Kamis, 19 November 2015

Member FC - Kite Lagi Liburan [Chapter 1,2,3]


Chapter 1

Persahabatan

Rahab, seorang pebisnis muda yang lumayan sukses. Namun sepertinya kesuksesan itu tidak mendatangkan ketenangan ataupun kesenangan. Itu jelas terbayang di wajahnya, mungkin juga dikarenakan ia masih jomblo a.k.a belum punya pendamping yang menjadi penyebab atas kemuraman hidupnya belakangan ini. Padahal Rahab termasuk dalam kategori cowok kece, mapan dan hal-hal lain yang semestinya menarik perhatian – paling tidak – bagi kaum hawa. Tapi itu tadi, tidak tahu di mana yang salah. Seperti sebatang kelapa yang tumbuh sendiri di tengah-tengah pulau kecil, mungkin seperti itulah gambaran perasaannya.

Siang ini Rahab sedang berada di kantornya, duduk setengah melamun menghadap jendela kantor, seolah menerawang jauh menembus kaca jendela, entah apa yang tengah ia pikirkan.

Lamunannya buyar saat ponsel di atas meja berdering cukup kencang. Ia memutar duduknya kembali menghadap meja, meraih ponsel tersebut. Pada layar ponsel tertera nama salah seorang sahabatnya.

“Ya?” sahut Rahab menjawab panggilan.

“Ehh, lo jadi ikut kagak?!”

“Iye jadi!”

“Buruaaan, ni yang laen dah pada ngumpul,”

“Iye… sabar napa, Yut?” balas Rahab sedikit sewot.

Rahab bergegas meraih tas kopernya, sementara ponsel ia taruh di atas bahu kiri dan dijepit dengan kuping. Kemudian melangkah meninggalkan ruangan itu.

“Si sabar dah mati ketabrak bajaj,”

“Itu, Pak Sabar, pe-ak!” Rahab tersenyum geli menanggapi candaan itu.

“Ha-ha, udah buruan, kalo gak cepet-cepet lo bakal kite tinggal,”

“Iye… bawal amat sih, lo,”

Rahab menarik handle pintu dan melangkah ke luar, pintu kembali tertutup. Sepanjang jalan itu setiap orang yang berpapasan dengannya memberi salam dengan mengganggukan kepala. Wajar juga, soalnya mereka kan karyawannya dan si Rahab adalah boss mereka.

“Eeiii, itu bawel, bawel. Bawal mah di warteg, keleusss…” sahut suara disambungan itu setengah berteriak.

“Hahahha,” Rahab tertawa lepas, sepertinya jika bersama sahabat-sahabat karibnya saja lah kegembiraan itu muncul. “Ya udah, ampe ketemu di sono,” ujar Rahab lagi mengakhiri percakapan.

“Oke, bye,”

Di depan ada lift, kebetulan sekali pintunya bergerak membuka dan sepertinya akan bergerak menuju lantai bawah. Buru-buru Rahab memasuki lift tersebut.

“Ehh, tahan, tahan,”
Rahab berhasil masuk ke dalam lift dan pintu lift kembali menutup.

Pintu lift lantai dasar itu bergerak membuka, sejumlah orang keluar dari dalam lift, termasuk Rahab, setengah berlari ia menuju pintu depan dari lobi utama gedung perkantoran tersebut. Ia menoleh ke kiri-kanan, seperti tengah mencari-cari sesuatu atau seseorang.

“Pak Rahab,” sapa sebuah suara.

Rahab menoleh ke kanan, ke asal suara barusan, ahh itu dia orang yang ia cari. Seorang pria dengan pakaian seperti seorang sopir pribadi, biru dongker.

“Pak Asep, anterin saya ke pelabuhan,” pinta Rahab pada sopir pribadinya itu.

“Oke Pak, pelabuhan yang itu, kan?” tanya sang sopir lagi, sepertinya sang sopir sudah tahu pelabuhan yang mana yang akan mereka tuju.

“Ho-oh, yok buruan,”

Keduanya bergegas masuk ke dalam mobil. Bedanya kalo Rahab berada di bangku belakang, yaa tentunya Asep berada di depan di belakang kemudi, kalau tidak begitu mobil ya gak jalan-jalan hehe.

***

Di sebuah pelabuhan pribadi, di Jakarta Utara.

“Ra-Rahab lama banget, sih?” Lipul menggerutu, ia coba memandang ke ujung jalan yang menjauh dari pinggir pantai.

“Biasa—“ timpal Conni. “—Orang sibuk,” entah wanita ini memuji atau pun menyindir dengan gaya bahasanya itu barusan. Sepertinya Conni sedikit kepanasan, kipas di tangan tak henti-henti ia gerakkan.

“Udah, daripada ntar keteter,” ujar Erri. “Mending ni semua bawaan kite angkut ke kapal,” nasihatnya bijak.

“Ya udeh,” balas Buyut. “Yok ahh,” Buyut berpaling pada Conni dan Lipul.

Saat ini keempat orang yang bersahabat baik itu tengah berada di sebuah dermaga kecil—katakanlah seperti itu, sebab hanya terdiri dari sebuah bangunan kecil yang mirip pendopo dengan jembatan dari balok-balok tebal sepanjang 20 meter menjorok ke arah laut. Pas di ujung jembatan telah menunggu sebuah kapal pesiar kecil, yaa sebut saja yacht. Berwarna putih bersih, lumayan besar, mungkin, kira-kira, sepanjang 18 meter.

Keempat orang ini memutuskan untuk mengangkut semua barang bawaan mereka menuju kapal. Conni sepertinya sedikit kepayahan, maklum, kan wanita. Lipul melihat itu, sepertinya ini kesempatan baik, begitu pikir pria ini.

“Si-sini, Ipul ba-bawain,” ujarnya menawarkan diri. Padahal dia sendiri sudah kepayahan dengan dua tas besar yang ia jinjing.

“Mang, kuat?” Conni balik bertanya, dia sendiri bisa melihat jika Lipul juga kepayahan. Lipul hanya mengangguk tersenyum. “Gak apa-apa nih?” Conni tersenyum menggoda.

“Iye, gak-gak apa-apa,” Lipul seolah-olah melihat seorang bidadari tersenyum kepadanya, ahh malah seperti ada banyak kilauan di wajah itu.

Demi cinta apa pun bakal Ipul lakukan, jangankan mengangkat koper dan tas besar, berenang sembari menggendong Connel pun, Ipul lakukan, membawa Connel menyebrang ke pulau cinta.

Ha-ha konyol juga nih si Lipul, namun ya itulah namanya cinta, segala cara bakal dijabani demi menaklukan hati sang pujaan. Ekhemm, tapi itu semua cuma bergema dalam dada si Lipul saja, soalnya cowok yang satu ini pun rada susah untuk mengungkapkan secara langsung. Bisa keringet dingin dia, kurang-lebih seperti itulah yang selalu diucapkan Buyut saat mentertawainya.

“Huu…” sindir Erri sambil berlalu.

“Kejengkang, baru nyahok,” Buyut menimpali, dan lantas tertawa sama halnya dengan si Erri.

“Bi-bi-bi-bi…” Lipul tergagap, (eeh, dapat peran gagap ya, he-he). Payah juga nih si Lipul, kalau sudah dag-dig-dug tuh jantung, gagapnya kian parah saja.

“Bi—bir lo monyooong,” Buyut tertawa lebih kencang.

“Bi—biari, mas-bu-loh?” Lipul cemberut, perjuangan cintanya seperti mendapat terpaan badai. (Alamak lebay nian dikau, Pul)

Seseorang di atas kapal segera melompat ke atas jembatan, mungkin bermaksud ingin menolong empat orang yang menyusuri jembatan itu. Ada dua orang sebelumnya yang ada di atas kapal, satu pemuda yang baru saja jejakan kaki di atas jembatan, satu lagi yang bertindak sebagai nahkoda.

“Sini, saya bantuin, Mbak, Mas,” tawarnya pada keempat orang itu sembari tersenyum berkilau.
(Ahh, itu-mah bukan tersenyum tapi memang bentuk tuh mulut yang memaksa barisan gigi atasnya sedikit nyembul, gubraakh...)

Erri hanya tersenyum dan melewati pemuda itu, menolak halus tawaran itu. Tanpa menunggu aba-aba, Erri langsung naik ke atas kapal, ia segera dibantu oleh seorang pemuda lagi yang bertindak sebagai nakhoda tadi.

“Eeh,” Buyut  memandang pada pemuda yang tadi menawarkan bantuan. “Bantuin yang ono aja noh,” ujarnya lagi sembari terus tertawa memandang ke belakang, kemudian geleng-gelengkan kepala.

Buyut menyusul Erri menaiki kapal, pun dengan dibantu oleh si nakhoda, kemudian disusul pula oleh Conni, sedangkan Lipul masih tertinggal di belakang. Sesaat menginjakan kaki di deck kapal, Conni melihat sebuah mobil meluncur mendekati dermaga.

“Nah, itu keknya si Rahab tuh,” Conni menunjuk mobil di ujung sana.

Erri dan Buyut sama memandang ke jurusan yang ditunjukkan Conni. Benar juga, itu memang Rahab sahabat mereka.

“Datang juga tuh burung celepuk,” Buyut tertawa kecil.

“Woii…” teriak si Erri, memanggil. Rahab palingkan wajah memandang pada Erri di atas yacht. “Buruan… Kalo gak ditinggal…”

Sementara itu sepertinya si Lipul tengah berbincang dengan pemuda di dekatnya itu, padahal kalau dilihat baik-baik sebenarnya malah berdebat.

“Nn—nah, jadi se-sebetulnya e-elu yang kudu ba-bawa nih bar-barang,” Lipul berkacak pinggang. “Nih, lu-lu bawa deh semua,”

Barang bawaan yang tadi ia bopong sendiri di taruh di depan pemuda itu, dan seterusnya Lipul setengah berlari meninggalkan pemuda itu sendiri dengan barang-barang tersebut. He-he, sepertinya ucapan yang terbesit di dalam hati si Lipul tadi menguap entah kemana. Yaa, tentang berenang sambil menggendong itu.

Si pemuda melongo memandang tumpukan tas tersebut. Satu koper berukuran besar adalah milik Conni, dan dua tas punggung yang juga lumayan besar adalah milik Lipul, entah apa isi di dalam ketiga tas tersebut, yang jelas terlihat cukup berat pastinya.

(Haha, si Lipul memang keterlaluan. Bukan apa-apa, masalahnya tuh pemuda badannya kurus ceking gitu, masak dikasi barang bawaan yang gak kira-kira beratnya, payah… kacau nih si Lipul ‘sang pencari cinta’)

Mau tidak mau, terpaksa juga si pemuda kurus ini mengangkat itu semua. Pemuda itu memang ceking, tinggi dan berkulit agak gelap. Salah dia juga sih, kenapa tadi pake ngasih tawaran segala.

(Ekhem, yaah namanya juga manusia, kan mesti saling tolong-menggolong, eehh maap salah, tolong-menolong maksudnya)

“Aseem…” keluh pemuda itu sembari menepuk jidat. “Salah gue,”


“Pak Asep,” Rahab terlihat tergesa-gesa mengeluarkan tas punggung berukuran sedang dari bangku belakang mobil. Pakaian yang ia kenakan masih sama saat meninggalkan kantor tadi. “Saya mungkin libur tiga harian,”

“Ya, Pak,” sahut Pak Asep tanpa turun dari mobil.

