Sabtu, 13 Agustus 2016

Kek

“Kek, beberapa jam lagi sangsaka akan dikibarkan!” seru Alif bersemangat, menunjuk ke arah lapangan terbuka.
“Iya, Nak,” Kakek Adam tersenyum, mengenang. “Bahkan gaungnya saja sudah terdengar, Nak!” mengelus kepala cucu sepuluh tahunnya itu.
“Kita ikutkan, Kek?”
Ahh… mata bening itu bersungguh-sungguh. Lagi-lagi kakek tersenyum senang, meski tiada lagi baris rapi gigi putih.
“Ayoo Kek, nanti kita terlambat!”  Alif menarik-narik tangan Kakek Adam.
“Sabar, Nak. Sabar,” lagi kakek mengelus kepala Alif. “Perjuangan butuh kesabaran. Jangan tergesa-gesa, Nak. Itu tidak baik!”
“Perjuangan, Kek?! Eeh…” Alif bingung. “Ta-pi kita, kan gak lagi berjuang, Kek.”
“Nak,” Kakek Adam menatap dalam mata yang bening. “Kakek sudah renta, lapangan itu cukup jauh, kita tidak memiliki kendaraan, satu-satunya yang kita miliki cuma sepeda kumbang karatan di belakang… bagi Kakek, kini berjalan ke lapangan itu adalah perjuangan, Nak.” Kakek kembali tersenyum, “Bagimu, menemani Kakek, menuntun Kakek ke sana juga perjuangan!”
Alif tertawa senang, karena sekarang ia tahu; aku pun berjuang.
*
“Kek, apa Kakek haus?”
Matahari bersinar terik, membara menyambut peringatan Hari Kemerdekaan. Kakek menggeleng, tersenyum. Kembali meneruskan perjalanan. Alif sangat bersemangat menuntun Kakek Adam.
“Kek, Ayah bilang… Kakek adalah pejuang.” Wajah Alif  memerah, bangga.
“Iya, Nak. Bersama Nenekmu,” senyum sang kakek dalam langkah yang perlahan. Kaki tuanya tak sekuat dulu lagi.
“Berarti… Kakek, Pahlawan doong, Kek?” Alif melompat senang.
“Ha-ha… kamu itu,” Kakek Adam geleng-geleng kepala. “Pahlawan atau pun pejuang, hanyalah sebutan. Gelar yang mereka sematkan di dada para pendahulu, Nak. Kamu tahu? Hmm… seperti pemain bulu tangkis, atau sepak bola, yaa… yang kamu sukai.”
“Tapi—“ Alif tertunduk sedih. “Ke-kenapa… Kakek gak dapat bunga?!” Alif menatap lesu wajah sang kakek. “Gak dapat piala kek pemain bola itu, Kek?!” Sang kakek tersenyum, menghela napas panjang. “Rumah aja da-dari anyaman bambu. Lantainya, cuman tanah. Atap jalinan ilalang, listrik juga gak masuk—Alif gak bisa nonton tipi, Kek! Kakek juga.” Alif berhenti, dan jongkok, merajuk dalam sedih.
“Nak!” ujar Kakek Adam. “Perjuangan itu bentuk lain dari keikhlasan!” Kakek tersenyum, membelai lembut kepala sang cucu. “Terlalu banyak kesedihan kami yang tersisih, Nak, bila harus diungkapkan.”
Kembali Kakek Adam mengajak Alif berdiri, dan melangkah menuju lapangan di ujung sana.
“Tapi-tapi… kenapa Kakek gak minta aja ma Pak Presiden, Kek?! Kata temen Alif, Presiden itu kaya. Banyak duit…”
Kake Adam tertawa halus mendengar penuturan sang cucu. “Tidak apa-apa, Nak. Begini saja sudah bagus, kok.”
“Padahal Kakek pejuang…” Alif masih saja bersedih.
“Nak. Kakek bukan lagi pejuang, itu dulu… Semua sudah usai, kan kita sudah merdeka. Makanya kita mau ikut upacara, kan?” Kakek Adam tersenyum lagi, namun Alif berdiam diri saja, cemberut.
“Mereka jahat sama Kakek!” gumam Alif setengah tak terdengar. “Duitnya banyak! Rumah tinggi-tinggi ada kolam berenang! Mobilnya bagus-bagus! Makannya pake daging, pake ayam terus! Kakek cuman makan nasi lembek, kangkung terus… urap terus! Katanya Kakek Pahlawan, katanya kita udah merdeka…”
Kembali Kakek Adam terkekeh, berhenti sejenak, jongkok di hadapan Alif.
“Nak,” mata teduh Kakek Adam mampu menghentikan laju kehangatan di mata bening Alif. “Tak ada alif yang tak bengkok.”
Alif bingung dengan ucapan sang kakek. Sepasang alisnya terangkat tinggi. Kakek Adam terkekeh melihat ekspresi Alif.
“Manusia tiada yang sempurna, Nak.” Kakek Adam memegang kedua bahu Alif. “Benar. Kita sudah merdeka. Kalau tidak, gak mungkin kita bisa jalan santai begini. Berhentilah mengutuk keadaan. Jika kamu besar nanti… buatlah perubahan.”
Alif mengangguk seolah berjanji. Kembali keduanya melangkah menyusuri jalanan di pagi hari itu.
“Pahlawan atau tidak, cukup kamu saja yang tahu,” sang kakek kedipkan sebelah matanya. Alif tersenyum. “Atau… kamu gak bangga ya, sama Kakek?”
“Bangga kok, Kek.” Alif memeluk. “Sangat bangga.”
“Kemerdekaan yang sejati itu—“ kakek menatap dalam pada Alif. “Ada di sini,” ujarnya menunjuk  dada. “Juga di sini,” tangan keriput beralih ke kepala.
“Maksud Kakek? Alif bingung, Kek…”
*
“…Hiduplah tanahku, hiduplah negeriku. Bangsaku, rakyatku, semuanya…
Bangunlah jiwanya, bangunlah badannya untuk Indonesia Raya.
Indonesia Raya merdeka… merdeka tanahku, negeriku, yang kucinta…”

