurus ke atas, jemari mencakar angkasa, dengan cepat tangan yang teracung ditarik, seperti gerakan menghantam menggunakan siku dengan jemari mengepal.

“Berubah…” teriak Buyut dengan lantang.

Serentak keempat yang lain melakukan gerakan yang sama, dan sama-sama berteriak lantang.

“Berubah…”

Szzzzzzwiiing… splaaasss… wwuuuuus... criinggg… (…???)

Wuus, tahu-tahu kelima orang itu telah berganti pakaian dan kostum—alamak jang, kok malah pake kostum warna-warni? Kek bocah-bocah aje ente pade! Buyut merah, Erri biru, Rahab hijau, Lipul hitam, nahh si Conni malah pink.

“Dowerr Rangerr…” ucap kelimanya serempak. (-_- hedeuuh…)

Penulis    : “Arrgg, Hoi-hoi-hoi…!!! Apa-apaan, itu, haa…?!”

(sumpah—ceritanya—ane kezzeeelll banget…)

Buyut dan kawan-kawan sama terhenti, sama mencoba mencari dari mana arah datangnya suara (ekhemm) barusan.

“Harusnya kan, wayang! Pandawa Lima. Bukannya Dowerr Rangerr…!”

Buyut dan kawan-kawan memandangi kostum yang sedang mereka kenakan. Sama terkejut. Menyadari kostum yang salah.

“Waduuh…!” kaget si Buyut. “Oii, plen. Salah kostum, nih…”

“Laah… lu yang leader-nya, kok,” sahut Rahab. “Kite pan ngikutin lu doang. Pe-ak!”

“Oke, ulangi lagi…!” Buyut memberi komando.

Zrrreeettttttt… Werrrrrrrr… (Ntu bunyi kaset nyang lagi di-rewind… >.<)


Baiklah, karena kelimanya pada ngacuook, maka waktunya kita kembalikan di saat kelimanya masih melayang di medan warp dalam kecepatan melebihi kecepatan cahaya.

Akhirnya… kelima orang itu mendarat mulus di atas karang yang menyembul di tepian pantai, (kembali) sama memandang ke arah lautan. Dengan sama mengenakan pakaian wayang (asli Indonesia doong, pastinya. Cieee, angkut budaya nih critanye hohoho) dalam banyak gambaran pada kisah Pandawa Lima. Dan tetap dengan formasi seperti sebelumnya, formasi rasi bintang biduk. Dan satu lagi, waktunya diubah menjadi pagi hari.

Buyut sebagai Gatotkaca berdiri di depan dari keempat lainnya bak seorang dewa jawara. Rahab sebagai Arjuna sang pencari cinta dengan segala kharismanya. Erri, penuh wibawa sebagai Bima. Lipul sebagai Yuyutsu. Dan diurutan terakhir, Conni sebagai Dewi Arimbi. Sikap tubuh dalam pose pewayangan.

(Stop-stop-stop…! Tunggu dulu! Aduuh… ntu kan, bukan formasinya Pandawa Lima. Gimana seeh? Kok cuman Arjuna ma Bima, doang? Mana Yudistira, juga Nakula dan Sadewa?! Argg… terserah lah, hancur-hancur dah skalian. Hikss…)

“Raksasa Otinarg…” teriak Buyut, e-eh maap, Gatotkaca, membahana.

(E-eh, kok suara ente berubah serak dan terdengar berat, Yut? Tapi, kereenn… gitu dong)

“Keluar kau…!” tantang Gatotkaca lantang.

Oarggg…

Satu raungan membahana dahsyat, menindih suara teriakan Gatotkaca, alih-alih suara deburan ombak. Bersamaan itu, satu sosok luar biasa besar muncul dari kedalaman laut.

(Lhoo?! Bukannya… itu mirip Om Nito…?!)

Raksasa sangar mengerikan, sepasang taring mencuat ke bawah, sepasang kuping dicantol perhiasan dari (huu… takut) tengkorak manusia. Rambut ikal panjang sebahu, dan kepala tertutup mahkota. Di tangan kanan, membekal senjata gada berukuran superbesar, disandang di bahu.

Raksasa itu benar-benar tinggi. Kedalaman laut saja, hanya sebatas lutut bagi dirinya. Ia memandang angker pada kelima jawara tersebut (sebenernya, ane mo bilang; kelima Pandawa itu. Tapi, berhubung formasi Pandawa-nya ngacok, ya ane batalin aja, ane ganti dengan sebutan; para jawara) sekali lagi, raksasa mengaum dahsyat, namun tidak sedikit pun memengaruhi raut wajah para jawara.

“Serahkan Dewi Ysed…!” titah Buyut—ed—dah, salah lagi—Gatotkaca, tak kalah garangnya. “Dan kau akan kami lepas Otinarg...”

“Atas dasar apa, kau mengancamku, haa…?” ujar raksasa itu menantang, suaranya seperti berasal dari dasar sumur yang dalam, bergema keras.

“Atas nama cinta, Otinarg…” Gatotkaca mulai kesal. “Cinta Arjuna dan Dewi Ysed yang terhalang olehmu,”

“Ho-ho-ho-ho…” raksasa itu tanggapi ucapan Gatotkaca dengan tawa membahana. (Begitu aje, dibilang membahana? -_- hedeuh…) “Langkahi dulu mayatku,” tantang sang raksasa sembari memamerkan seringai menakutkan. (Huu, atut…)

Mendengar jawaban raksasa—sepertinya lebih memilih (oops... maap) jalan kekerasan—dengan serta-merta, sepasang mata Gatotkaca berubah merah api, bergelora, berkobar, dan lain-lain, dan sebagainya, dan seterusnya… memenuhi tiap sudut rongga mata. Didahului dengan amarah yang menggelegak (ajie busyeett… ampe ngeluarin aura ledakan segala) Gatotkaca melesat, terbang, mengarah langsung ke kepala si raksasa.

“Jangan bilang aku tidak memberimu peringatan, Otinarg…!”

Sang raksasa mengayunkan gada superbesar-nya, (maap) memukul Gatotkaca. Sementara itu, Bima, Arjuna, Yuyutsu, dan Dewi Arimbi masih berdiri pada posisi mereka semula, tidak terpengaruh dengan pertarungan yang akan terjadi tak lama lagi tersebut. Sepertinya mereka merasa belum saatnya untuk turun tangan, dengan seorang Gatotkaca saja, raksasa itu dapat ditaklukan.

Begitu ayunan gada hampir menyentuh tubuh Gatotkaca…

“Stop…!” teriak Gatotkaca secara tiba-tiba. (Lhoo-lhoo-lhoo…?)

Raksasa menghentikan ayunan gadanya, sementara si Gatotkaca juga berhenti mendadak di awang-awang, mengambang setengah dari jarak ketinggian tubuh raksasa tersebut.

“Keknya, ada yang aneh, deh,” Gatotkaca tengah berpikir keras.

(Lhaa? Kok, suara ente balik ke semula, Yut? Oi-oi-oiii… ada apaan, ini?!)

Sang raksasa bingung dengan tindak-tanduk Gatotkaca. Gatotkaca melesat, kembali ke arah rekannya di bawah.

“Eii-eiii, yang betul aja lah kau itu, Gatot...” seru sang raksasa. “Jadi betempur atau tidak…? Bahh…!”

(Woiii… ada apaan ini? Kenapa brenti? Laah… kok, raksasanya pake logat Batak segala? Ni kan, cerita wayang…! Hiks-hiks-hiks, mana ada peran sebagai orang Batak dalam wayang…! Hua… gue bener-bener gak dianggap… hiks)

“Nntar dulu…!” seru Gatotkaca pada raksasa itu.

Gatotkaca mendarat mulus di hadapan keempat rekannya. Namun, posisi keempat orang itu tidak sedikit pun berubah, alih-alih beranjak melangkah.

“Ada apa, Gatot?” tanya Bima. (Tuh…! Erri aja pake suara berat, tuh…!)

“Ndak, ntar dulu!” sergah Gatotkaca.

“Ada apaan?!” sahut Erri lagi. (Huaa, kok sampeyan juga ikut-ikutan berubah logatnya, Ri? Pan tadi udah bener, itu…)

“Iye, ade apaan?” timpal Rahab. (Hancur-hancur, dah! Hua…)

“Ho-oh,” sahut Conni.

“Lu pade gak ngerasa heran, apa?” ujar Buyut. “Dari kemaren-kemaren, gue tuh mikir terus, keknya ada…”

“Hooo…” Sahut yang lain nyaris berbarengan seakan mengerti apa yang dimaksud oleh si Buyut. (Beuuh, ane aje kagak ngarti)

“Iye, lu bener,” kata Rahab, kemudian celingak-celinguk.

(Ni, ada apaan sih, sebenernya?! Kok gue yang penulis bisa kagak ngarti?)

“Nah, tuh…! Lu pade dengerkan?” ujar Buyut lagi, yang lain mengangguk. (Eeh?) “Lu orang, gak heran apa? Gue aja bingung,”

Kembali keempat rekan si Buyut sama mengangguk mengerti, mereka sama celingak-celinguk seperti mencari-cari keberadaan sesuatu atau seseorang. (Oopss…!)

“Nah… Ntu die, tuh…!” seru si Erri.

(Eeh busyeeettt, nape si Erri nunjuk tepat ke arah ane?Mampus…)

Serentak keempat orang itu menghadap ke arah kiri, sedangkan si Buyut ke arah kanan.

(Ampun dahh. Mereka semua melihat ke arah ane, ee busyeett tuh raksasa malah ikut-ikutan ngelihat ke ane… Hadeuuh, keringet dingin nih, ane,)

Buyut        : “Wooiii…!” (Eet—dah, pake teriak-teriak lagi ke ane, hedeuuh)

Penulis      : “Apaan?!”

Buyut        : “Lu kagak bisa kasi nama yang bagus dikit, apa?”

Penulis      : “Nama? Buat siapa?”

Buyut        : “Mana ada Dewi Ysed ma Otinarg dalam pewayangan! Lu pikir gak riweuh apa? Mending Ysed, lhaa… ini, Otinarg,”

Penulis      : “Habis, gue mo kasi nama apa lagi, Yut?”

Buyut        : “Lagian, ntu kan cuman kebalikan nama si Desy ma Om Granito, doang,”

Penulis      : “E-eeh, kok ente bisa tau, Yut?”

Erri, Rahab, Conni, Lipul : “Hoooo… baru tau gue,”

Buyut        : “Beuuh, nenek-nenek tatoan juga tau, keleusss…”

Penulis      : “Ya sudah lah, udah terlanjur. Jangan banyak protes! Ntar, pada gue coret-coretin nih semua,”

Buyut        : “Ya udeh. Lanjut… lain kali kasi nama yang enak diucap,”

Penulis      : “……………………………………………………………!”


Baiklah, sepertinya sudah tidak ada lagi protes. Hmm, cerita kita kembalikan di saat raksasa Otinarg alias Om Nito tertawa lantang mendengar ancaman Gatotkaca. Dan seketika itu juga Gatotkaca melesat ke bagian kepala si raksasa, setelah sebelumnya didahului (lagi) oleh ledakan aura dari tubuh si Gatotkaca.

Raksasa Otinarg mengayunkan gada dengan tangan kanan, menyongsong serangan Gatotkaca. Saat gada (maaf) menghantam, Gatotkaca mampu menahan hempasan gada dengan tangan kirinya. Bersamaan dengan berbenturnya gada besar dan tangan kiri Gatotkaca, terjadi dentuman keras. Seolah dua truk pasir saling bertubrukan dengan kecepatan tinggi—Kok, truk sih?

Ada aksi ada pula reaksi. Maka, reaksi dari dentuman itu, sang raksasa terjejal ke belakang dua langkah. Akan halnya Gatotkaca, terhempas kencang ke bawah, tepat di tempat mana sebelumnya dia berdiri.

Kembali terjadi dentuman, saat Gatotkaca membentur hamparan karang. Ledakan keras, sehingga tercipta kawah kecil. Gatotkaca tidak mengalami luka sedikit pun. Ia dalam posisi berjongkok, tepat di pertengahan titik kawah dengan satu tangan bertumpu ke lutut, sebelah tangan lagi menapak ke permukaan karang. Pandangan mata kembali berkobar dahsyat, menyeringai.

Keempat rekannya seperti tidak terpengaruh, padahal jelas-jelas tadi terjadi benturan dan ledakan selangkah di hadapan mereka. Namun, tidak sedikit pun mereka bereaksi. Di depan mereka Gatotkaca kembali bangkit, menatap raksasa dengan seringai.

Raksasa Otinarg kembali mengaum, detik berikutnya, gada superbesar kembali berayun. Kali ini, ia berniat menghancurkan kelima jawara tersebut sekaligus. Bahkan gada itu sendiri dibungkus aura hitam mematikan.

Melihat serangan yang lebih dahsyat itu, dengan sigap Gatotkaca kembali dalam barisan, formasi utuh (sebut saja begitu meski kurang dua titik bintang) rasi bintang biduk.

“Satukan kekuataaan…!” titah Gatotkaca tanpa berpaling. Kedua telapak tangan bertaut di dada, seketika telapak tangan dikobari api merah.

Dengan gerak cepat, Bima dan Arjuna yang berdiri di belakang Gatotkaca, menempelkan telapak tangan masing-masing ke punggung Gatotkaca. Arjuna dengan telapak tangan kanan, Bima telapak tangan kiri. Telapak tangan Gatotkaca yang dikobari api merah berubah menjadi api biru.

Gerakan itu dilanjutkan oleh Yuyutsu yang berdiri di belakang Arjuna dan Bima. Telapak tangan kiri Yuyutsu menempel di punggung Arjuna, sedang yang kanan menempel di punggung Bima. Kembali api di telapak tangan Gatotkaca berubah warna menjadi api hijau, setiap kali berubah warna tiap kali itu juga kobarannya semakin membesar.

Terakhir, rapalan penyatuan kekuatan tersebut di sudahi dengan menempelnya kedua telapak tangan Dewi Arimbi di punggung Yuyutsu. Begitu kedua telapak tangan wanita agung itu menempel, saat itu juga kelima jawara dilingkupi aura kelabu yang berputar-putar. Bersamaan itu juga, kobaran api hijau yang membungkus telapak tangan Gatotkaca berubah warna, menjadi api putih terang. Bahkan membesitkan kilatan-kilatan listrik kebiru-biruan. Semua itu berlaku begitu cepat seiring ayunan gada.

Whhuuuungggg…

Ayunan gada menimbulkan suara bergaung. Dengan pandangan tajam (yaa kek-kek mata elang gitu lah) dikobari api merah, Gatotkaca berlaku tenang, seringai terukir dibibirnya.

Begitu gada super besar menghantam, kurang dari tiga kali uluran tangan, didahului dengan teriakan lantang, Gatotkaca menyambut serangan tersebut. Dua tangan memukul ke atas. Satu sinar terang berkilau disertai kilatan-kilatan menyambar mencuat dari kedua telapak tangan Gatotkaca.

Blaarrrrr…

Pilar cahaya melesat dari kedua tangan Gatotkaca, membentur gada raksasa, sekaligus menghentikannya. Suara benturan menggema kencang.

Tidak itu saja, satu ledakan aura kembali terjadi saat cahaya terang membentur gada raksasa. Ledakan aura membentuk satu lingkaran penuh. (Pernah lihat batu dilemparin ke kolam, trus terbentuk gelombang kecil yang bergerak keluar titik pusat lemparan, kan?) Semakin lama semakin membesar, menyapu semua yang ada.

Raksasa Otinarg lakukan serangan kedua, bahkan dengan waktu yang nyaris bersamaan saat gadanya menghantam kelima jawara. Mulut bertaring tiba-tiba menganga lebar, dan…

Wrrruuuusss…

Gelombang api dahsyat menyambar kelima jawara. Serangan cepat raksasa Otinarg tidak diduga oleh kelima jawara yang sedang menahan gada besar. (Mungkin berat kali, ye)


Balik ke dunia nyata.

“Waa-waaa-waaa…”

“Puannaaass…”

Serentak, Erri, Rahab, Conni, Lipul, dan Buyut terbangun dari mimpi. (Dari tidur keleus…! Eeh, mimpi pa tidur, ya? Ahh, sama aja. Lanjut. Yuuk, mari...) Bahkan sama-sama langsung terduduk, terengah-engah. (Jiahaha... Oops, sorry, gue ketawa duluan lagi)

Ternyata apa yang terjadi saudara-saudara… (Hedeuuh mang komentator bola?)

Ternyata, apa yang terjadi di dalam mimpi mereka berlima, terjadi juga di alam nyatanya. Haha, konyoll. Rambut mereka sama gosong, kriting, bahkan masih mengepulkan asap. Dari dalam mulut, hidung, dan kuping juga mengeluarkan asap tipis. Pakaian mereka juga hitam, hangus, pun masih mengepulkan asap. Tubuh, apalagi wajah kelimanya, jangan ditanyakan lagi. Celemongan seperti arang.

(Hahaha… asli gak karu-karuan tuh, muka, wakkakaka…)

Bersamaan dengan terbangunnya kelima orang yang sambil berteriak kepanasan itu, tahu-tahu si Fahmi dan si Nandar nongol di ambang pintu, bahkan bertburukan satu sama lain. Sebab mendengar teriakan kelima orang tersebut.

