Jumat, 20 November 2015

Member FC - Kite Lagi Liburan [Chapter 4,5,6]


Chapter 4

Buyut dan Gorila yang Galau


Sekitar pukul delapan pagi.

Buyut keluar dari pintu depan villa itu, sepertinya pria ini telah selesai mandi dan berganti pakaian dengan pakaian olahraga. Satu handuk kecil melingkar di leher, menguncir rambutnya yang sedikit panjang. Beranda telah rapi, tidak terlihat botol-botol minuman di atas meja bundar dari anyaman rotan itu, tidak juga gelas-gelas dan sejumlah piring yang sebelumnya berada di atas meja. Buyut tersenyum, merasa senang telah membereskan meja dan kursi di beranda depan, ia bersiap untuk melangkah keluar, ber-jogging ria menyusul sahabat-sahabatnya.

Buyut memulai langkah ringan sembari melakukan warming-up (aseek). Setelah merasa cukup, ia pun mulai berlari meninggalkan villa. Namun, arah yang ia tuju berbeda dengan yang ditempuh oleh Erri, Rahab, Conni dan Lipul. Buyut menuju ke kanan jalan di depan villa itu, sedangkan teman-temannya justru sebelumnya ke arah kiri.

Memang lumayan ramai di kawasan wisata itu, apa lagi di pagi hari ini. Tidak saja di taman-taman yang ditata indah, namun juga di sepanjang pantai, banyak para pelancong yang sedang ber-jogging. Ada anak-anak yang berlarian hilir-mudik, dan sejumlah orang dewasa lainnya sama menikmati udara pagi yang segar.

Buyut berlari ringan di antara aktifitas sejumlah pelancong dan juga dari sejumlah penduduk lokal di sana. Ia tersenyum menyapa beberapa orang yang dilewati. Senyuman yang datang bukan dari paksaan, lebih pada rasa syukur yang ia rasakan. Mungkin Buyut merasa senang dan bangga akan keberadaan kawasan ini, bangga pada kenyataan bahwa gugusan kepulauan ini masuk dalam wilayah negerinya, Nusantara. Begitu banyak keindahan negeri ini yang telah dan harus mendapat perhatian dari berbagai kalangan dan pihak, terutama dari pemerintahan itu sendiri.

(Hiks-hiks, gue bangga bro ma sikap lo yang kek gitu, jempol dah buat lo,)

Namun senyum di wajah pria ini serta-merta menghilang, langkah larinya terhenti.

“Ahh, masih saja ada yang membuang sampah sembarangan begini,” gumam Buyut mendesah dalam, saat melihat sampah-sampah masih bertebaran di beberapa sudut.

Tanpa menunggu, segera saja Buyut memunguti sampah-sampah yang ia temukan, menempatkan pada tong-tong sampah yang sebenarnya sudah disediakan di beberapa titik. Mungkin karena keikhlasan itu, sejumlah orang yang melihat apa yang dilakukan Buyut kemudian mengikuti langkahnya.

Kembali senyuman terukir di raut wajah si Buyut, ia senang jika semua orang di sana melakukan apa yang ia lakukan. Bersama-sama mereka memunguti sampah-sampah yang bertebaran, bahkan sembari bercanda segala. Juga tidak ketinggalan sejumlah turis mancanegara yang kebetulan ada di sana, bahu-membahu membersihkan tepian pantai yang indah itu.

(Hiks-hiks-hiks……………………………………no comment, terharu euy,)

Tidak berapa lama (karena yang namanya kerja dengan kebersamaan pasti deh lebih cepet selesainya, hmm…) keadaan sekitar pantai itu telah pun bersih, tidak ada lagi sampah-sampah yang terlihat, semua sudah ditaruh pada tempat yang semestinya. Kebersamaan itu sungguh mendatangkan keajaiban kecil di lingkungan tersebut, semua orang terlihat senang dan bergembira. Ada yang saling bertepuk tangan, berseru riuh-rendah, tertawa dalam keikhlasan sebagai sesama apalagi terhadap alam dan lingkungan.

Buyut tertawa lepas, ia puas dengan apa yang tadi ia mulai dan diikuti oleh orang banyak dapat membawa—paling tidak—perubahan yang positif pada lingkungan di sana. Kembali ia melanjutkan langkahnya, berlari kecil menyusuri tepian pantai.

Beberapa menit kemudian, Buyut menyusuri tepian pantai yang sepi, di sebelah kanannya—ke arah daratan—adalah kumpulan tanaman rimba yang lumayan lebat, sepertinya cukup terawat.

Kembali Buyut menghentikan langkah, ia mendengar beberapa suara yang cukup jelas, seperti suara dari spesies primata. Buyut mencoba mencari tahu, bergerak menuju ke arah rimbunan pepohonan. Dari balik celah dedaunan pohon yang tumbuh lebat menjuntai sepertinya ada dua sosok makhluk, namun Buyut kurang bisa melihat jelas. Ia coba mengintip, menyibakkan dedaunan yang menghalangi penglihatannya.

Searah dengan pandangan mata si Buyut, terpaut lebih-kurang dua puluh meteran, di situ ada dua ekor gorila besar. Buyut sedikit kaget, mungkin juga takut pada salah satu dari spesies primata tersebut. Jadi ia berusaha untuk tidak terlihat oleh kedua ekor gorila besar itu.

“Gimana ceritanya, kok bisa ada gorila di sini?!” bisik Buyut seorang diri.

Buyut menelisik lebih lanjut, memandang ke kiri ke kanan, siapa tahu masih ada lagi gorila-gorila lainnya di sana, tapi sepertinya cuman dua ekor itu saja yang ada di antara kelebatan pepohonan itu.

Sepertinya dua ekor gorila itu adalah sepasang kekasih (Hedeuh…) yang seekor sedang duduk cantik di atas sebuah dahan pohon yang menjulai rendah, bulu-bulu di tubuhnya hampir keseluruhannya berwarna coklat kekuningan. Mungkin yang satu ini adalah gorila betina. Sedangkan yang seekor lagi tengah berdiri di atas tanah menghadap pada gorila betina yang duduk-duduk manis di dahan yang cukup besar itu. Yang berdiri itu sepertinya yang jantan, seluruh tubuhnya nyaris berwarna hitam gelap.

Yang membuat si Buyut sedikit kaget, bahkan lebih terkesan menggelikan adalah ternyata gorila jantan itu sedang berusaha merayu sang betina. Lucunya lagi, si jantan sepertinya juga tengah berusaha memberikan sekuntum bunga berwarna merah pada si betina. Namun si betina seakan menolak pemberian si jantan tersebut, ia mendengus dan palingkan wajah. Di persembunyiannya si Buyut nyaris saja tertawa lepas menyaksikan tingkah kedua primata tersebut, untung ia cepat mendekap mulutnya sendiri dengan kedua tangan.

Di ujung sana si gorila jantan sepertinya tidak mau menyerah begitu saja, sekuntum bunga yang tadi di tolak si betina ia buang begitu saja. Kemudian si jantan membungkuk dan (Jrenggg…) tahu-tahu di tangan kirinya telah menggenggam seikat bunga warna-warni, kembali dengan gaya (pastinya terlihat kocak dah, kalo gorila yang berlaku demikian) seorang flamboyan gorila jantan itu merayu sang betina.

Si betina sepertinya sedikit tertarik dengan banyaknya kuntum bunga dalam genggaman si jantan, namun pada akhirnya si betina juga menolak seikat bunga aneka warna tersebut, kembali ia palingkan wajah, kali ini ke arah yang berlawanan dari yang pertama. Si jantan tertunduk lesu, kembali ia membuang seikat bunga tersebut begitu saja. Kembali Buyut harus menahan tawa menyaksikan itu semua, perutnya seolah dikocok-kocok.

Namun si gorila jantan tidak mau menyerah begitu saja. Maka, ia melakukan langkah terakhir. Kembali ia membungkuk membelakangi sang betina, dan (eng-ing-eng…) di kedua tangannya ada sesisir pisang yang telah ranum, kuning keemasan. Kembali ia coba merayu sang betina dengan makanan kesukaan bangsa mereka tersebut.

Sepertinya kali ini si jantan boleh bisa tersenyum, soalnya si betina seperti tergugah hatinya. (Hoeckh…! Itu mah tergugah seleranya aja keleusss) Si betina tersenyum manja, sebelah matanya ia kedipkan pada si jantan.
(Amboii… tuh mata si jantan ampe berubah bentuk jadi seperti lope)

Sang betina turun dari dahan tempat ia duduk tadi, kemudian dengan malu-malu ia coba menerima pemberian istimewa itu dengan kedua tangannya.

Di persembunyiannya Buyut terdiam, menganga, untung saja tidak ada serangga yang sedang terbang.

Sesaat tangan gorila betina menyentuh kedua tangan si gorila jantan, si jantan malah seperti tersipu dengan memiringkan kepala sedemikian rupa. Kembali Buyut harus menahan tawanya, (Weleh-weleh, ni gorila niru-niru gaya manusia yang lagi kasmaran aja).

Namun begitu sepasang mata si betina kembali melirik pada sesisir pisang ranum itu, sontak saja si gorila betina menjerit histeris.

Sepasang matanya seolah melompat ke luar, mulut terbuka menganga, sepasang tangan terangkat seolah menggenggam rahang bawahnya yang terbuka lebar. Si gorila jantan jadi kaget dengan tingkah sang pujaannya itu, begitu pun halnya dengan si Buyut. Pria ini tidak bisa mengerti kenapa si gorila betina bertingkah demikian.