“Jadi, selama itu mobil sama Bapak saja, oke,” ujar Rahab lagi. “Sekalian, ntar koper yang di belakang antar ke rumah, tolong ya Pak,”

“Siap, Pak,” sahut Asep lagi.

“Oke, Pak Asep, saya tinggal,” ujar Rahab kemudian berlalu dari sana.

“Baik Pak,” jawab sang sopir.

Rahab berlari menyusuri jembatan kayu itu mengejar sahabat-sahabatnya yang telah berada di atas kapal. Sementara itu mobil yang tadi mengantarkannya bergerak meninggalkan sisi dermaga, sebentar saja telah menghilang di ujung jalan.

Rahab terus berlari, begitu telah berada dekat dengan kapal tersebut ia langsung saja melemparkan tas punggung begitu saja ke atas kapal, dan segera melompat naik. Dua tangannya sama disambut oleh Erri dan Buyut, nyaris berbarengan.

Namun ada yang lucu, tas punggung yang tadi dilemparkan oleh si Rahab justru mengenai punggung si pemuda ceking yang sedang menata sejumlah tas dan koper lainnya. Tak ayal lagi si pemuda terjengkang bergedebukkan ke atas tumpukan tas dan koper. Haha ada-ada saja, padahal kan tadi dia sudah bersusah payah menaikan barang bawaan si Lipul ke atas kapal, terus kerepotan menyusun tas dan koper milik orang-orang itu, malah sekarang jadi berantakan lagi.

Kelima sahabat itu bukannya menolong si pemuda yang terjengkang barusan, tapi malah tertawa ngakak. Terdengar bunyi mesin kapal menderu.

“Ouh sorry, sorry gue gak lihat,” kata Rahab setelah puas tertawa, mungkin sedikit merasa bersalah pada pemuda itu.

“Oii, Ndar,” sahut si nakhoda pada pemuda yang meringis. “Yang betul ajalah kerja kau itu, jangan sampai kupecat pulak kau,” ternyata si nakhoda itu berlogat Batak, apa karena dia orang Batak kali ya, he-he. “Lepaskan dulu tali kapal tu, terus jangan lupa pulak kau naikan dapra-nya,”

“I-iya Bang,” jawab si ceking.

Si pemuda segera bangkit dan langsung melepaskan ikatan tali kapal yang terhubung ke salah satu tiang pancang di sisi jembatan kayu tersebut, kemudian menaikan sejumlah buntalan karet pelampung yang mirip bantal-guling alias dapra itu ke atas kapal.

“Orang Bataknya kau, lae?” tanya Rahab pada sang nakhoda.

“Bukan, Bang,” jawab si nakhoda tidak mengaku, padahal jelas-jelas logat dan aksen dia bicara menunjukan kalau dia adalah orang Batak. “Aku orang Barat, Bang,”

“Barat dari mananya?” protes Rahab tidak percaya.

“Iya, Bang. Batak Rantau, maksud aku, Bang, he-he” si nakhoda tersenyum polos.

“Bahh, sama saja itu bengaaak…” gerutu Rahab.

Semua orang yang ada di atas kapal itu tertawa lepas menanggapi candaan sang nahkoda muda dengan si Rahab barusan.

“Ise goar-mu?” tanya Rahab kemudian. (Siapa nama kamu?)

“Fahmi, Bang,” pemuda Batak itu tersenyum.

“Nah, Fahmi,” ujar Rahab lagi. “Berangkat…” perintahnya dengan lantang.

“Siap Kapten,” sahut si Fahmi bersemangat.

Bersamaan dengan teriakan kedua orang itu, serempak yang lainnya juga ikutan berteriak senang. Sang nakhoda memacu kapal menuju ke tengah lautan. Ahh, desiran angin laut menerpa wajah dan tubuh semua orang, tidak terasa menusuk, lebih pada memberikan rasa senang dan ketenangan yang luar biasa, damai.

Laut terlihat sangat indah memantulkan kilauan cahaya mentari seumpama jutaan berlian di permukaan, langit juga terlihat sangat cerah di siang menjelang sore itu. Terang membiru dengan sejumlah potongan awan di sana-sini, ahh benar-benar indah negeri ini.

***

Chapter 2

Pulau Seribu, Kite Dateng...


Sekitar jam delapan malam, yacht berwarna putih itu terlihat menyusuri laut malam dengan kecepatan sedang. Sang nakhoda cukup ahli mengemudikan alat transportasi pribadi itu, di belakangnya, sedikit agak ke bawah, si pemuda ceking tengah asik menyantap makanan, posisinya duduk membelakangi sang nakhoda, duduk menjeplok begitu saja di geladak kapal.

Erri, Rahab, dan Buyut berada di bagian depan kapal, duduk-duduk santai menikmati minuman ringan di tangan masing-masing, tentu saja juga menikmati langit malam yang luar biasa indah dengan kerlip jutaan bintang di angkasa. Sedangkan Lipul dan Conni tengah berdiri lebih ke depan lagi di haluan kapal, sepertinya mereka berdua tengah membicarakan sesuatu.

“Beuhh, lihat noh si gagap,” ujar Rahab. Ketiga orang itu sama tertawa dan geleng-geleng kepala.

“Gak pernah menyerah tuh orang kali, ya?” Erri tersenyum geli.

“Suruh ke dukun aja kali,” sambung Rahab lagi.

“Hahaha,” Buyut menimpali. “Cinta ditolak, dukun bertinda. Cinta tak kenak, dukun diinjak-injak,”

Rahab dan Erri kembali tertawa mendengar ocehan sahabat mereka yang satu itu. Di depan mereka, sepertinya Lipul dan Conni tidak mendengar percakapan ketiga orang di belakang mereka tersebut. Atau, mungkin mereka memang mendengar tapi memilih untuk tidak menghiraukan, acuh tak acuh saja.

“Co-Connel,” Lipul memanggil Conni dengan panggilan manjanya. “Ka-kalo gin-gini, kek di tipi-tipi, ya?”

“Masak?” balas Conni bertanya sembari tersipu malu-malu.

“I-iye,” Lipul bergerak ke belakang Conni.

Ia mengambil posisi berdiri pas di belakang sosok Conni, dua tangan Conni ia genggam dengan kedua tangannya, kemudian sama merentangkan tangan itu ke samping, sejajar dengan kedua bahu. Conni membiarkan saja Lipul melakukan itu semua.

Angin laut yang sedikit kencang menyapu wajah mereka, Conni merasa terbang dengan sikap badan seperti itu, ia memejamkan mata. Sementara Lipul tersenyum memandang jauh ke ujung sana, entah apa yang sekarang ia rasakan.

“Wuidiihh…” seru Buyut menahan ketawa memandang pada kelakuan Lipul. “Lihat tuh, si lancar,”

Kembali Erri dan Rahab tertawa menanggapi semua itu, ada-ada saja nih si pencari cinta kelakuannya.

“Mi-mirip, kan?” tanya Lipul lagi pada Conni. “Ti-ti-ti…”

“Tii—tanus…” teriak Erri menyambung ucapan tebata-bata si Lipul.

“Titanus!? Tii—titanic,” balas Lipul sewot.

Kembali ketiga orang di belakang Lipul itu tertawa menahan geli, sementara Conni tersipu-sipu. Lipul ngomel panjang-pendek. Di ujung penglihatan Lipul dan Conni (lebih tepatnya sih searah tujuan kapal, he-he...) kerlipan dari lampu-lampu penerangan sebuah dermaga mulai terlihat.


Tidak sampai lima belas menit kemudian kapal itu merapat ke sebuah dermaga yang cukup besar dan terlihat indah dengan tatanan cahaya lampu sedemikian rupa. Sepertinya mereka telah sampai ke tempat tujuan. Dengan sigap si ceking yang sudah memegang tali kapal melemparkan tali tersebut pada seseorang yang berada di atas jembatan dermaga, orang tersebut menyambut tali itu dan segera mengikatkannya pada sebuah tiang pendek yang lebih mirip tonjolan tunggul.

Si pemuda ceking bergegas menurunkan sejumlah dapra, meredam benturan sisi kapal dengan dinding jembatan. Sesaat berikutnya setelah kapal tepat pada posisinya sang nakhoda mematikan mesin, dan terlihat ia ikut membantu rekannya yang ceking itu menurunkan sejumlah barang yang tadi dibawa oleh Erri, Rahab, Conni, Lipul dan Buyut.

Dengan hati-hati mereka melangkah, berpindah dari kapal ke atas jembatan dermaga. Setelah semua berada di atas jembatan termasuk semua tas dan koper, Conni merentangkan kedua tangannya seperti seseorang yang baru bangun tidur, menggeliat beberapa kali melepas pegal dan lelah.

“Pulau Seribu, kita datang…” ujarnya setengah lantang entah pada siapa sembari tersenyum.

“Eeh, Fahmi,” panggil Erri pada nakhoda yang sedang mendorong troli.

“Ya, Bang?”

“Gimana villa-nya? Udah dipesen?” tanya si Erri lagi.

“Sudah Bang, nantik Abang ikuti aku saja,” jawab Fahmi sembari menaikkan tas dan koper ke atas troli, menyusun sedemikian rupa dibantu oleh si ceking.

“Buruan yok, gue capek banget nih, pengen selonjoran,” ujar Rahab.

“Gue juga, pengen tidur,” timpal Conni.

“Besok baru menjelajah,” Buyut ikut menimpali.

“Ya udah, ayoo,” ajak Erri.

Mereka berjalan beriringan, mengikuti langkah si Fahmi yang dengan santai mendorong troli meski di atasnya bertumpuk tas dan koper. Di bagian paling belakang dari barisan itu si ceking menarik sebuah koper lagi. Kali ini ia cukup beruntung, soalnya tuh koper sudah ada rodanya dan jalanan kali ini cukup mulus, jadi ya tinggal tarik saja pada pegangan koper tersebut. Coba bayangkan jika si ceking harus menjinjing atau pun mengangkat koper besar itu, walah-walah… bisa-bisa kerepotan deh pastinya.

Dermaga itu terlihat cukup ramai, mungkin karena memang kawasan Kepulauan Seribu ini adalah kawasan pariwisata sehingga keadaannya jadi lebih ramai, meski malam hari sekalipun. Tidak saja turis lokal namun juga sejumlah turis manca negara hadir di sana, ada yang tengah berjalan santai dengan pasangannya, ada yang mengambil gambar dengan berbagai kamera dari satu sudut ke sudut lainnya. Ada juga yang tengah asik bercakap-cakap sambil duduk menikmati minuman di bawah-bawah payung besar sebuah kafe, ada juga yang tengah bersantap seorang diri--Nah, kalo nyang ini pasti karena jomblo haha…

Ahh, memang indah negeriku ini (Oops, napa gue yang ngerasa, pan nih cerita tentang tuh lima orang sahabat, hadeuuhh… maaf-maaf)

Tidak berapa lama mereka berjalan menyusuri jalanan yang sudah dibuat lebih baik itu, mereka pun sampai di depan sebuah bangunan yang lumayan indah tidak terlalu besar, hanya villa berukuran sedang. Ada seorang pria berpakaian tradisional dan terlihat sopan di sana telah menunggu kedatangan mereka. Begitu mereka berhadapan dengan pria tersebut, pria itu membungkukkan sedikit badan tanda menyapa, sopan sekali.

“Malam, Bapak, Ibu,” sapanya. “Silakan,” ujarnya lagi sembari membukakan pintu masuk villa tersebut. “Ini, Pak, kuncinya,” pria itu menyerahkan kunci pada Erri yang kebetulan berada paling dekat dengan dirinya. Erri menyambut kunci tersebut. “Selamat beristirahat, dan selamat datang di Pulau Pramuka, semoga bisa melepas lelah,”

“Terima kasih,” ujar kelima sahabat itu hampir berbarengan.

Sementara si pria yang berpakaian tradisional berjalan meninggalkan villa tersebut, Erri, Rahab, Conni, Lipul dan Buyut melangkah memasuki ruangan. Ruangan itu cukup luas dengan tatanan furnitur yang apik, tersusun sedemikian rupa sehingga ruangan itu terlihat dan terasa cukup indah menenangkan. Terdapat beberapa kamar, namun Conni lebih memilih merebahkan tubuhnya di atas sofa panjang, sepertinya ia benar-benar kecapaian. Sementara Buyut terlihat terburu-buru, masuk dari ruang yang satu ke ruang yang lain, entah apa juga yang dia cari.

“Lu ngapain sih, Yut?” tanya Erri kesal melihat tingkah Buyut itu. “Grasak-grusuk kek kucing mo kawin aja lu,”

“Gue bukannya mo kawin,” ujar Buyut membela diri. “Tapi mo buang hajat,”

“Oncom…!” sungut Erri.

“Pe-ak…!” timpal Rahab. “Lu gak lihat tuh,” ujarnya lagi sambil menunjuk ke sudut kiri dari posisinya duduk.

“He-he-he…” Buyut menyengir persis kuda hanyut.

Sementara mereka beristirahat (yaa kecuali si Buyut sih, hehe...) Fahmi dan temannya sibuk memasukkan tas dan koper ke dalam ruangan. Dan ditempatkan di sisi kanan ruangan itu.

“Eeh, Lae,” panggil Rahab.

“Ya, Bang?”

“Kau tidur di kapal, ya?”

“Iya, Bang. Memangnya kenapa?” jawab Fahmi balik bertanya. “Boleh kami tidur di sini, Bang?” Fahmi tersenyum berharap.

“Ya, sudahlah,” ujar Rahab mengizinkan, kasihan juga jika harus tidur di kapal, kedinginan pastinya.

“Si Nandar juga ya, Bang, he-he.”

“Haa, lantak kau lah,” jawab Rahab menggunakan logat yang sama dengan si Fahmi.

“Siaap, Komandan,”

Sepertinya Rahab juga sangat kelelahan, sehingga dengan cepat ia pun tertidur di atas sofa. Parahnya lagi, ia justru tertidur saling bersandar dengan si Erri yang telah lebih dulu pulas, sedangkan si Lipul ngejeplak begitu aja di lantai, untungnya lantai itu berlapis ambal yang lumayan tebal dan empuk, tidur sembari memeluk beberapa tas ukuran sedang.


“Ahh, lega juga akhirnya,” gumam Buyut senang.

Ia baru saja keluar dari kamar mandi, namun keningnya berkerut sedemikian rupa demi menyaksikan teman-temannya telah tertidur. Namun yang membuat pria ini terheran bukan karena ia telah ditinggal tidur, tapi cara tidur keempat rekannya itu yang emang rada konyol. Saat itu Buyut melihat si Fahmi dan si ceking Nandar akan keluar dari ruangan.

“Hehh, mo kemane kalian?” tanyanya penasaran.

“Ini, Bang, kami mau mengecek keadaan kapal dulu,” jawab Fahmi. “Sekalian, mau nitip kapal sama orang-orang yang jaga pelabuhan,”

“Hoo… Ehh, tapi gak bahaya tuh?”

“Tidak lah, Bang, asal ada…” Fahmi menjawab sembari jari telunjuk dan jempol kanan saling digesek-gesekan. “Lagian, aku kenal mereka semua, he-he,”

“Ooh, ya udah,” sahut si Buyut lagi. “Tapi, ntar lo-lo pada masuk lewat pintu samping, oke?”

“Baah, kok bisa kek gitu pulak Bang?” tanya Fahmi kurang mengerti.

“Alaaah, ikutin kata gue aja,” jawab si Buyut. “Gue mau, heu-heu-heu,”

Mimik wajah dan gerakan tubuh si Buyut mengisyaratkan pada kedua orang itu jika dia akan melakukan sesuatu pada keempat temannya yang telah tertidur pulas. Sepertinya pria Batak dan si ceking itu mengerti dengan isyarat tersebut.

“Oke lah, Bang,” sahut Fahmi tersenyum. “Tapi jangan aku pulak yang Abang jadikan kambing hitam nantik. Kalau kepepet, nahh… boleh lah Abang salahkan si Nandar,”

“Enak aje lo…!” protes Nandar.

“Jiaah, dia mah bukan kambing hitam,” ujar Buyut. “Kambing congek, cocok tuh,”

Sementara dua yang lain tertawa senang, si Nandar menggerutu panjang-pendek, entah apa yang ia ucapkan, hanya Tuhan dan dia saja yang tahu pastinya.

“Sssttt…” Buyut coba menghentikan tawa si Fahmi. “Jangan ampe mereka kebangun,” berbisiknya. “Udah, buruan sono,”

“Oke-oke, Bang,” jawab Fahmi pun dengan berbisik.

Begitu Fahmi dan Nandar keluar dari ruangan, segera saja Buyut menutup pintu masuk itu kembali dan menguncinya dari dalam. Kemudian ia berpaling pada keempat rekannya yang sudah terbang entah ke mana.

Buyut tersenyum ganjil, malah terlihat angker. Bahhh, parah juga nih si Buyut, pasti dia akan melakukan sesuatu yang heboh nantinya. Lihat seringainya yang menakutkan, bahkan, sepasang tanduk tumbuh di celah rambut, gilaa… bisa-bisanya sepasang sayap kalong ikut-ikutan tumbuh di punggung. Alamaaaak, makin kacau aja dengan tumbuhnya ekor dengan ujung mirip mata anak panah. Ia menyeringai angker.

He-he-he…

***

Chapter 3

The Gang In Action


Conni terbangun dari tidurnya, ia meregangkan tubuh sedemikian rupa, rambutnya kusut tak keruan menutupi wajah. Ia merasa harus segera ke kamar mandi. Terburu-buru, Conni melangkah ke kamar mandi, ia tidak sempat memerhatikan rekannya yang lain di sana.

“Waaa…!!!”

Erri, Rahab, dan Lipul sama tersentak bangun, kaget mendengar suara teriakan kencang, sepertinya suara teriakan itu berasal dari kamar mandi. Serentak ketiga orang ini bergegas menuju kamar mandi, mereka tidak sempat memerhatikan satu sama lain alih-alih keadaan diri sendiri.

Di dalam kamar mandi Conni terpaku ketakutan menatap cermin (sebenarnya sih memandang pada wajahnya sendiri di cermin itu), melongo, mulut terbuka lebar. Saat itulah Erri, Rahab dan Lipul juga telah berada di dalam kamar mandi yang lumayan besar itu.

“Waaa…!!!”

Conni kembali berteriak, kaget ada takut juga ada, memandang ketiga rekannya itu.

“Waaa…!!!”

Tidak kalah lantangnya Erri, Rahab, dan Lipul juga sama kagetnya memandang Conni, hampir berbarengan.

Ternyata wajah mereka sama-sama tidak berbentuk, terdapat banyak coretan menggunakan alat-alat kosmetik. Pantas saja mereka semua jadi kaget setengah mati gitu, wong muka semuanya mirip-mirip zombie, ha-ha. Apalagi rambut mereka juga kusut-masai begitu.

“Waaa…!!!” Kembali Erri, Rahab, dan Lipul berteriak histeris saat menatap wajah masing-masing lewat pantulan cermin kamar mandi.

“Berengsek…!” dengus Rahab. “Ni pasti kerjaannya si pesek nih,”

“Kite harus bales tuh si mancung…!” usul Erri sembari mengusap-usap dadanya yang bergemuruh.

Tiga yang lain sama mengangguk setuju, soalnya cuman tuh orang saja yang tidak nongol dan lagian mereka berempat sama dikerjain begini, sudah pasti begitu, memangnya siapa lagi yang jahil selain mereka berempat?


Fahmi tersentak bangun dari tidurnya, sepertinya ia mendengar suara-suara teriakan di pagi hari itu. Ia memandang ke samping, si Nandar tampaknya tidak terpengaruh suara-suara bising tadi, masih pulas tertidur malahan setengah ngorok.

“Hoii, Ndar,” Fahmi berusaha membangunkan Nandar. “Woii, bangun bengak…!”

“Hmm, apaan, Bang?” tanya Nandar dengan mata setengah terpejam.

“Keknya ada yang teriak, coba kita tengok dulu,” ajak Fahmi lagi.


“Waaa…!!!”

Sesampai di kamar mandi, Fahmi dan Nandar sama kaget setengah mati memandang pada Erri, Rahab, Conni, dan Lipul yang wajah mereka mirip zombie.

Namun setelah mereka menyadari kalau itu semua hanyalah dandanan konyol, pria Batak dan si ceking malah tertawa terpingkal-pingkal. Hmm, sepertinya pagi ini bisa dilewati dengan keceriaan.

***

Sekitar pukul tujuh pagi.

Erri, Rahab, Conni, dan Lipul terlihat tengah berlari-lari pagi di sekitaran villa tersebut. Sementara itu Fahmi dan si Nandar tengah menuju dermaga, bermaksud hendak melihat keadaan yacht mereka.

Rahab berlari paling depan, di belakangnya Erri tengah berhenti sejenak terbungkuk-bungkuk berusaha mengontrol pernapasannya yang terdengar tersengal-sengal.

“Ri,” sahut Rahab sedikit kencang, sembari berlari di tempat. “Buruan,”

“Sabar oncom,” balas Erri bersungut-sungut. “Atur napas dulu, neh…”

Rahab terkekeh menatap rekannya yang satu itu. He-he.., dasar dah tua, begitu pikir si Rahab.

Sementara itu, jauh di belakang si Erri, Rahab bisa melihat Conni berjalan santai ditemani si Lipul. Kembali Rahab tersenyum geli sambil menggeleng-gelengkan kepala, entah apa yang ia pikirkan.

Selain mereka berempat, di sana juga banyak orang-orang yang juga tengah ber-jogging ria, sebagian ada yang sedang duduk-duduk santai di bangku-bangku panjang yang banyak terdapat di sepanjang jalan itu, tertata apik di taman-taman di antara kerimbunan tanaman bunga beraneka warna dan ragam.

Ada segerombolan cewek-cewek cantik dan sedikit sexy dengan pakaian olahraga mereka. Mereka berlari santai mendahului Conni dan Lipul. Seperti biasanya, Lipul akan selalu tergoda memandang pada bidadari-bidadari seperti mereka itu. Lipul tersenyum ganjen, sementara beberapa orang cewek yang tengah berlari santai tersebut tertawa kecil menanggapi tingkah si Lipul.

Conni sedikit kesal dengan tingkah ganjen si Lipul, jadi dia memutuskan untuk melangkah lebih cepat meninggalkan si Lipul yang masih terpesona pada bidadari-bidadari itu. Ia mendengus kesal, sewot memonyongkan mulut, menggerutu tidak keruan.

“Ha—haii,” sapa Lipul pada gadis-gadis tersebut, dan hanya ditanggapi dengan senyum menggoda oleh para gadis, sebagian ada yang menahan tawa.

Doeeng…

Gubraaakh

Gara-gara asyik melihat para bidadari tersebut, Lipul tidak menyadari bahwasanya di depan ada sebuah palang bulat berwarna merah dengan gambar sebuah mobil dan motor yang disilang; Dilarang Menggunakan Kendaran Bermotor Di Area Ini. Dan akibatnya, Lipul melenguh pendek saat jidatnya membentur palang tersebut.

Lipul terjengkang ke belakang, dua tangan sama memegangi kening yang terasa panas dan benjut, dua kaki sama tertekuk ke atas. Lucu juga melihat pose si Lipul yang jatuh terjengkang itu.

“Rasain...!” sahut Conni menyeringai. “Jalan tuh lihat depan, rak usah jelalatan tuh mata,” lantas Conni tertawa kencang, berlalu meninggalkan si Lipul begitu saja yang masih meringis menahan sakit di jidat.

“Con—nel, tunggu…” sahut Lipul berusaha bangkit dan mengejar Conni di depan sana.

Sementara itu, Rahab yang melihat kejadian terjengkangnya si Lipul, tertawa terpingkal-pingkal sampai sakit juga tuh perut, ia terbungkuk-bungkuk. Erri merasa heran dengan kelakuan Rahab, jadi ia pun memandang ke belakang. Kontan saja si Erri ikut mentertawakan kejadian itu sambil terus berlari menyusul si Rahab.

Namun sial, gara-gara berlari menghadap ke belakang dan sembari tertawa, Erri tidak menyadari jika di depan langkahnya ada kulit pisang berwarna kuning, sepertinya seseorang membuang begitu saja kulit buah tersebut.

Gdebuuk…

Rahab kembali tertawa terbahak-bahak saat melihat si Erri jatuh terjerembab akibat menginjak kulit pisang, perutnya benar-benar terasa sakit menahan tawa. Sementara itu di belakang sana Conni yang juga melihat Erri mengalami nasib serupa dengan si Lipul (kurang-lebih begitu, pan intinya jatuh, he-he) juga ikutan tertawa terbahak-bahak, ia berusaha menahan agar jangan sampai ngompol. Maklum, wanita yang satu ini kalau sudah tertawa terpingkal-pingkal sering diiringi dengan ngompol juga.

Tawa Conni semakin menjadi-jadi tatkala sebelah sepatu yang dikenakan si Erri ikut melayang saat dia terjatuh, parahnya lagi, tuh sepatu malah nimpuk kepalanya si Rahab yang sedang ngakak. Rahab pegangi kepala yang sedikit terasa benjut kena lemparan sepatu sembari berjongkok, sementara Erri masih dalam posisi telungkup di badan jalan, aneh juga pose pria Jawa itu. Dua tangan terjulur lurus melewati kepala, sementara dua kaki sama tertekuk ke atas yang mana salah satunya tidak lagi mengenakan sepatu.

Para bidadari yang berlari santai tertawa bersamaan, mentertawai kelakuan pria-pria yang mereka lewati itu. Ahh, ada-ada saja memang kelakuan mereka.

***

Mari kita lihat keadaan Buyut yang ditinggal sendirian di villa.

Buyut baru saja terbangun dari tidurnya, ia celingak-celinguk di ruang tamu tapi sepertinya sepi, tidak seorang pun sahabatnya ada di sana, tidak juga si Batak apalagi si ceking. Begitu juga keadaan di ruangan lainnya.

“Asem, gue ditinggal,” keluh Buyut sambil menggaruk-garuk kepala.

Ia melangkah ke arah pintu keluar, mungkin saja para sahabatnya tengah duduk-duduk santai di beranda. Namun sesampai di beranda luar keadaannya sama saja, kembali Buyut mendesah.

Di beranda depan terdapat sejumlah kursi-kursi dari anyaman rotan, ada yang panjang dan ada juga ukuran kecil untuk satu orang. Di tengah-tengah terdapat sebuah meja bulat panjang yang juga terbuat dari anyaman rotan, di atas meja terdapat sejumlah gelas dan beberapa botol air mineral, dan dua buah piring.

Beberapa gelas itu sebagian sudah dalam keadaan kosong hanya menyisakan satu gelas saja yang sepertinya masih berisi air teh, pada bagian atas gelas yang berisi air teh tersebut ditutupi dengan penutup dari bahan plastik berwarna merah muda. Sejumlah botol air mineral itu pun hanya menyisakan satu botol saja yang sepertinya masih utuh, namun segel bagian tutupnya sudah terlepas.

Di atas sebuah piring masih menyisakan sejumlah makanan ringan yang kebanyakan didominasi goreng-gorengan, terutama tahu goreng, pun dalam keadaan ditutupi pada bagian atasnya dengan sebuah piring lagi, demi menjaga kehangatan gorengan. Sementara satu piring telah ludes hanya menyisakan sejumlah cabe rawit mentah dan beberapa serpihan kerak gorengan.

“Haa… lumayan nih,” gumam Buyut.

Ia membuka tutup piring berisi gorengan tersebut, kemudian mengambil sepotong tahu goreng yang masih terasa hangat. Bau harum dari gorengan itu begitu membangkitkan selera pria ini.

“Ehh, pan gue belum gosok gigi,” gumamnya lagi memprotes pada aksinya sendiri.

Ia kemudian celingak-celinguk seperti mengawasi pada seseorang, Buyut tersenyum, sepertinya tidak ada yang melihat apa yang akan ia perbuat.

“Sabodo teuing,” lirihnya tersenyum sendiri. (Masa bodoh,) “Gak da yang lihat ini juga, he-he. Hmm, wangi, he-he, baek juga temen-temen gue, mau nyisain,”

Tanpa pikir panjang gorengan tahu di tangan ia masukan ke mulut sekaligus, memang potongan-potongan tahu goreng tersebut tidak terlalu besar, namun memakan sekaligus seperti itu malah sedikit terlihat rakus saja jadinya.

“Wuiihh, enak juga nih gorengan,” kagum Buyut, tersenyum sembari menatap pada sejumlah potongan tahu goreng di atas piring.

Potongan tahu pertama habis ia lahap, kembali tangan kanannya meraih satu potong tahu goreng lagi. Sama seperti yang pertama tadi, gorengan tahu yang kedua kembali ia masukan begitu saja ke dalam mulut. Sedang asik mengunyah potongan tahu kedua tersebut, tiba-tiba Buyut menghentikan kunyahannya. Ada sesuatu yang aneh yang terasa di dalam mulutnya yang sedang mengunyah tahu itu, semakin lama semakin terlihat aneh pula wajah si Buyut. Dahinya mengernyit, kurang-lebih tiga belas kerutan. (Kok, gue bisa tahu ya? Ahh, sudahlah, lanjut coy. Yuuk, maree…)

“Haaa…!!!” 

(Ajie busyeeettt, tuh mulut ampe keluar api segala, emang naga?)

Buyut membuka lebar mulutnya, mulut itu belepotan cairan merah cabe. Ia merasa sangat kepedasan, kedua tangan mengipas-ngipasi mulut yang menganga itu.

“Aseemm, gue dibales…!” serunya.

Buyut mencoba menyelidik, jadi, kembali ia meraih satu potong tahu goreng dan kemudian ia kupas dua gorengan tersebut.

“Hmm, pantees…!”

Ternyata dalam potongan tahu goreng tersebut berisikan cabe merah giling, potongan cabe rawit, dan juga sepertinya ada serbuk-serbuk halus yang mungkin saja adalah serbuk lada atau merica. Wajar juga si Buyut kepedasan sampai keringatan seperti itu, kalau hanya cabe merah atau cabe rawit saja mungkin ia masih kuat menahan pedas, tapi jika ketiga bahan masakan yang terkenal pedas itu digabung,  yaah, pastinya bikin jontor tuh bibir.

Karena kepedasan tanpa pikir panjang si Buyut meraih gelas tertutup yang berisikan air teh di atas meja, segera ia membuka tutup gelas itu dan menyeruput air teh yang masih hangat tersebut.

Namun apa yang terjadi?

“Ppuaahh… Sompreett…!!!”

Buyut justru kembali kena dikerjain. Air teh di dalam gelas tersebut ternyata tidak manis, tapi asin. Buyut meludah beberapa kali, bibirnya terasa kering karena air garam, ia meletakkan gelas berisi air teh asin.

Pandangannya beralih pada sebotol air mineral yang masih tertutup rapat meski segel plastiknya sudah entah ke mana, ragu-ragu ia mengambil botol tersebut. Sedikit was-was, jangan-jangan ia bakal kena dikerjain lagi. Buyut menelisik lebih jauh botol minuman tersebut.

“Segelnya dah hilang,” Gumamnya. “Tapi, tutupnya masih rapat,”

Karena pedas dan panas yang masih menjalari bibirnya hingga menjadi kemerah-merahan, atau mungkin karena kehausan yang teramat akibat menyeruput air teh bergaram, Buyut kemudian membuka tutup botol minuman itu. Ia mencium aroma air yang ada dalam botol lewat mulut botol yang telah terbuka. Merasa aman, Buyut menenggak minuman tersebut.

(Hahaha… STOP…!!! Kenapa gue yang ketawa duluan?! Konyoll…)

Untuk yang ketiga kalinya di pagi ini si Buyut kena dikerjain, yang pastinya oleh teman-temannya sendiri sebagai pelakunya. He-he, kena pembalasan juga dia.

“Kutu kupreet… Jenglott keriing. Aseem…” maki Buyut, kedua matanya merem-melek menahan rasa asam dan kecut yang teramat.

Air di dalam botol tersebut ternyata telah dicampur dengan sejenis cairan asam, mungkin cuka, mungkin juga perasan air jeruk nipis, yang jelas air di dalam botol tersebut telah terkontaminasi (Asiiik, keren banget istilah gue, Ekhemm…) dan berubah rasa menjadi asam, sangat kecut.

Buyut memerhatikan lebih saksama di sekitar leher botol, ternyata terdapat lubang kecil, mungkin sahabat-sahabatnya memasukan cairan asam tersebut menggunakan alat semacam alat suntik.

“Hedeuuh…” desahnya lagi sembari mengelap mulut yang belepotan. “Kena kurma gue,” namun sesaat kemudian keningnya kembali berkerut. “Eeh, karma. Kurma kan buah dari Arab,”

***

----bersambung^^-----

TULISAN INI PERTAMA KALI DIPUBLIKASIKAN DI WWW.KOMPASIANA.COM COPASING DIIZINKAN DENGAN MENYERTAKAN URL LENGKAP POSTINGAN DI ATAS, ATAU DENGAN TIDAK MENGUBAH/MENGEDIT AMARAN INI.

9 komentar:

  1. lah? yang di K malah kagak liat... malah liat yang ini... haghaghaghaghag...

    HIDUP NAKHODAAAAA...!!

    BalasHapus
    Balasan
    1. hahaha :D pan waktu di K, ane baru-baru gabung ntu Gan Fahmi^^ jadi yaa, belum beberapa orang yg kenal tulisan ane hehehhe

      makasih Gan^^ salam baik di sana

      Hapus
  2. lah? yang di K malah kagak liat... malah liat yang ini... haghaghaghaghag...

    HIDUP NAKHODAAAAA...!!

    BalasHapus
  3. Balasan
    1. Mas Surya^^
      terima kasih hadirnya Mas e

      salam baik di sana

      Hapus
  4. Wkwkwk jadi ngakakkkk, nyablakk beud dah aaah :v

    BalasHapus
    Balasan
    1. hahhahhaa :D :D

      makasih Neng Puput^^
      salam baik di sana.

      Hapus