Namun, begitu Fahmi dan Nandar menyadari kejadian yang ada, kontan saja keduanya kaget dan tertawa kencang, terbahak-bahak, terpingkal-pingkal. Bahkan si Nandar sampai menangis, menyerah, saking gak kuat menahan perut yang kejang sembari bergulingan di lantai.



***
-----bersambung^^-----
TULISAN INI PERTAMA KALI DIPUBLIKASIKAN DI WWW.KOMPASIANA.COM COPASING DIIZINKAN DENGAN MENYERTAKAN URL LENGKAP POSTINGAN DI ATAS, ATAU DENGAN TIDAK MENGUBAH/MENGEDIT AMARAN INI.

Kamis, 26 November 2015

Member FC - Kite Lagi Liburan [Chapter 7]

Eeh, Om Granito


“Sepertinya anak kita menjalin hubungan dengan orang kota itu..” ujar seorang pria pada istrinya dengan logat khas Sumatera Utara.

Pria paruh-baya ini berpostur tubuh cukup tinggi dan berbadan besar, kepalanya plontos a.k.a botak licin namun memelihara kumis dan jenggot yang menyatu yang sudah banyak ditumbuhi uban. Ia sedang berada di ruang keluarga dan memilih untuk duduk di salah satu sofa yang ada sembari membaca sebuah surat kabar. Di sana ia ditemani sang istri yang tengah menyeduh kopi untuk sang suami di pagi hari ini.

“Biarkan sajalah, Pa,” sahut sang istri. “Beri sedikit kelonggaran,”

“Tapi, itu pasti hubungan khusus, Ma,” ujar si suami lagi. “Dan, Papa tidak suka itu terjadi…”

“Itukan belum tentu, Pa,” kembali istrinya membantah seolah membela sang anak yang sedang mereka bicarakan.

Sang istri yang ayu bersahaja melangkah mendekati sang suami, di tangan kanan ia membawa secangkir kopi panas lengkap dengan piring kecil sebagai tatakan. Meletakkan cangkir kopi di atas meja, berhadapan dengan sang suami. Pria itu meraih gagang cangkir dengan tangan kanan, sementara tangan kiri memegang tatakan, surat kabar ia taruh di pangkuan sebelumnya.

Sang suami menyeruput kopi dalam cangkir. Hmm… pagi-pagi minum kopi buatan istri pastilah suatu keindahan dan kenikmatan yang tiada tanding. Hmm, apalagi jika cuaca dingin, ahh... (STOP…! Apa-apan itu?!)

“Papa tidak melarang si Desol berhubungan dengan siapa saja, Ma,” ujarnya lagi. “Papa cuman takut kalau anak kita itu dimanfaatkan orang saja,”

“Dimanfaatkan bagaimana?!” si istri tersenyum, berpura-pura tidak paham. “Papa ini,” ujarnya lagi. “Itu sama saja Papa mendoakan yang buruk untuk anak sendiri,”

“Bahh, nah-nah-nah,” elak sang suami. “Itulah, sebelum sesuatu yang buruk terjadi pada si Desol, kan lebih baik Papa mengkhawatirkan itu,”

Kembali sang suami membuka lembaran-lembaran surat kabar. Sang istri menghela napas panjang, ia tentu sangat mengerti dengan kekhawatiran suaminya itu.

“Mama percaya,” kembali sang istri berujar. “Anak kita bukan seperti yang Papa khawatirkan,”

“Bahh, macam yang sudah yakin saja Mama ini,” timpal sang suami.

“Desol pasti bisa jaga dirinya Pa. Mama yakin itu,” ujar sang istri masih dengan senyum mengembang di bibirnya.

“Pagi, Ma, Pa,” Desy alias Desol tahu-tahu sudah berada di ruangan yang sama.

“Pagi sayang,” balas kedua Ibu-Bapaknya berbarengan.

Pagi itu Desy kelihatan segar dan ceria, melangkah mendekati sang Ibu kemudian mencium pipi kiri-kanan Ibunya, begitu juga terhadap sang Bapak.

(Ahh, ciri-ciri anak yang santun dan hormat pada orangtuanya, pantesan si Rahab ngebet banget mo dapetin cinta dara ini, woong anak baik-baik gitu, gue juga mau)

BLETAAAKH…

(Aseem dari mana nih ember? Tau-tau melayang aje)

“Ada apa, nih? Kelihatannya serius amat,” Desy memilih duduk di samping kiri sang Bapak.

“Tanya sama Papa kamu saja sayang,” ujar sang Ibu tersenyum.

“Idiihh, ada apaan, sih?” Desy jadi penasaran dengan tingkah kedua orang tuanya itu.

Sang Bapak mendeham saja menanggapi ucapan istrinya. Sang istri jadi tertawa kecil melihat tingkah suaminya itu.

“Ayo doong,” pinta Desy sembari bergelayut di bahu kiri sang Bapak. “Apaan, sih?”

“Itu…” sang Ibu akhirnya angkat bicara. “Papamu melihat, kamu bersama seorang pria, di hajatan semalam,”

“Ooohh,”

“Papa kamu takut, kalo kamu itu nanti gimana-gimana,” lanjut sang Ibu.

“Gimana… gimana?!” Desy balik bertanya dengan dahi berkerut.

“Tau tuh, Papamu,”

“Iih, Papa, mah,” Desy memukul-mukul pelan bahu sang Bapak.

Pria itu menghentikan kegiatannya. Yaa, sebenarnya sedari tadi, ia tidak begitu konsen membaca berita-berita yang ada. Ia melipatnya dan menaruh koran itu ke atas meja.

“Papa takut kalau kehilangan anak Papa satu-satunya,” ujar sang Bapak, tapi jawaban itu tidak mengena bagi Desy.

“Makanya,” timpal Desy sambil terus bergelayut di pundak sang Bapak. “Kasi aku adik, doong…”

“Papa itu sebetulnya mau-mau saja…” sahut sang Bapak bercanda. “Tapi, cobak kau tanyakan dulu sama Mama kau itu,”

Sang istri hanya dapat menahan tawanya menanggapi ucapan dari anak dan suaminya tersebut. Ahh, senyuman itu lebih pada rasa syukur pada Yang Mahakuasa atas keharmonisan yang selalu terpelihara dalam keluarga kecil mereka ini, mungkin begitu.

“Tapi,” sambung pria itu. “Papa sebetulnya takut kalau kau tidak bisa jaga diri, Nak. Hanya itu,” kali ini sedikit serius.

“Pa,” sahut Desy. “Percaya deh, aku pasti inget semua nasihat Papa, juga Mama,”

Sang Ibu tersenyum menanggapi ucapan dari anak mereka itu.

“Tapi, kalau terjadi kek semalam?” tanya sang Bapak.

“Lhoo?” sang Ibu sepertinya baru mendengar soal itu.

“Kek semalam yang gimana maksud Papa?!” jawab Desy balik bertanya.

“Yaa, kek yang semalam lah,”

Desy terkekeh menanggapi, sang Bapak terlalu berlebihan mengkhawatirkan dirinya. Bagus juga sih, tapi… kan jadinya over-protective (oops, apa ya artinya?!)

“Pa, Ma…” ujar Desy. “Gak da yang terjadi kok semalam.”

“Oh ya?” selidik sang Ibu.

“Sumpah deh, Ma,” jawab Desy dengan jari telunjuk dan tengah tangan kanannya terangkat membentuk huruf ‘V’. “Kita cuman duduk-duduk doang kok, di pantai,”

“Tapi orang kota itu pasti—“ timpal sang Bapak.

“Maksud Papa, Bang Rahab,” potong Desy.

“—Baah, mana lah pulak Papa tahu nama dia,”

“Nah-nah-nah,” Desy tertawa lagi sembari mencubit pipi Papanya, gemes, sepertinya mereka terlalu khawatir. “Nama orangnya saja, Papa gak tau. Kenal juga enggak, masak iya langsung menghakimi apa yang tidak dia lakukan? Don’t judge the book by the cover,”

“Tapi—“ sahut sang Bapak.

Desy beranjak dari duduknya, hendak menuju dapur—mungkin mencari sarapan, kan dia sendiri belum makan apa-apa.

“Pa,” ujarnya. “Hubungan tidak akan terjalin begitu saja, hanya dalam beberapa hari. Apalagi masalah hati,” sahut dara itu sembari mengedipkan sebelah matanya pada sang Bapak, kemudian berlalu menuju dapur.

Sang Ibu tertawa kecil mendengar penjelasan sang anak. Ahh, sepertinya anak mereka telah semakin dewasa dan matang dalam pemikiran, jadi pastinya ia bisa menjaga diri dengan baik konon pula maruah keluarga.

Sementara sang Bapak, senang dengan sifat dan sikap yang ada pada diri anaknya tersebut. Yaa, sama dengan sang istri, ia pun sama, bangga. Sekarang kekhawatirannya seolah ikut sirna. Ia memandang pada sang istri yang kebetulan juga memandang padanya. Kembali sang istri tersenyum geleng-gelengkan kepala, pria plontos gerakan kedua tangan mengembang ke samping seolah bertanya; Apaan?

Kembali sang istri tertawa renyah.

***

Sekitar jam 10 pagi.
Kelima orang sahabat itu baru saja selesai berkeliling, lari pagi. Bagaimanapun, kan kesehatan harus tetap dijaga, ekheemm. Tidak terlihat si Fahmi juga si Nandar di antara mereka itu, mungkin saja tengah memeriksa keadaan yacht.

“Hauuhh, capek banget euy,” Buyut duduk selonjoran di atas teras depan begitu saja.

“Ni hari kok rada panas, ya?” ujar Conni yang berselonjor di atas kursi rotan. “Hawanya itu, lhoo,”

“Ya-ya-yaah mo-moga-moga a-aje nggak sam-sampe sore,” timpal Lipul kemudian menenggak minuman isotonic yang sedari tadi ia pegang.

“Punye siape, Pul?” Erri melihat sahabatnya itu tengah menimang-nimang sebuah kalung emas.

“Pu-punye gue d-doong,” jawab Lipul pasti, kemudian memasukan kalung tersebut ke dalam kantong baju kaosnya.

Sebenarnya si Lipul telah berbohong pada Erri alih-alih pada teman-temannya yang lain. Kalung emas yang terlihat cukup besar itu ditemukan si Lipul secara tidak sengaja saat jogging tadi. Kalung itu terlepas dari leher pemiliknya, dan hampir tertutup oleh pasir saat si Lipul menemukan.

(Waahh, mang parah nih si lancar, seharusnya tuh kalung kan kudu dilaporin ke petugas kepolisian setempat, kan tuh kalung bukan milik dia, kasihan ma yang punya tuh)

Tidak sampai sepuluh menit kelima sahabat itu ngaso melepas lelah di beranda depan tersebut, dari arah kiri jalan, seseorang datang menghampiri. Seorang perempuan muda tinggi semampai Ahh, ternyata oh ternyata itu gadis bernama Desy alias Desol.

“E-eeh, a-ade bi-bida—dari dateng tuh,” ujar si Lipul yang pertama kali menyadari kedatangan gadis tersebut. (Lhaa wajar lah, wong dia duduk menghadap ke arah sono, ya pastinya)

“Pagi,” sapa Desy.

“Pagi juga,” jawab kelimanya berbarengan.

Buyut yang awalnya duduk selonjoran bangkit dan memilih berdiri di samping si Lipul. Rahab (jangan ditanya lagi, he-he) bukan main senangnya hati melihat bidadari itu datang menghampiri.

“Desy,” Rahab tersenyum senang. “Ada apa? Kok gak calling dulu kalo mo dateng?” 

“Bang Rahab ni bisa aja,” ujar Desy. “Kan, nomor hp-nya belum pernah Bang Rahab kasi,”

(O-oow… wakakkakak, oops… sorry)

Rahab menepuk jidat sendiri (bahhh parah ente Hab) ia tersenyum malu, sementara keempat rekan-rekannya malah mentertawai perangai Rahab yang gak berubah-rubah tersebut.

“He-he, maap. Iye, lupa,” sahut Rahab menahan malu, bukan pada gadis tersebut namun pada sahabat-sahabatnya yang ada di situ, terutama si Conni sama si Buyut yang ketawanya paling kenceng, kalau si Lipul jangan ditanya dah,  fals aja semuanya.

“Ngg… Papa ngundang Bang Rahab makan siang di rumah—“

“Suit-suiiit...” potong Buyut menggoda.

Ada rasa bahagia yang tiba-tiba menyeruak dalam relung hati si Rahab mendengar ucapan dara itu barusan, namun sekaligus menimbulkan secuil keraguan (katakanlah seperti itu kalau tidak mau dibilang takut) masalahnya semalam ia sangat jelas mendengar logat Bapaknya si Desy yang sedikit-banyaknya bisa ia tafsirkan jika orang tua itu sedikit galak.

“Katanya, mau berkenalan lebih dekat sama Abang,” lanjut dara itu saat melihat Rahab dalam keraguan.

“Si Rahab doang nih, Neng,” si Erri menyindir kedua insan itu. “Yang diajak?”

“Nggak kok, Bang,” Desy mengulum senyum. “Abang-Abang, dan Mbak, juga kok,”

“Aseeek…” Seru si Buyut. “Makan gratissss, mayan,”

“Opo… sampeyan niku?!” sewot si Conni.

Desy menahan tawa mendengar kejujuran dari pria itu, namun Buyut santai-santai saja walau teman-temannya rada protes dengan ucapannya barusan.

“Nape.?” sahut Buyut pada yang lain. “Gue mah jujur-jujur aja kali orangnya. Ya gak, Neng,” seru Buyut pada Desy sembari tersenyum lebar.

“Ya sudah, aku tunggu jam dua belas nanti di rumah, ya. Mari,” Desy berpamit diri.

“Mari-mari,” sahut kelimanya berbarengan.

Desy berlalu. Sebentar saja sosoknya sudah menghilang dari pandangan.

“Iyess…” seru Rahab layaknya seseorang yang baru saja memenangkan satu pertandingan.

“Itu orangnya, Hab?” tanya Erri.

“Ho-oh,” Rahab membusungkan dada, bangga. (Ett—dah, tuh lobang hidung nape ikut mekar?)

“Cantik,” timpal Conni tersenyum menggoda si Rahab.

“Ca-cakep,” sambung si Lipul.

Tiba-tiba Buyut membuat gerakan spontan, berlari ke arah pintu masuk villa. Keempat yang lain jadi kaget gak keruan, dikira ada sesuatu yang terjadi.

“Gue mandi duluan…” teriak Buyut, kemudian menghilang ke dalam villa.

“Berengsek...” maki Rahab berlari menyusul si Buyut. “Pan gue nyang diundang pe-ak…!”

“Bodo amat. Siapa cepat, dia dapat,” teriak Buyut dari dalam.

Jadilah pada pagi menjelang siang itu terjadi kegaduhan. Erri, Rahab, Conni, dan Lipul serempak berlarian ke dalam villa menyusul si Buyut. Namun apa daya, nasib baik lagi betah bersama si Buyut. Jadi, yaa… keempat yang lain sama bergedebukkan di depan kamar mandi, soalnya mereka sama menubruk pintu kamar mandi yang menutup dengan cepat. (Yaa, karena ditutup si Buyut sih, he-he…)

GUBRAAAAAAAKH…

“Woii… Brisiikk…” teriak Buyut dari dalam kamar mandi.

***

Sekitar pukul dua belas siang hari.
Setelah jauh berjalan. Melewati rimba belantara, menyusuri tepian pantai yang berombak ganas, di bawah teriknya sang mentari. Bertemu dengan sejumlah monster-monster ganas. Melewati pos-pos dari kapal para alien. Loooh…? (Hadeuuh, maap-maap, malah jadi cerita ¬Sci-Fi Adventure)

“Payah lu, Hab,” Conni bersungut-sungut, kakinya terasa pegal dan berat untuk melangkah.

“Dasar oncom…!” Erri juga jengkel.

“Iyee.. maap,” Rahab memelas.

Kasihan juga mereka, berputar-putar mencari alamat rumah si Desy. Salah si Rahab juga sih, sudah jelas dia tidak tahu alamatnya malah main datang begitu saja. Bukan salah teman-temannya juga jadi kesal dan menggerutu tak tentu arah, pasalnya mereka sama berpikiran jika si Rahab sudah tahu di mana alamat rumah si gadis.

Parahnya lagi, padahal pagi tadi jelas-jelas si gadis mendatangi mereka berlima di villa tempat mereka menginap, malah tidak bertanya langsung di mana rumahnya, alamatnya.

(Di mana, di mana, di mana… kuharus mencari di mana.? Oops.. kok malah terdengar lagu dangdut?!)

***

Di rumahnya si Desy alias Desol.
Sang Ibu tengah mencari-cari sesuatu, sebentar ia membuka laci-laci meja yang ada di ruang kamarnya sendiri, sebentar melangkah keluar mencar-cari lagi di setiap laci dan sudut meja yang ada. Sebentar-sebentar, wanita bersahaja ini meraba leher sendiri.

“Ada?” tanya sang suami.

“Ndak tau di mana ya, Mama tarok,”

“Mama nyariin apa, Ma?” tanya Desy sembari menghampiri.

“Kalung Mama, Sayang,” ujar sang Ibu. “Ndak tau hilang di mana. Apa Mama yang lupa?”

“Lhoo, kok bisa sih, Ma?”

“Itulah,” timpal sang Bapak. “Tadi Mama kau itu pergi belanja masih pake itu kalung. Papa sudah sering bilang, kalau keluar ndak perlu lah pake-pake perhiasan segala. Nah, sekarang nasi sudah menjadi bubur. Mau kek mana lagi, baah?”

“Jadi, hilang pas belanja dong itu, Ma,” ujar Desy lagi.

“Sepertinya, iya,” jawab sang Ibu sedikit memelas.

“Ndak perlu lah gerasak-gerusuk dalam rumah,” timpal sang suami.

“Ya, siapa tahu, Mama cuman salah ingat aja, Pa,” ujar sang istri membela diri. “Salah tarok. Tohh, kalau ternyata memang hilang di jalan, berarti bukan rejeki namanya,”

Beberapa saat kemudian sang istri menyerah, dan berhenti Mencari-cari kalungnya sebelum keadaan seluruh perabotan di rumah itu semakin berantakan.

“Ya sudahlah,” desahnya.

“Eeh, Desol,” panggil sang Bapak. “Mau datang jam berapa mereka? Ini sudah hampir jam satu,”

Sepertinya pria plontos hilang kesabaran menunggu kedatangan si Rahab dan kawan-kawan yang pada kenyataannya memang tersesat, alias berputar-putar mencari alamat rumah mereka. (Ha-ha, kacau nian…)

“Iya nih, Pa,” jawab Desy. “Kok lama, ya? Apa keknya mereka gak tau jalan ke sini?”

“Kau sudah kasi alamat kita?”

“He-he, belum, Pa,”

“Cowok kota itu tau rumah kita?” tanya sang Bapak lagi.

“Engg, keknya enggak, Pa,” Desy tersenyum kecut.

“Baaah…!”


Mari kita liat keadaan si Rahab dan kawan-kawan yang kesasar entah di mana. Mereka berlima terlihat kelelahan, berjalan ke sana-sini, tanya sana-sini, ngomel panjang-pendek sana-sini, pokoknya sana-sini semua deh isinya. (Oops…)

“Gilaak lu, Hab…!” maki Buyut, letoi. “Bisa gak jadi makan gratis nih… Malah, keburu laper,”

“Sampeyan niku…!” dengus Conni pada si Buyut. “Mangan… wae yen dipikir!”

Rahab merasa bersalah pada keempat rekannya. Kenapa gue gak nanya alamatnya ma tuh cewek? begitulah yang berulangkali ia pikirkan. Namun apa daya, semua sudah terjadi, tidak akan mungkin membalik waktu.

“Eeh, Hab,” panggil Erri. “Keknya, yang itu, tuh,” ujarnya sembari menunjuk pada sebuah rumah besar di ujung sana.

“Eeh iye, bener,” sahut Rahab.

Kebetulan juga, Desy tengah berdiri di halaman depan rumahnya.
Tanpa membuang waktu segera saja mereka menuju rumah yang dimaksud. Bahkan, pake berlari segala. Padahal, kan tadi mereka mengeluh capek.

Kalau si Rahab jelas berlari penuh semangat menuju cinta di ujung sana (Aseeekk) Laah, si Buyut? (Hehe, jangan ditanyakan lagi dah, sudah pasti itu mah urusan perut)
Lahh, si Lipul? (Beuuh, udah jelas-jelas ngejar si Conni yang berlari di depan dia) Naah, si Erri? (Diaam…! Jangan banyak tanya!)

“Desy…” Rahab menyeru nama sang gadis.

Desy mengulum senyum. Ahh, datang juga, akhirnya… “Pa, Ma,” pangginya. “Mereka udah dateng,”

Begitu Rahab dan kawan-kawan sampai di depan pintu di mana Desy juga telah menunggu di sana, mereka disambut oleh kedua orang tua gadis tersebut.

“Saya, Rahab, Om,” Rahab memperkenalkan diri.

“Hmm, Granito,” balas pria plontos itu datar. “Kau panggil saja aku, Om Nito,”

(Maap ye gan ‘Granito Ibrahim, malah dapet peran orang Batak, botak lagi, heheh maap)

Rahab menelan ludah sendiri, entah apa juga yang ia takutkan, mungkin karena pria itu berlogat Batak. (Beuuh, lah si Fahmi juga tuh) (Diaam, lu…!) Sementara rekan-rekannya bergantian memperkenalkan diri pada pria plontos tersebut.

“Tante,” Rahab menyalami Ibunya si Desy. “Saya, Rahab, Tan,”

“Saya Selsa, Ibunya Desol,” wanita mengumbar senyuman, menyambut tamu anak mereka tersebut.

Didahului oleh empunya rumah, mereka melangkah masuk. Begitu berada di ruang tamu, sebenarnya Erri dan kawan-kawan pengen langsung duduk saja, karena kelelahan akibat kesasar. Namun ternyata, niat untuk duduk harus tertunda, sebab Nyonya rumah mengajak mereka langsung ke ruang tengah, ruang yang sengaja diperuntukkan untuk bersantap bersama.

“Ayuuk, langsung ke dalam saja,” pinta Tante Selsa.

Begitu sampai di ruang makan, sang Bapak mempersilakan kelima tamunya untuk duduk.
Ahh, akhirnya. Bisa duduk juga, melepas kepenatan, begitu pikir kelima orang itu. Sementara itu Desy membantu sang Ibu menghidangkan berbagai jenis lauk-pauk yang terlihat lezat, aromanya saja begitu menggiurkan. Buyut tersenyum malu-malu entah pada siapakah gerangan, Conni yang melihat tingkah ganjil si Buyut langsung saja menegurnya dengan menendang pelan kaki si Buyut di bawah meja.

“Jadi…” ujar Om Nito memecah kebekuan sementara menunggu hidangan disajikan. “Kau itu dari Jakarta, mau belibur?”

“Iya, Om, bareng ama temen-temen,” Rahab sedikit mengangguk dan menunjuk pada rekan-rekannya menggunakan ibu-jari tangan kanan. (Aseeek, sopan banget ente, Hab,)

“Kerja apa?”

“Bisnisnya ge-de, Om,” Buyut menimpali. Maksudnya sih, baik. Biar si Rahab terlihat mapan di mata orang tuanya si Desy tersebut. Namun itu sepertinya mendapat reaksi yang kurang menyenangkan dari pria itu.

“Eiih, aku tidak bertanya sama kau!” Om Nito mendelik.

Buyut tersenyum kecut, sementara rekannya menyembunyikan tawa, seolah sama berkata; Kena batunya lu, kan.

“Pa,” Desy mengerutkan dahinya sedemikian rupa, memberi isyarat agar sang Bapak tidak berlaku seperti itu pada tamu-tamunya.

“He-he, bisnis kecil-kecilan, Om,” jawab Rahab.

“Sudah, jangan diambil hati,” ujar Tante Selsa yang ditujukan pada si Buyut.

Tante Selsa duduk di sebelah kiri sang suami, sedangkan Desy di sisi kanan sang Bapak. Rahab duduk di sisi meja lainnya bersebelahan dengan Tante Selsa, kemudian di sisi selanjutnya ada Conni, Buyut, Erri dan di sisi meja yang terakhir ada si Lipul yang duduk membelakangi penyekat ruang makan tersebut dengan ruang tamu di depan.

“Mari, silahkan,”

Tawaran Tante Selsa itu ibarat kata sakti bagi kelima orang itu. Jadi, tanpa ba-bi-bu mereka mulai memilih santapan yang diinginkan, utamanya lagi si Buyut dan Lipul. Sedangkan Rahab, malu-malu kucing. Maklum, kan lagi duduk satu meja dengan gadis yang ia harapkan, apalagi bersama dengan kedua orang tua si gadis. (Yaa, pada ngartilah kan, ama situasi yang kek gitu)

“Waah, enak banget lhoo, Tan” puji Rahab.

(Wakakakka, oops. Hab-Hab, gimana ente bisa ngomong kek gitu? Pan tuh makanan belum ente kunyah, baru juga masuk ke mulut ente, gimana bisa ngerasain enak gak enaknya? Jiahaha lebay dah tuh)

“Makasih,” Tante Selsa tersenyum, ia sangat mengerti dengan perangai anak muda seperti si Rahab tersebut. “Tapi, yang masak bukan Tante. Desol, tuh,”

“Ouh, ya?” sahut Rahab dengan segala ke-lebay-annya. “Waahh, kamu pinter—“

“Ekheemm…!” Om Nito mendeham kencang.

Rahab menjadi ciut gara-gara itu, sementara teman-temannya seolah menertawai walau tidak terdengar ada suara tawa yang keluar.

Wajar juga sih, mungkin saja Om Nito tidak suka jika saat makan harus berbicara ini-itu, apalagi ucapan tersebut jelas-jelas sebuah rayuan pada putrinya. Om Nito sangat tahu betul dengan tingkah polah si Rahab itu. (Yaa, pastinya begitu, pan dia pernah muda juga)

“Boleh nambah gak, Tan?”

Busyeeet… belum apa-apa si Buyut sudah mau nambah aja. Benar-benar gila nih orang, sementara yang lain belum habis (setengahnya aja belum) tapi makanan di piringnya telah ludes entah ke mana. (Wakaka, kelaparan banget ya ente, Yut?)

Tante Selsa tersenyum mengangguk walau sebenarnya dia sendiri juga merasa heran, kok tahu-tahu tuh nasi sudah habis saja di piringnya si Buyut. Tidak Tante Selsa saja yang keheranan, semua orang yang ada di sana juga merasa heran, aneh, ganjil, bla bla bla… pada si Buyut. Terutama Om Nito, pria plontos kerutkan dahinya, heran ada kaget juga ada.

“Bahh…” semprotnya. “Yang ekspres kalinya kau?!”

“Hehe, maap, Om,” Buyut senyam-senyum aja. “Laperr, nyasar tadi, hehe,”

Tepat saat Buyut menyendok nasi, di saat itu pula lah tanpa sengaja Tante Selsa melihat kalung emas yang melingkar di leher si Lipul. Saat itu kondisi kerah baju si Lipul dalam keadaan sedikit terbuka, kegerahan. Mata perempuan itu membesar coba memastikan kalung emas yang melingkar di leher si Lipul itu. Dan ia mengenal kalung itu, sangat mengenal, bahkan dengan liontin kecil yang membandul di kalung tersebut.

“Pa?” ujarnya pada sang suami. Om Nito memalingkan wajah. “Sepertinya, itu mirip kalung Mama deh, Pa,”

Om Nito ikuti arah yang ditunjukkan sang istri. Pria plontos juga mengenali kalung itu. (Terang saja, wong kan dia yang membelikan buat sang istri) Jadi, dia tahu pasti bentuk kalungnya.

“Eii,” seru Om Nito pada si Lipul yang mulai gelagapan, menelan ludah. “Kau beli di mana itu kalung?”

“E-eeh, a-anu-anu O-Om…” penyakit gagap Lipul medera hebat. Wajah pucat, salah tingkah.
Sementara yang lain terdiam sekaligus keheranan, terutama Erri, Rahab, Conni, dan Buyut

“Kau copot dulu itu kalung,” titah Om Nito. “Bawa sini, aku mau lihat,”

“I-iya, Om,” Lipul grasak-grusuk melepas kaitan kalung di lehernya.

Kegiatan semua orang yang tengah asyik bersantap, jadi terhenti. Semua mata sama menatap si Lipul. Desy memandang pada Rahab seolah bertanya, bagaimana bisa kalung sang Ibu ada di leher si Lipul. Rahab juga menatap pada Desy, seolah paham dengan isyarat mata dari gadis tersebut, Rahab hanya sedikit bengong sambil geleng-gelengkan kepala pertanda ia juga tidak mengetahuinya.

Begitu kalung tersebut berada di tangan Om Nito, ia sangat mengenal kalung itu. Dan lagi, memang sebenarnya kalung tersebut milik Tante Selsa yang pagi tadi terlepas dari lehernya, yang pada akhirnya ditemukan oleh si Lipul. Namun karena si Lipul memilih untuk menyimpannya sendiri (katakanlah begitu jika tidak mau dibilang tidak jujur) juga berbohong pada Erri dan yang lain, ya tentu saja itu semua membuat si Lipul jadi salah tingkah.

Tingkah aneh si Lipul semakin mencurigakan di mata sahabatnya, alih-alih pada kedua orang tua Desy, pun dara itu sendiri. Ahh, suasana bersantap siang yang seharusnya berjalan lancar dengan keakraban (pan jelas-jelas ntu pedekate-nye si Rahab) berubah jadi tidak menyenangkan.

“Pa, ini memang kalung Mama lhoo, Pa,” ujar Tante Selsa.

Dengan serta-merta Om Nito bangkit dari duduknya, wajah sangar. Kontan saja Rahab dan kawan-kawan menjadi kecut ketakutan, lebih-lebih si Lipul sendiri sebagai terdakwanya.

“Kau kasi tau aku, di mana kau beli?” ujar Om Nito sangar.

“A-anu Om, a-anu… e-ee,”

Bukannya si Lipul tidak bisa menjawab pertanyaan Om Nito, namun dalam situasi seperti ini, di mana penyakit gagapnya langsung melanda hebat, sehingga yang keluar dari mulut pria itu hanya berupa suara gelagapan yang sulit untuk dimengerti. Tidak juga bagi teman-temannya.

“Atau, jangan-jangan kau mencopet itu kalung, haa?” tuduh Om Nito.

“E-eeh, bu-bukan, Om,” semakin pucatlah si Lipul dituduh demikian.

“Sekarang juga, kau keluar dari rumah ini!” titah Om Nito.

Om Nito menghampiri lemari yang berada persis di belakang kursi tempat dia duduk. Menjangkau bagian teratas dari almari, dan ternyata, tahu-tahu di tangan Om Nito tergenggam senapan berburu. Kontan saja Rahab dan kawan-kawan berhamburan dari sana, ketakutan setengah mati.

(Waahh, galak nian dah. Oops, so-sorry Om Nito, hadeuuh napa senapannya diarahkan ke ane, Om? Pisss, kabur ahh)

“Keluar kalian dari rumah ini…!” bentak Om Nito dengan lantang.

Rahab dan kawan-kawan berhamburan menuju pintu depan, lari terbirit-birit, keluar dari rumah itu, masing-masing ke arah berlainan. Kecuali Lipul yang berlari beriringan dengan si Conni. (Hadeuuh, Pul-Pul, udah kek gini masih aje ente mo-nya dempetan mulu ma si Connel,)

Sementara itu, Tante Selsa dan khususnya Desy berusaha menghentikan aksi Om Nito. Desy, walau merasa heran dengan keberadaan kalung sang Ibu yang ada pada si Lipul, namun ada rasa serbasalah yang ia rasakan pada kelima sahabat yang lari terbirit-birit itu, utamanya sih pada si Rahab. Apalagi tadi si Rahab sempat meminta maaf sambil berlalu.

“Awas kalian…!” ancam Om Nito. Kemudian berpaling pada sosok istri dan putrinya. “Papa tidak suka sama orang yang tidak jujur!”

“Tapi, kan itu belum tentu, Pa,” sahut Desy. “Dan, belum tentu juga Bang Rahab terlibat,”

“Baahh,”dengus Om Nito. “Mereka itu bekawan, apa lagi? Sudah tentu dia juga terlibat!”

“Sudah, Pa,” sahut sang istri menenangkan. “Ingat darah tinggi, Papa,”

“Pokoknya, Papa tidak mau kau berhubungan sama mereka lagi, titik!” ujar Om Nito pada putri semata wayangnya itu.

***

Mari kita lihat kelima orang sahabat yang terkocar-kacir itu.
Conni jatuh berlutut, menyusul Lipul yang juga sama jatuh berlutut di atas hamparan pasir putih. Nafas keduanya sama-sama memburu hebat, jantung berdebar kencang. Sesekali sama berpaling ke belakang, takut kalau-kalau Om Nito yang membawa senapan masih menguber. Namun tampaknya pria tersebut tidak mengejar, mungkin saja mengejar teman yang lain, soalnya mereka sudah terpisah sedari keluar dari rumah itu.

“Da-dasar gil-gilaa, ma-masak kit-kite mo di-ditem—bak,” ujar Lipul masih ngos-ngosan.

“Sampeyan sing edaan!” timpal Conni dengan sengit.

Terang saja Conni marah, semua ini terjadi gara-gara ketidakjujuran si Lipul sendiri. Bukannya dia ingin membela Om Nito, namun yang salah tetap lah salah, paling tidak itulah yang ada dalam pikiran Conni.

Saking kesalnya, dengan mendengus ke arah si Lipul, Conni melangkah meninggalkan si Lipul yang masih ngos-ngosan di belakang. Bahkan panggilan-panggilan mesra dari si Lipul tidak mampu melumerkan kekesalannya. Conni makin mempercepat langkah, meninggalkan Lipul sembari bersungut-sungut.

Kita beralih pada si Rahab.
Rahab hentikan larinya, satu tangan bertumpu pada batang pohon, mengatur pernapasan yang berdegup cepat. Ia kesal, kesal yang tidak bisa tersalurkan, menyesali kekonyolan tingkah si Lipul yang berujung pada pengusiran ia dan rekan-rekannya dari rumah gadis yang ia harap-harapkan. Rahab memaki sembari menghentak-hentakkan satu kaki ke hamparan pasir.

(Sorry, tadinya ane berpikir kalo si Rahab memukul-mukul tuh pohon, tapi berhubung pohonnya sendiri protes ama ane, jadi adegannya dibatalkan, ganti injek-injek pasir aje, hehe)

Kembali Rahab melanjutkan langkah, sesekali masih berpaling ke belakang, takut jika ternyata Om Nito justru mengejarnya, sekaligus mencari keberadaan teman-temannya. Langkah Rahab begitu gontai, hilang semangat.

Kita beralih lagi, kali ini pada si Buyut.
Buyut berpaling ke belakang, sedikit lega karena Om Nito tidak mengejar, ia hentikan larinya. Terbungkuk-bungkuk, ngos-ngosan, perut terasa sakit karena berlari kencang dalam waktu yang cukup lama. Kedua tangan memegang sisi samping perut yang mengejang.

“Hahh, makan gue, hahh… jadi nanggung,” ujarnya di sela napas memburu. “Dasar gagap!”

Sama halnya dengan Conni dan si Rahab, Buyut juga kesal dengan si Lipul. Jika Conni kesal pada Lipul gara-gara tingkahnya itu ia harus berlari ketakutan setengah mati, sedangkan si Rahab kesal karena pedekate-nya hancur berantakan, nah, si Buyut kesal karena niatnya mau nambah makan jadi tidak kesampaian.

Buyut kembali melanjutkan langkah. Melangkah di tepian pantai yang ramai oleh para pelancong. Beberapa saat kemudian, saat Buyut melepaskan pandangan ke sisi kiri—ke rimbun pepohonan—ia sedikit kaget, karena di sana terlihat dua ekor gorila besar. Penasaran, Buyut menelisik lebih jauh.

Benar saja, itu adalah gorila-gorila yang sama dengan yang tempo hari pernah dilihat Buyut, kontan saja ia tersenyum ganjil. Penasaran, apa lagi yang bakal terjadi? Buyut mengendap-ngendap, mendekat pada kedua gorila, hanya terpisah jarak 10 meter.

Kedua gorila tengah meributkan sesuatu. Konyolnya lagi, si gorila jantan seperti tengah duduk berjongkok dengan kedua tangan mendekap kepala dan posisi tubuh yang menyamping ke arah si betina. Mirip-mirip seseorang yang ketangkep bersalah. Sedangkan si betina tengah memarahi sang jantan (tentunya pake bahasa bangsa mereka he-he) dengan bertolak pinggang. Sesekali satu tangan menunjuk-nunjuk (maaf ya, Gor.) kasar si gorila jantan, dengan ekspresi wajah amat kesal.

“Waduuh, nape lagi tuh, si Toing?!” Bisik Buyut seorang diri. (Terserah ente lah Yut, mo Toing kek, Tiong kek, terserah ente, hhhh…)

Si betina benar-benar marah pada si gorila jantan, terkadang si betina menjerit-jerit gak keruan, sebentar kemudian seperti melompat-lompat dengan segala kekesalannya. Karena kasihan pada si Toing (ane pasrah aje dah) akhirnya Buyut keluar dari persembunyiannya.

“STOP…!” seru Buyut pada gorila betina. (Lhoo...?!)

Tiga-empat langkah, Buyut menghentikan langkah. Ia benar-benar kasihan melihat wajah si jantan yang memelas, bahkan terlihat benjut-benjut gak keruan, mungkin kena dihajar si gorila betina.

“Hentikan kekerasan dalam rumah tangga…!” ujar Buyut lagi. (Hee...?!)

Gorila betina kaget mendengar seruan si Buyut, apalagi Buyut mendekati mereka. Sementara si gorila jantan sepertinya merasa bersyukur melihat si Buyut menghentikan racauan betinanya itu.

“Kalo ada masalah, bicarakan baek-baek,”

(Jiahaha, mang ente pikir tuh gorila bakal ngarti ucapan ente? Dan ente pikir, ente bisa ngarti bahasa gorila? Yut, Yut, ade-ade aje ente)

Gorila jantan  : “Huhuha hua hahu,” (Tolong saya boss,)

Buyut                : “Mang lu kenape Toing? Bonyok-bonyok gitu?”

(Lhoo-lhoo-lhoo… Kok bisa…??? Kok ente ngarti, Yut?)

Gorila jantan  : “Hua hihuhu hahihahiha,” (Saya dipukulin habis-habisan,)

Gorila betina  : “Hiha hahahu ha hu hihu…!” (Dasar jantan gak tau diri…!)

Buyut               : “ Mang si Toing ngapain, Mun?”

(Baaah… jangan bilang kalo namanya si Mumun, Yut?! Maap ye, nyang namenye same, bukan ane kok, si Buyut noh,)

Gorila betina  : “Huhi uhi ihahai hi, hi hahuhi hihahuui aha uhiha haih,” (Gue udah mencintai dia, tapi dia malah selingkuh ma betina lain,)

Buyut terdiam mendengar keterangan gorila betina. Di satu sisi, ia kasihan pada si Toing, namun sisi kearifannya (aseek, ekheemm) menyalahkan kelakuan si jantan. Dan sisi kemanusiannya (wuidiihh mang tuh orang? Kegorilaan kali, Yut,) ia juga menyalahkan si betina yang main hajar saja hingga wajah si jantan jadi bebek-bertelur gitu, e-eehh… babak-belur maksud ane.

Buyut               : “Lu juga sih Toing, nyari penyakit,”

Gorila jantan semakin sedih, tundukan kepala. Entah ia sedih karena si Buyut ikut menyalahkan dirinya, entah karena rasa sakit di wajahnya yang bonyok. Entah sedih karena merasa bersalah pada si betina atas perbuatannya. (Ahh, makin galau aja dah tuh gorila wakakkaa, oops… so-sorry Toing)

“Dah tau si cantik ini cinta ama lu, eeh lu pake selingkuh segala… hedeuuh,” (Ntar dulu! Cantik dari manenye, Yut? Hedeuuh…) “Ya udeh, kalo gini critanye, gue kagak bisa ikut campur, lu bedua aje dah nyang selesein nih masalah. Awas…! Kagak pake kekerasan,”

Selesai berbicara Buyut balik badan, dan menjauh, meninggalkan si Toing dan si Mumun berduaan saja sembari geleng-gelengkan kepala.

“Gak orang, gak gorila, hahhh…” keluh si Buyut seorang diri. “Samaaa aja kelakuannya. Selingkuh lah, KDRT lah. Hahhh, dunia mo kiamat,”

(No comment……………………………………………………………)

Sementara itu, gorila betina pada akhirnya berlalu dari sana, meninggalkan si jantan yang masih saja berjongkok dengan kedua tangan memegangi kepalan. (Hahhh, kasihan amat ente, Toing. Ceka-ceka-ceka-ceka... mangkanya jangan betingkah!)

Setelah cukup jauh, akhirnya Buyut tiba di sebuah keramaian (sebut saja pasar rakyat) Sejumlah orang terlihat menjajakan berbagai jenis dagangan di atas meja-meja yang tidak terlalu besar, tersusun rapi sedemikian rupa di tepian pantai tersebut. Sejumlah turis terlihat tengah melakukan tawar-menawar.

Si Buyut terkagum-kagum melihat keramaian tersebut, lebih pada keadaan sekitarnya. Soalnya kendati pasar itu ramai menjajakan berbagai macam dagangan, akan tetapi lingkungannya boleh dibilang bersih dan tertata rapi. Sedang asyik menyaksikan sejumlah orang yang tengah bertransaksi (bukan drugs lhoo,) tiba-tiba Buyut bertubrukan dengan seseorang. Dan ahh… keduanya jatuh bergulingan.

“Aahh, somprett lu, Ri,” dengus Buyut bangkit dan membersihkan diri.

Ternyata orang yang bertabrakan dengan dia adalah si Erri. Erri menyengir kuda menanggapi omelan si Buyut.

“Lu liat yang laen?”

“Kagak, baru lu doang,” jawab Buyut. “Dari tadi gue pengen beser nih,”

“Oncom…!” dengus Erri. “Yaa, ke wc lah. Mang lu pikir gue jamban?”

“Haa,” Buyut melihat sesuatu.

Searah pandangan mata si Buyut, di belakang pasar tersebut, sedikit menjauh dari keramaian, terdapat beberapa wc umum.

“Ri, tunggu di sini ya, gue ke sono bentar,” 

Erri mengangguk menyanggupi. Buyut berlari ke belakang sana, dan Erri memutuskan untuk melihat-lihat. Daripada ngelamun gak ada untungnya, mending keliling lihat-lihat sejumlah barang yang diperjual-belikan, siapa tahu ada sesuatu yang unik yang bisa dijadikan cenderamata nantinya, begitu pikirnya.