“Kek, sangsaka udah hampir sampai di ujung tiang, Kek,” seru Alif bersemangat, lima jari tangan kanan tersusun rapat di samping pelipis dengan siku membentuk sudut empat puluh lima derajat.
“Ssstt...” sela Kakek Adam, “Jangan bicara! Dengarkan lagu itu sampai habis. Tegakkan badanmu, pentangkan tatapanmu, busungkan dadamu,” mata tua berkaca-kaca.
*
“Kek, tadi rame banget, ya,” langkah riang Alif menemani kakek Adam melangkah pulang, sehabis upacara bendera.
“Kamu senang?” Kakek Adam berusaha mengikuti laju langkah sang cucu.
“Iya, Kek,” Alif tersenyum. “Besok-besok, Alif ikut lagi ya, Kek. Boleh, kan?”
Kakek Adam tertawa lepas. “Tentu saja, Nak,” ia elus kepala Alif dengan segala kebanggaan. “Selagi darahmu masih merah, selagi garuda di dadamu, selagi merah-putih di pikiranmu… tentu saja, Nak. Tentu saja.”
Alif melompat-lompat kegirangan. Memainkan bendera kecil segitiga merah-putih di tangan kanan.
“Kek, Alif boleh ikut berjuang?” tanya Alif, tatapannya liar penuh semangat.
“Tentu saja, Nak,” kakek tertawa halus. “Perjuangan Kakek… mungkin sudah usai. Tapi, perjuangan yang sesungguhnya telah Kakek wariskan di pundakmu, Nak.”
“Haa…” lagi, Alif melonjak kegirangan. “Alif tahu, Kek. Alif tahu!”
Kakek Adam tertawa lepas, membimbing sang cucu, melangkah pulang ke rumah indah mereka. Yaa… mungkin kini ia masih sanggup menemani sang cucu mengikuti upacara bendera, meski hanya dari barisan paling belakang, terluar. Entah dengan tahun depan. Kerinduannya pada sang istri yang telah mendahului, sama besarnya dengan kerinduannya pada upacara tujuh belas Agustus tahun depan.
Rona mentari sedikit menguning, dikawal awan sedikit menghitam, memberikan kesejukan pada langkah Kakek Adam.

***

Cermin ini didedikasikan pada mereka yang mampu legowo diri meski mereka adalah pahlawan.

TULISAN INI ADALAH KARYA ANDO AJO, COPASING DIIZINKAN DENGAN MENYERTAKAN URL LENGKAP POSTINGAN DI ATAS, ATAU DENGAN TIDAK MENGUBAH/MENGEDIT AMARAN INI.
Ando Ajo, Depok - 13 Agustus 2016.
Sumber ilustrasi di sini

5 komentar: