“Iya, Nak,” Kakek Adam tersenyum, mengenang. “Bahkan gaungnya saja sudah terdengar, Nak!” mengelus kepala cucu sepuluh tahunnya itu.
“Kita ikutkan, Kek?”
Ahh… mata
bening itu bersungguh-sungguh. Lagi-lagi kakek tersenyum senang, meski tiada lagi
baris rapi gigi putih.
“Ayoo Kek, nanti kita terlambat!” Alif menarik-narik tangan Kakek Adam.
“Sabar, Nak. Sabar,” lagi kakek mengelus kepala Alif.
“Perjuangan butuh kesabaran. Jangan tergesa-gesa, Nak. Itu tidak baik!”
“Perjuangan, Kek?! Eeh…” Alif bingung. “Ta-pi kita, kan
gak lagi berjuang, Kek.”
“Nak,” Kakek Adam menatap dalam mata yang bening.
“Kakek sudah renta, lapangan itu cukup jauh, kita tidak memiliki kendaraan,
satu-satunya yang kita miliki cuma sepeda kumbang karatan di belakang… bagi
Kakek, kini berjalan ke lapangan itu adalah perjuangan, Nak.” Kakek kembali
tersenyum, “Bagimu, menemani Kakek, menuntun Kakek ke sana juga perjuangan!”
Alif tertawa senang, karena sekarang ia tahu; aku pun berjuang.
*
“Kek, apa Kakek haus?”
Matahari bersinar terik, membara menyambut peringatan
Hari Kemerdekaan. Kakek menggeleng, tersenyum. Kembali meneruskan perjalanan.
Alif sangat bersemangat menuntun Kakek Adam.
“Kek, Ayah bilang… Kakek adalah pejuang.” Wajah Alif memerah, bangga.
“Iya, Nak. Bersama Nenekmu,” senyum sang kakek dalam
langkah yang perlahan. Kaki tuanya tak sekuat dulu lagi.
“Berarti… Kakek, Pahlawan doong, Kek?” Alif melompat
senang.
“Ha-ha… kamu itu,” Kakek Adam geleng-geleng kepala.
“Pahlawan atau pun pejuang, hanyalah sebutan. Gelar yang mereka sematkan di
dada para pendahulu, Nak. Kamu tahu? Hmm… seperti pemain bulu tangkis, atau
sepak bola, yaa… yang kamu sukai.”
“Tapi—“ Alif tertunduk sedih. “Ke-kenapa… Kakek gak
dapat bunga?!” Alif menatap lesu wajah sang kakek. “Gak dapat piala kek pemain
bola itu, Kek?!” Sang kakek tersenyum, menghela napas panjang. “Rumah aja
da-dari anyaman bambu. Lantainya, cuman tanah. Atap jalinan ilalang, listrik
juga gak masuk—Alif gak bisa nonton tipi, Kek! Kakek juga.” Alif berhenti, dan jongkok,
merajuk dalam sedih.
“Nak!” ujar Kakek Adam. “Perjuangan itu bentuk lain
dari keikhlasan!” Kakek tersenyum, membelai lembut kepala sang cucu. “Terlalu
banyak kesedihan kami yang tersisih, Nak, bila harus diungkapkan.”
Kembali Kakek Adam mengajak Alif berdiri, dan
melangkah menuju lapangan di ujung sana.
“Tapi-tapi… kenapa Kakek gak minta aja ma Pak
Presiden, Kek?! Kata temen Alif, Presiden itu kaya. Banyak duit…”
Kake Adam tertawa halus mendengar penuturan sang cucu.
“Tidak apa-apa, Nak. Begini saja sudah bagus, kok.”
“Padahal Kakek pejuang…” Alif masih saja bersedih.
“Nak. Kakek bukan lagi pejuang, itu dulu… Semua sudah
usai, kan kita sudah merdeka. Makanya kita mau ikut upacara, kan?” Kakek Adam
tersenyum lagi, namun Alif berdiam diri saja, cemberut.
“Mereka jahat sama Kakek!” gumam Alif setengah tak
terdengar. “Duitnya banyak! Rumah tinggi-tinggi ada kolam berenang! Mobilnya
bagus-bagus! Makannya pake daging, pake ayam terus! Kakek cuman makan nasi
lembek, kangkung terus… urap terus! Katanya Kakek Pahlawan, katanya kita udah
merdeka…”
Kembali Kakek Adam terkekeh, berhenti sejenak, jongkok
di hadapan Alif.
“Nak,” mata teduh Kakek Adam mampu menghentikan laju
kehangatan di mata bening Alif. “Tak ada alif yang tak bengkok.”
Alif bingung dengan ucapan sang kakek. Sepasang
alisnya terangkat tinggi. Kakek Adam terkekeh melihat ekspresi Alif.
“Manusia tiada yang sempurna, Nak.” Kakek Adam memegang
kedua bahu Alif. “Benar. Kita sudah merdeka. Kalau tidak, gak mungkin kita bisa
jalan santai begini. Berhentilah mengutuk keadaan. Jika kamu besar nanti…
buatlah perubahan.”
Alif mengangguk seolah berjanji. Kembali keduanya
melangkah menyusuri jalanan di pagi hari itu.
“Pahlawan atau tidak, cukup kamu saja yang tahu,” sang
kakek kedipkan sebelah matanya. Alif tersenyum. “Atau… kamu gak bangga ya, sama
Kakek?”
“Bangga kok, Kek.” Alif memeluk. “Sangat bangga.”
“Kemerdekaan yang sejati itu—“ kakek menatap dalam
pada Alif. “Ada di sini,” ujarnya menunjuk dada. “Juga di sini,” tangan keriput beralih
ke kepala.
“Maksud Kakek? Alif bingung, Kek…”
*
“…Hiduplah tanahku, hiduplah negeriku. Bangsaku, rakyatku, semuanya…
Bangunlah jiwanya, bangunlah badannya untuk Indonesia Raya.
Indonesia Raya merdeka… merdeka tanahku, negeriku, yang kucinta…”
“Kek, sangsaka
udah hampir sampai di ujung tiang, Kek,” seru Alif bersemangat, lima jari
tangan kanan tersusun rapat di samping pelipis dengan siku membentuk sudut
empat puluh lima derajat.
“Ssstt...” sela Kakek Adam, “Jangan bicara! Dengarkan
lagu itu sampai habis. Tegakkan badanmu, pentangkan tatapanmu, busungkan
dadamu,” mata tua berkaca-kaca.
*
“Kek, tadi rame banget, ya,” langkah riang Alif menemani
kakek Adam melangkah pulang, sehabis upacara bendera.
“Kamu senang?” Kakek Adam berusaha mengikuti laju
langkah sang cucu.
“Iya, Kek,” Alif tersenyum. “Besok-besok, Alif ikut
lagi ya, Kek. Boleh, kan?”
Kakek Adam tertawa lepas. “Tentu saja, Nak,” ia elus kepala
Alif dengan segala kebanggaan. “Selagi darahmu masih merah, selagi garuda di
dadamu, selagi merah-putih di pikiranmu… tentu saja, Nak. Tentu saja.”
Alif melompat-lompat kegirangan. Memainkan bendera
kecil segitiga merah-putih di tangan kanan.
“Kek, Alif boleh ikut berjuang?” tanya Alif,
tatapannya liar penuh semangat.
“Tentu saja, Nak,” kakek tertawa halus. “Perjuangan
Kakek… mungkin sudah usai. Tapi, perjuangan yang sesungguhnya telah Kakek
wariskan di pundakmu, Nak.”
“Haa…” lagi, Alif melonjak kegirangan. “Alif tahu,
Kek. Alif tahu!”
Kakek Adam tertawa lepas, membimbing sang cucu,
melangkah pulang ke rumah indah
mereka. Yaa… mungkin kini ia masih sanggup menemani sang cucu mengikuti upacara
bendera, meski hanya dari barisan paling belakang, terluar. Entah dengan tahun
depan. Kerinduannya pada sang istri yang telah mendahului, sama besarnya dengan
kerinduannya pada upacara tujuh belas Agustus tahun depan.
Rona mentari sedikit menguning, dikawal awan sedikit
menghitam, memberikan kesejukan pada langkah Kakek Adam.
***
Cermin ini didedikasikan pada mereka yang mampu legowo
diri meski mereka adalah pahlawan.
TULISAN INI
ADALAH KARYA ANDO AJO, COPASING DIIZINKAN DENGAN MENYERTAKAN URL LENGKAP
POSTINGAN DI ATAS, ATAU DENGAN TIDAK MENGUBAH/MENGEDIT AMARAN INI.
Ando Ajo, Depok - 13 Agustus 2016.
Keren... banget...
BalasHapusLagunya itu yang buat asyik scroll sambil baca bang..mantapppp.. :)
BalasHapusManstaf :)
BalasHapusManstaf :)
BalasHapusMannttaapps Bang
BalasHapus