Erri melangkah di antara keramaian. Lirik sana lirik sini, mencari-cari barang yang cocok, paling tidak yang bisa ia jadikan kenang-kenangan. Perhatiaan pria Jawa tertuju pada seorang pedagang yang berdandan jauh dari kesan pribumi. Penasaran, Erri mendekati pedagang tersebut.

Pedagang itu berpakaian ala India, lengkap dengan sorban ciri, hanya saja pedagang itu bertelanjang dada, dan terlihat sedikit kurus, juga berkulit kehitaman. Ia tidak berjualan menggunakan meja, barang dagangannya—yang kebanyakan berupa ramuan-ramuan dan obat-obatan tradisional—dipajang di atas kain yang digelar di atas hamparan pasir. Ia ditemani seorang perempuan yang mengenakan sari, pakaian khas wanita India dengan lebih separuh wajahnya tertutup selendang, hanya sepasang matanya saja yang sesekali terlihat berkedip.

“Acha-acha, mari sini tuan, acha,” ujarnya pada Erri yang datang menghampiri dengan aksennya yang terdengar aneh di kuping. “Acha tuan punya sakit, saya punya banyak obat acha,”

“Saya cuman mo liat-liat aja,” jawab Erri, namun malah berjongkok di depan barang dagangan pria India tersebut. “Obat apa aja nih? Banyak amat macamnya,”

“Acha saya punya banyak macam obat, hee,” jawab si pedagang. “Semua kasi guaranty haa, pasti punya acha,”

Erri tengah menimbang-nimbang, apa ia akan membeli sesuatu dari pria India itu. Aneh, pikir si Erri. Wajah dan bentuk tubuh pria India yang duduk bersila itu, mirip-mirip seseorang. Hmm, haa benar banget. Mirip si Nandar. Kecuali kumis tebal, menyatu dengan jambang juga jenggotnya yang lebat itu.

Erri tersenyum geli memandang pedagang tersebut. Tiba-tiba saja, Erri teringat akan si Rahab, ahh mungkin saja ada ramuan khusus untuk penakluk cinta. (Beuuh, di negeri sendiri juga banyak tuh, pelet, mungkin,)


Mari kita lihat si Buyut yang katanya mau berhajat.
Begitu sampai di area wc umum, tidak serta-merta si Buyut bisa berhajat. Masalahnya, semua toilet—berjumlah lima buah itu—sedang dalam penggunaan. Jadi mau tidak mau, Buyut terpaksa menunggu. Toilet itu sendiri tidak membedakan antara wanita dan pria, asal satu kamar saja kosong siapa saja bisa menggunakan.

Satu pintu terbuka, ujung kiri, dan seorang wanita muda keluar dari dalamnya. Buyut yang melihat wanita manis tersebut jadi mesem-mesem sendiri. Nahas, ketika akan masuk ke kamar kecil yang telah kosong itu, Buyut kalah cepat. Seorang anak kecil telah lebih dulu masuk dan menutup pintu toilet mendahului si Buyut yang sudah menunggu sedari tadi. 

(Hahaha, rasain ente, Yut. Makanya, jangan jelalatan tuh mata. Tahan tuh terus, haha).

Buyut kembali harus menunggu, keinginan untuk berhajat begitu memuncak hingga ubun-ubun, bahkan sampai menggigil, merinding disko. Buyut berpaling ke kanan, di mana di sana sepi dan hanya ada hutan belantara. Hmm, kalau tidak memandang malu mungkin ia sudah membuangnya di areal sepi itu. Selagi si Buyut memandang kerimbunan rimba, si anak kecil telah keluar dari dalam kamar kecil. Namun Buyut tidak menyadarinya, bahkan hingga kamar kecil tersebut kembali dimasuki oleh orang lain. Seorang turis bule. (Sebut aja namanya Jono, hehe… ekhemm)

Karena menunggu terlalu lama Buyut hilang kesabaran. Jadi, dia memutuskan untuk melangkah ke kamar kecil di kiri itu, menyangka si anak kecil masih berada di dalam sana. Buyut celingak-celinguk mengawasi keadaan, sepi. Buyut pun beraksi. (Niatnya sih, bakal ngegendong tuh bocah keluar, dan dia akan behajat)
Namun apa daya, saat pintu kamar kecil tersebut ia buka paksa dari arah luar, Buyut terguncang hebat. (O—ouww, Nooo…!!!)

“What the hell are you doing?” seru si bule gelagapan sembari menaikan celananya.

Meski sempat kaget, terguncang, bla bla bla… memandang si bule yang hanya mengenakan boxer putih dengan embel-embel gambar ‘hati’ di bagian (maaf) kedua bokongnya itu. Akhirnya, tanpa mengatakan apa-apa si Buyut langsung ngacir.

Si bule yang melihat tingkah si Buyut tidak menunjukan etikat baik (tau tuh si Buyut, orang bilang maaf kek, apa kek, ni malah main kabur aja ente,) langsung saja menguber si Buyut sambil satu tangan mengacung-acungkan tinju. Dari mulai mengitari sejumlah orang yang berlalu-lalang, terus seperti anak-anak yang tengah bermain polisi-polisian mereka terus saling kejar-mengejar. Bahkan sampai balik lagi mengitari kelima kamar kecil tersebut. Sekali waktu mereka sama-sama berhenti kelelahan—malah berdampingan segala, detik berikutnya kembali Buyut berlari dan dikejar lagi oleh si bule. Di lain waktu Buyut tertawa senang sambil menari-nari saat si bule jatuh terjerembab karena wajahnya tertutup kain jemuran, dan di waktu lainnya lagi gantian si bule yang tertawa terpingkal-pingkal melihat si Buyut jatuh telentang karena lari gak lihat ke depan dan akhirnya menubruk pohon kelapa.


Kembali pada si Erri di keramaian pasar sore itu.
Saat itu si Erri tengah membayar pada si pedagang India, dan ditangan kirinya memegang satu bungkus kecil berlapis plastik hitam, seukuran kartu remi dan agak tebal.

“Yakin nih, oke punya?” ujar Erri.

“Acha-acha, saya banyak yakin, acha,”

 “Gak da bonusnya nih?” tanya Erri, iseng-iseng siapa tahu berhadiah.

“Nehi-nehi-nehi,” tolak si pedagang. “Kalau tuan mau., ini wanita boleh tuan bawa, haa…”

Si pedagang menunjuk dengan kedua tangannya pada si wanita yang sedari tadi berada di sampingnya, duduk malu-malu. Namun begitu wanita tersebut melepas balutan selendang yang menutupi sebagian wajahnya tersebut, sontak saja Erri kaget setengah mati.

Tiiinggg…

(Oalaaah, kenapa tuh cewek mirip-mirip Ely Su****…? Hadeuuhh)

 “Auww, silau men,” Erri bergidik ngeri. (Mang tuh hantu apa?) “Gak usah, gak payah, makasih aja,” Erri bangkit.

Wanita yang giginya berkilau tersebut, kedip-kedipkan sepasang matanya dengan genit pada si Erri, kontan saja Erri kegelian merasa bla bla bla...

Tepat pada saat si Erri berdiri dari jongkoknya itu lah, tahu-tahu si Buyut muncul dengan wjah cemas. Mereka bertubrukkan, kembali bergedebukkan ke atas pasir untuk yang kedua kalinya.

“Ri, kabur, Ri,” ajak Buyut yang kemudian bangkit lantas lari lagi diikuti pula oleh si Erri. “Cepet…!”

“Apaan…?” tanya Erri heran.

“Ada bule ngamuk,” sahut Buyut terengah-engah. “Gue gak sengaja ngintip die lagi beser,”

“Oncom…” maki Erri menahan ketawa.

Namun begitu Erri memandang ke belakang, ia semakin kaget gak karu-karuan. Memang si bule yang diceritakan si Buyut terlihat menguber sembari terus mengacungkan tinjunya, namun yang membuat pria Jawa ini kaget setengah mati adalah ternyata wanita yang mirip-mirip Ely Su**** tersebut juga ikut mengejar mereka, bahkan sembari kedua tangannya terjulur seolah-olah ingin memeluk, sambil berseru kencang.

“Darling… darling…” panggil wanita itu. “Mera pyar hai… mera pyar hai…”

“Waaa-waaa-waaa…” kaget Erri bukan alang-kepalang. Erri mempercepat langkahnya, bahkan mendahului si Buyut yang keheranan pada lajunya lari si Erri.


***
-----bersambung^^-----
TULISAN INI PERTAMA KALI DIPUBLIKASIKAN DI WWW.KOMPASIANA.COM COPASING DIIZINKAN DENGAN MENYERTAKAN URL LENGKAP POSTINGAN DI ATAS, ATAU DENGAN TIDAK MENGUBAH/MENGEDIT AMARAN INI.