Senin, 08 Februari 2016

Member FC - Kite Lagi Liburan [Chapter 11 - Final Chapter]

Akan Gue Ingat Jasa Lo


Kembali pada Buyut yang tengah duduk berdua dengan si gorila galau.
Mereka sama berdiam diri menatap lurus ke lautan. Tidak ada suara yang keluar dari mulut keduanya, tidak pula isak tangis seperti sebelumnya. Dua kaki sama selonjoran di atas hamparan pasir, dua tangan sama-sama diletakkan di pangkuan.
Tidak berapa lama, perhatiaan kedua makhluk beda spesies ini terpecah. Sama tertarik pada sejumlah orang di ujung kanan sana. Ada rasa heran di wajah keduanya, bahkan sama berkerut aneh.
Tujuh orang berlari ke arah si Buyut dan gorila. Tiga orang di antaranya adalah dokter, dengan mengenakan setelan khas jubah putih-putih, dan salah seorang dari ketiganya adalah bule. Sedangkan empat yang lainnya orang-orang dari penangkaran hewan, dua orang di antaranya membawa satu serokan ukuran besar, sangat besar. Sedangkan dua orang sisanya membawa segulung tali.
“Itu mereka!”
“Ayoo, tangkap…!”
Buyut dan si gorila kaget bukan kepalang. Seolah-olah ketujuh orang tersebut berniat menangkap mereka. Buyut mengerutkan dahi, kalau terhadap para pawang dari penangkaran hewan tersebut ia tidak heran, jelas yang mereka tuju adalah si gorila jantan di samping kanannya itu. Nah, ini kenapa dia juga dibawa-bawa segala? Ia dengan jelas bisa memastikan jika ketiga orang yang terlihat seperti dokter tersebut juga menunjuk-nunjuk pada dirinya.
Namun tatkala Buyut mencoba memerhatikan dengan seksama para dokter itu, sontak wajahnya semakin berkerut tak keru-keruan.
Betapa tidak, ternyata dokter bule itu adalah orang yang sama dengan bule beberapa hari yang lalu. Yang itu tuh, yang kejadian di toilet umum di dekat pasar tempo hari, he-he. Sepertinya tuh dokter adalah dokter spesialis kejiwaan, dan dia berpikir jika si Buyut adalah salah satu dari sejumlah pasien yang harus mendapat perawatannya.
(Jiahahha…) Pada dada kiri seragam kedokterannya tersemat emblem nama; Jono. (Beuh, bukannya Jono tuh nama Indonesia? Kok bule bisa pake nama itu juga? Kalo Jhonny lebih masuk akal. Ya sudah lah, lanjuut…)
Mau tidak mau, terpaksa Buyut dan si gorila cabut dari sana. Berlari sekencang mungkin. Kadang Buyut berada di depan si gorila, di lain waktu justru si gorila yang berada paling depan. (Hahha konyoll, napa tuh gorila larinya kek manusia?)
“Sial…” maki Buyut. “Tuh bule pasti ngira gue or-gil nih. Aseemm…”
“Berhenti! Woii… berhenti!”
“Sorry, yee…” cibir Buyut. “Enak aje main tangkep, beuuhh... Sok udag enggalan aritiasa mahh…!” (Ayo kejar kalau bisa…!—sejak kapan Buyut bisa berbahasa Sunda, ya?)
Jadilah peristiwa kejar-kejaran tersebut berlangsung riuh. Buyut dan gorila berlari di sepanjang bibir pantai hingga berbasah-basahan, begitupun dengan mereka-mereka yang mengejar keduanya. Lalu mengarah ke kerimbunan pepohonan, terpaksa para pengejar ikut juga berlari ke arah tersebut. Seorang dari para pengejar secara tidak sengaja menginjak patahan ranting, ia melompat-lompat dengan satu kaki sementara satu kaki lagi menahan sakit.
Melihat pengejar menginjak ranting dan berlari sembari melompat-lompat, bahkan ada juga dari tim dokter yang terjatuh karena sejumlah dahan pohon menghalang langkahnya, kontan saja Buyut dan si gorila terbahak-bahak sembari melompat-lompat kegirangan mengejek para pengejar.
(Gila juga tuh mereka berdua, masak pake tos-tosan segala, ha-ha-ha)
Kembali keduanya berlari menjauh. Di satu kesempatan, Buyut dan si gorila berlari saling berdampingan, dengan tiba-tiba si gorila mendorong Buyut ke sisi kanan hingga terguling-guling, tersembunyi di balik sebuah pohon besar dan rindang.
Hahu-hahu-hahu… teriak si gorila sambil terus berlari menjauh.
Buyut terlindung berkat dahan-dahan pohon itu yang menjulai rendah, sehingga rombongan pengejar tidak melihat keberadaannya dan terus saja mengejar ke arah mana sosok si gorila menghilang.
“Thanks Toing,” desis Buyut sembari terus mengawasi ketujuh orang yang berlari mengejar si gorila. “Gue gak akan lupa jasa lu.” (Azeekk.)
Para pengejar benar-benar tidak menyadari keberadaan si Buyut, padahal mereka semua berlari persis di sisi keberadaan si Buyut yang tertutup lebatnya dedaunan. Wah, hebat juga si Toing, salut dah buat ente Toing, rela berkorban diri dikejar-kejar orang banyak demi sahabat. (E-eeh, mang ente temenan ma si Toing, Yut?)
Tanpa membuang masa Buyut keluar dari persembunyiannya dan berlari kencang berlawanan arah dari para pengejar yang mengikuti arah si gorila.
Lama berlari, Buyut hentikan langkah, berpaling ke belakang. Yakin tidak ada yang mengikuti, Buyut menghempaskan napas lega, terbungkuk-bungkuk mengatur pernapasannya yang tersengal-sengal.
Seolah baru menyadari jika di depan sana ada keramaian, Buyut memerhatikan lebih lanjut. Sejumlah orang tengah menikmati pagelaran musik pantai. Buyut mendekati keramaian tersebut.
Memang benar, di sana tengah ada satu pagelaran musik. Pagelaran musik tersebut mempertunjukkan sejumlah instrumen tradisional yang dimainkan berkolaborasi dengan alat musik modern. Yang mampu menghasilkan irama menyenangkan di telinga mereka-mereka yang menyaksikan. Pagelaran tersebut diadakan guna menarik perhatian para wisatawan dan tentunya sekalian untuk menghibur mereka-mereka yang datang berwisata ke daerah kepulauan tersebut.
Buyut tersenyum, jika sebelumnya ia terus dikejar-kejar kesedihan dan kecemasan sekarang di wajah pria tersebuut justru terlihat kebalikannya. Suasana hati Buyut dengan cepat berubah drastis saat melihat sejumlah orang di panggung rendah sana memainkan alat musik tradisional.
Ahh, satu lagi kesenian warisan leluhur negeri ini yang mesti dilestarikan. Oleh karena itu, semakin bersemangat lah si Buyut, bergabung dengan sejumlah wisatawan di sana.
Buyut melangkah sambil sesekali bergoyang riang mengikuti irama yang melantun. Tidak Buyut, sejumlah orang yang ada di sana juga sama. Meski gerak dan liuk tubuh mereka berbeda satu dengan yang lain, namun tetap mengikuti beat dari musik itu sendiri, sehingga terlihat cukup pantas.
Tengah asik melangkah riang layaknya anak kecil di taman yang indah, tanpa disengaja Buyut menubruk seorang wanita. Walau tidak kencang dan tidak sampai jatuh ke pasir, namun…
“O-ouww,” bola mata si Buyut seolah lepas dari rongganya.
Ternyata perempuan muda yang disenggol si Buyut adalah Fitria, anak tertua dari Bu Sekar. Keruan saja Buyut menjadi ketakutan, dan ketakutan itu semakin kentara tatkala ia menyadari jika Bu Sekar ternyata berada di situ juga, bahkan si bungsu Inar juga hadir. Buyut semakin pucat, keringat dingin mengucur deras...
(Set-dah… nape keringet ente jadi banyak gitu, Yut? Alamak… dari mane datengnye tuh air, kok tahu-tahu ngucur deres dari kepala ente…?! Baahh…)
“Ma-maap, sa-saya gak-gak sengaja,” ujar Buyut pada Fitria, dan si Buyut pun ketularan penyakit si Lipul. “Maap Tante, he-he, keasikan joget..” Buyut memaksa tersenyum dan kemudian menelan ludah sendiri memandang pada Bu Sekar.
“Hati-hati, dong…!” tegur Fitria.
Namun Buyut boleh bernapas lega, soalnya Bu Sekar hanya menanggapi dengan senyuman. Meski heran, Buyut balas senyuman orang dengan anggukan kepala.
“Gak gabung sama teman-temanmu?” tanya Bu Sekar.
“E-eh, gak tau mereka kemana, Tan. Tadi pas keluar kita gak barengan.”
“Hoo, pantesan…”sahut Bu Sekar dengan senyuman.
“Mereka di sebelah sana tuh!” timpal Fitria.
“Ouh ya?” sahut Buyut dengan ekspresi yang… entahlah. (-_- mulaiii… penyakit kalo ketemu cewek cakep, haih!!!)
Memang benar, dari kejauhan Buyut melihat sahabat-sahabatnya tengah berbincang dengan beberapa orang. Dan ia bisa mengenali, itu Om Granito, Tante Selsa  dan anak mereka si Desy alias Desol, juga si Fahmi dan si Nandar ada di sana.
“Makasih ya. Mari Tan, Mbak,” Buyut berpamit diri dengan sopan.
“Mari-mari,” balas Bu Sekar, Fitria dan Inar hampir berbarengan.
Buyut melangkah cepat. Buyut bisa memastikan jika Om Granito sekeluarga tidak lagi mencurigai sahabat-sahabatnya di sana. Usaha si Fahmi berjalan sukses, pikirnya. Ahh, syukurlah jika kesalahpahaman antara Buyut dan kawan-kawan dengan keluarga Om Granito bisa terurai manis.
“Oi, Yut,” panggil si Erri. “Dari mane aje lu?”
“Kagak dari mane-mane,” Buyut merahasiakan perihal dikejar-kejar orang tak dikenal tadi. “Eeh… Om, Tante, Desy.” Om Granito, Tante Selsa dan Desy sama tersenyum membalas sapaan si Buyut. “Ni, acara apaan, sih?” tanya Buyut sembari melihat keramaian dan sejumlah pemusik di atas panggung rendah.
“Pagelaran musik pantai,” jawab Desy.
“Eeh gue ada ide nih,” ujar Buyut spontan.
Kesepuluh orang tersebut merapat satu sama lain mengikuti ajakan Buyut. Buyut punya satu rencana untuk membuat suasana pagelaran musik itu lebih meriah. Yang lain mengangguk-angguk, mengerti, dan sama setuju dengan ide si Buyut tersebut.
“Baah…” seru Om Granito. “Yang tak kusangka, rupa-rupanya otak kau itu encer juga.” Om Granito tertawa lepas dengan ide yang ia dengar dari si Buyut barusan dan ditanggapi dengan anggukan setuju dari yang lain.
Jadi tidak menunggu lama Buyut dan kawan-kawan segera saja melangkah menuju panggung rendah, sedangkan Om Granito dan keluarga tetap berada di posisi semula, di sisi kanan panggung. Pria plontos geleng-gelengkan kepala, ada-ada saja ide mereka, begitulah yang tengah ia pikirkan. Begitupun halnya dengan sang istri, Tante Selsa tersenyum geli membayangkan apa yang akan terjadi, sementara Desy bergelayut mesra di pundak sang ibu.
Saat ketujuh orang tersebut bergerak mendekati panggung, menarik perhatian Bu Sekar dan kedua anak gadisnya. Heran plus penasaran, ketiganya bergerak mendekati panggung.
Buyut menaiki panggung, membicarakan sesuatu pada pimpinan orkestra. Dan pemimpin orkestra tersebut sangat mengerti dan menghargai apa yang diucapkan oleh Buyut. Sementara Erri, Rahab, Conni, Lipul, Fahmi dan si Nandar tetap berada di bawah panggung, panggung itu sendiri cukup besar dan hanya setinggi lutut orang dewasa saja.
“Sundul Gan…!”
Tiba-tiba Buyut berteriak kencang dengan bantuan wireless microphone. Bersamaan dengan teriakan si Buyut, alunan irama nge-beat menghentak pendengaran.
Bersamaan dengan itu pula Erri dan Rahab sama melompat gesit ke atas panggung menemani si Buyut yang mulai melakukan gerakan-gerakan tarian yang terlihat cukup simple namun atraktif. Sedangkan Conni, Lipul dan Fahmi juga Nandar pun melakukan gerakan yang sama di bawah panggung.
Awalnya, semua orang sama terdiam, bingung dengan apa yang dilakukan si Buyut dan kawan-kawannya. Lama kelamaan, mereka justru mengikuti gerakan-gerakan tarian yang diperagakan oleh ketujuh orang di depan mereka tersebut. Gerakan itu sungguh terlihat asyik dan menyenangkan, tidak terlalu rumit hanya terdiri dari lima-enam gerakan saja.
It’s so simple, but seem atracktive. See what I mean?
Dimulai dengan Bu Sekar, Fitria, dan Inar yang kala itu telah berada di barisan terdepan, mengikuti gerakan Buyut dan kawan-kawan, dan detik berikutnya, semua yang hadir sama bergoyang riang. Menari dengan gerak dan gaya yang sama dengan mereka yang di depan sana. Bahkan Om Granito dan keluarga juga terlihat melakukan gerakan yang sama.
Suasana di pantai semakin meriah. Menari dengan tawa lepas mengiringi gerakan mereka, sebagian lagi tersenyum malu-malu, lainnya terlihat dengan semangat membara. Besar-kecil, tua-muda, anak-anak juga dewasa, pria maupun wanita, sama berjoget dengan suasana hati yang ceria. Penduduk dan turis lokal, bahkan para turis mancanegara sekalipun, sama berjingkrak ria.
Digoyang-digoyang… Digoyang-goyang-goyang sundul
Disundul-disundul… Disundul-sundul-sundul goyang
Mari kita ikut suara gendang……………
Coba dengarkan suara seruling …………….
Hanya syair itulah yang terdengar dilantunkan Buyut dan kawan-kawannya, berulang-ulang sedemikian rupa mengiringi lantunan musik yang atraktif.
Semua orang menari dengan keceriaan yang terlihat jelas dari wajah masing-masing. Anak-anak yang dengan semangat memamerkan gerakan mereka pada orang tua, dan para orang tua yang gerakan mereka patah-patah mengiringi sang anak. Sang suami yang unjuk kebolehan menari pada sang istri, dan sang istri yang malu-malu mengikuti gerakan sang suami. Muda-mudi yang sama kompak dalam gerakan. Ahh… begitu cerianya mereka tanpa harus melakukan gerakan-gerakan yang ditabukan, sederhana namun lebih atraktif dan (gue rasa) lebih menyegarkan dan menyehatkan.
Setelah cukup lama mereka menari serentak bersama, di atas panggung tanpa sengaja Buyut memandang ke arah kanan. Sepasang mata membelalak lebar. Di ujung pandangan, si girola berlari ke arah keramaian, dan tujuh orang mengejar gorila tersebut. Kontan saja Buyut ketakutan.
Dengan cepat Buyut menarik tangan Erri dan Rahab, melompat turun dari atas panggung walau musik masih terus mengalun.
“Ri, Hab, kabur...”
“Apaan…?!” sahut Rahab dan Erri berbarengan.
Detik itu suara-suara histeris terdengar saat si gorila jantan berbulu hitam menghampiri keramaian. (Waduh, kacau dah ni musik pantainya… hedeuuh)
Semakin lama, teriakan orang-orang tersebut semakin terdengar jelas, sambung menyambung menjadi satu… (Oops, maap-maap) Orang-orang berlarian tak tentu arah, takut pada gorila besar yang muncul di tengah keramaian.
Ahh, suasana yang tadi bwgitu akrab dan ceria berubah heboh. Jerit sana, jerit sini. Lari sana, lari sini. Bahkan, sampai ada yang tersungkur segala. Oops… malah ada pula yang saling bertubrukan. Kacau, benar-benar kacau.
Buyut, Erri, dan Rahab yang telah turun dari atas panggung, berlari ke arah Om Granito dan keluarga. Conni, Lipul, Fahmi, dan Nandar yang awalnya tidak mengerti kenapa mereka juga harus ikut berlari, sama terheran-heran. Namun, begitu Buyut menunjuk-nunjuk ke belakang, keruan saja keenam yang lainnya sama kaget ketakutan.
He-he, si Buyut sendiri berlari menghindari kejaran para dokter kejiwaan di belakang si gorila itu. Nah, enam yang lain sudah dapat dipastikan berlari kencang karena ketakutan pada si gorila.
“Fahmi, kapal…!” teriak si Buyut memberi komando.
“Siap, Boss…!” Teriak Fahmi mengerti. Maka, dengan ajian: sapu angin (hedeuuh), Fahmi berlari sangat kencang mendahului mereka semua.
(Jiaah… ternyata ooh ternyata, si Fahmi masih kalah cepat dari si Nandar yang berlari seolah melayang mendahuluinya, sambil berteriak ketakutan, histeris… -_-‘)
“Tulang, Nantulang, Desol… Aku balik dulu yaa…” Fahmi berpamit diri dengan teriakan lantang. Di depannya, si Nandar semakin jauh saja.
“Hati-hati…!” Teriak Om Granito.

“Yut, ada apaan, sih…?!” tanya Erri di sela larinya.
“Si Bule nyang kemaren, tuh!”
“Waaa…” yang membuat si Erri kaget setengah mati bukanlah pada sosok si gorila di belakang, juga bukan pada Jono si dokter bule, apalagi pada para pengejar lainnya. Namun ternyata ooh ternyata, yang membuat pria berdarah Jawa ini kaget setengah modar, adalah seorang wanita yang ikut mengejar dengan dandanan ala-ala India.
(Oops,  jiahaha… ntu, kan cewek India nyang mirip Ely Su****, huahahah…)
Erri semakin mempercepat larinya, bahkan mendahului si Buyut. Tidak mau kalah, Conni dan Lipul juga si Rahab yang ketakutan karena mengira dikejar si gorila di belakang sana, juga mempercepat lari mereka, bahkan mendahului si Buyut.
Kaget, sekaligus terheran-heran pada laju lari rekan-rekannya tersebut, Buyut tambah gas, jadi semakin kencang dan mendahului keempat rekannya yang lain.
“Oom… kami pamit…” teriak Buyut pada keluarga Om Granito yang sepertinya tidak terpengaruh akan keberadaan si gorila. Malah sama terpingkal-pingkal melihat adegan konyol tersebut.
“Desy,” Teriak Rahab tak mau kalah. “Abang pulang yaaak…”
“Iya Bang…” jawab Desy ikut-ikutan berteriak lantang.
Di depan sana, Fahmi sudah berada di atas kapal dan telah menyalakan mesin, yacht terdengar menderu-deru. Begitupun halnya dengan si Nandar, ia telah melepas sangkutan tali pengikat kapal, dan tergesa-gesa menaikkan dapra.
“Jangan kabur…!” teriak pengejar pada si gorila.
“Hey you, stay there where you are…!” teriak si Jono dialamatkan pada si Buyut pastinya.
 “Mera pyar hai… mera pyar hai…!” teriak si cewek India, pastinya dialamatkan pada si Erri. (Cintaku… cintaku…!)
“Hahu-hahu-hahuuu…” jerit si gorila. (Tolong-tolong-toluuong…)
Rahab dan kawan-kawan sama mengarah ke dermaga, di ujung dermaga telah menunggu kapal mereka yang siap lepas landas. (Hadeuuh, mangnya ni kapal terbang? Bodo amat, lanjuut…)
Si gorila hitam alias si Toing tahu-tahu semakin dekat dengan Rahab dan Kawan-kawan, hanya terpaut tiga-empat meter saja. Sedangkan para pengejar terpaut dengan jarak yang sama pula di belakang sang gorila. Kontan saja Conni, Lipul, Rahab, Erri, dan si Buyut melompat sembari menjerit kencang. (Huahuahuahu, malah melompat ke laut. Ampun deh…)
“Waaa…”
Cbyurrr…
Om Granito, Tante Selsa, Desy alias Desol malah tertawa terbahak-bahak melihat aksi mereka semua. Pun begitu pula halnya dengan Bu Sekar, Fitria, dan Inar yang juga terpingkal-pingkal.


***…TAMAT…***
TULISAN INI PERTAMA KALI DIPUBLIKASIKAN DI WWW.KOMPASIANA.COM COPASING DIIZINKAN DENGAN MENYERTAKAN URL LENGKAP POSTINGAN DI ATAS, ATAU DENGAN TIDAK MENGUBAH/MENGEDIT AMARAN INI.