Ternyata yang membuat si gorila betina menjerit histeris adalah; seekor keong kecil berlendir yang merayap perlahan di atas buah pisang yang diberikan si gorila jantan. Sepertinya sang betina merasa jijik atau pun takut dengan spesies moluska yang satu itu, begitu si jantan melihat apa yang dilihat sang betina, ia sendiri pun kaget setengah mati dengan ekspresi konyol mirip (maaf) banci, sontak saja sesisir buah pisang ranum itu ia lepaskan.

Duaaggg…

Entah sengaja atau tidak, yang jelas satu tangan gorila betina tahu-tahu meninju si gorila jantan, tepat di pipi kiri sang jantan. Buyut sangat kaget dengan kejadian itu.

Si gorila jantan terjerambab dengan mulut monyong ke samping, konyolnya lagi ekspresi wajahnya yang kena jotos itu justru seperti menghadap ke arah di mana si Buyut mengintip. Karuan saja Buyut kembali harus menahan tawa dengan kedua tangan, bahkan sampai terguling ke belakang saking kejangnya.

Sementara itu bersamaan dengan robohnya si gorila jantan, sang betina segera berlalu dari sana, ia seperti mengomel panjang-pendek, tentu saja hanya berupa suara ha-hu-ha-hu yang gak jelas banget artinya. Melihat sang betina pujaan berlalu meninggalkan dirinya, si jantan merasa putus asa, semua usahanya sia-sia.

Walaupun usaha yang terakhir nyaris berhasil, namun gara-gara si keong berlendir semua itu sirna. (Hmm, kurang ajar emang si keong, gangguin perjuangan cinta makhluk lain aje ente, ente pantes mendapat gelar ‘Keong Racun’, he-he)

Keong     : “Iii, ui iui uiu iuuii…” (kan, gue gak sengaja…)

Penulis    : “Oops, ya udeh, suka-suka ente lah, Yong,”

Si gorila jantan bangkit dari jatuhnya, ia menatap sayu ke arah mana tadi si gorila betina menghilang, kembali ia tertunduk lesu. Selang sedetik berikutnya ia pun berlalu dari sana, ke arah kiri. Melangkah gontai tak bersemangat lagi. Ahh, galau.

Buyut memerhatikan terus si gorila jantan hingga benar-benar menghilang di balik kerimbunan semak belukar. Ia sedikit merasa kasihan pada si gorila jantan tersebut, meski ia sendiri tidak tahu kalau yang jadi penyebab itu semua adalah si keong racun. (Eits, gak boleh protes lagi lhoo, Keong,) Setelah mengamati beberapa saat, barulah pria ini memutuskan untuk meninggalkan tempat tersebut meneruskan lari paginya.

“Ahh, kasihan banget tuh, si Toing,” ujarnya.

(Baahh, kok Toing?! Tau dari mana ente nama tuh gorila? Parah dah)
(Oops, keknya si Buyut denger ucapan gue, gawat nih)

Buyut seperti mendengar suara-suara berbisik perlahan (Ekhemm…) ia coba mencari-cari tahu keberadaan suara itu (Gawat, bener-bener gawat, kacau nih kalo ketahuan) ke kiri ke kanan, ke atas ke bawah, depan-belakang. Tapi ia tidak melihat siapa pun, kembali ia melanjutkan lari paginya.

(Hahhh, lega deh. Untung gue sembunyi, wakakkaka…)

***

Chapter 5

Mancing, Apa Nyari Ribut?


“Nah ntu mereka tuh,” bisik Buyut seorang diri saat melihat rekan-rekannya.

Saat itu si Erri, Rahab, Conni, dan Lipul tengah bersantai melepas lelah di sebuah bangku panjang menghadap ke arah lautan. Segera saja Buyut menyusul ke tempat sahabat-sahabatnya tersebut. Dan sepertinya keempat rekannya itu juga telah melihat keberadaaanya sendiri.

“Huuu… payah lu pada,”

Sindir Buyut pada yang lain saat telah sampai di sana, napasnya terdengar turun-naik, ngos-ngosan. Erri, Rahab, Conni dan Lipul sama menanggapi sindiran itu dengan tawa.

“Payah, masak gue ditinggal sendirian,” protesnya.

“Lagian, lu juga sih, kebangetan,” balas Erri tersenyum.

“Hampir copot nih jantung,” timpal Conni mengingat kejadian pagi tadi.

“Lu gak makan kan, tuh tahu goreng?” selidik Rahab tersenyum ganjil.

“Gak makan pale lu pitak! Bibir gue ampe dower kepedesan,” dengus Buyut. Keempat rekannya kembali tertawa. “Secara gue pikir tuh sarapan buat gue,”

“Lahh, emang,” sahut Conni dan kembali ia tertawa.

“Beuhh…” Kembali Buyut mendengus kesal. “Mana tehnya asin, eeeh air di botol malah kecut,”

Kembali para sahabatnya mentertawai, mereka bisa membayangkan kejadian yang dialami si Buyut tersebut. Saat itu tampak si Fahmi dan juga si Nandar menghampiri mereka berlima sembari membawa sebuah box pendingin ukuran sedang.

“Bawa apa kau, Lae?” tanya Rahab.

“Minuman dingin Jendral, biar segarrr,” jawab Fahmi.

“Bahhh, kau ini,” ujar Rahab lagi masih dengan logat Batak menirukan si Fahmi. “Semalam kau panggil aku Komandan, sebelumnya kau panggil aku Kapten. Sekarang kau panggil pulak aku Jendral, baahhh… Jangan nantik kau panggil pulak aku Presiden!”

Pria Batak itu hanya tertawa menanggapi ucapan si Rahab barusan. Box berwarna biru yang ia bawa berdua dengan si Nandar, di letakan di hadapan kelima orang itu. Kemudian ia membuka tutup box tersebut, di dalam box pendingin itu terdapat sejumlah minuman ringan juga beberapa botol air mineral yang sepertinya sedikit membeku karena dibaluri sejumlah es batu dalam potongan-potongan kecil, kotak-kotak.

Segera mereka semua sama memilih minuman yang mereka masing-masing suka. Ahh, memang segar rasanya, dahaga ini pun seolah langsung menghilang. Di pagi menjelang siang ini menikmati minuman dingin sambil menikmati panorama laut yang memukau, memang suatu kenikmatan tersendiri.

***

Sekitar pukul dua siang.

Kelima sahabat itu melangkah menuju di mana posisi kapal mereka berlabuh, di atas kapal Fahmi dan juga si Nandar telah menunggu. Mereka akan pergi memancing, itu terlihat dari barang-barang yang dibawa oleh mereka saat menaiki kapal tersebut, kecuali Conni yang jalan melenggang di sampingnya si Lipul menemani dengan membekal sejumlah alat pancingan.

“Mo mancing di mana nih?” tanya Erri entah pada siapa.

“Gimana kalau ke Pulau Semak Daun?” sahut Fahmi.

“Rak usah jauh-jauh lah,” timpal Conni. “Lumayan panas nih,”

“Dekat itu, Mbak,” timpal Fahmi.

“Yo wes lah, sing penting iso mancing santai,” ujar Conni lagi. (Ya sudah, yang penting bisa mancing dengan santai,)

“Ja-jangan ke-ke laut lepas,” timpal Lipul.

“Mo ngapain lo ke laut lepas?!” tanya Erri pada ucapan si Lipul barusan.

“Mo mancing paus kale,” Buyut ikut berkomentar dan lalu tertawa.

Si Lipul jadi mesem-mesem saja, padahal tadi niatnya mau dapat perhatian dari Conni. Sementara Rahab hanya tertawa kecil menanggapi itu semua.

Tali kapal telah digulung dan dapra telah dinaikkan oleh si Nandar, mesin kapal menderu. Tidak berapa lama kemudian, kapal bergerak menjauh, menuju Pulau Semak Daun.


Selang beberapa menit berikutnya mereka telah sampai di kawasan Pulau Semak Daun. Pulau itu sendiri tidak terlihat terlalu besar, namun terlihat indah dengan kerindangan sejumlah tanaman yang menghiasi badan pulau, hijau berseri.

Terdapat sejumlah bangunan permanen di beberapa titik pulau tersebut, lautnya juga terlihat sangat bening bersih. Di kejauhan mereka bisa melihat sejumlah orang tengah berenang ria, sepertinya ada juga yang tengah berolahraga snorkeling.

Fahmi menghentikan laju kapal, perlahan-lahan kapal itu akhirnya berhenti juga namun dengan keadaan mesin tetap menyala. Pria Batak ini tidak menurunkan jangkar, tidak juga terdengar ia memerintahkan si Nandar untuk melakukan itu.

“Eeh, Fahmi, sampeyan gak lempar jangkar?!” tanya Conni heran.

“Tidak, Mbak, kasihan,”

“Kasihan? Siapa yang kasihan?!” Tanya Rahab bingung dengan jawaban pria Batak itu.

“Eiihh, macam tak tahu pulaknya Abang ini,” sahut Fahmi.

“Baahh…?”

“He-he, itulah, Bang,” Fahmi terkekeh. “Di sini kan, banyak terumbu karangnya, jadi kalau aku turunkan jangkar tu, rusaklah nantik karang-karang tu, Bang,”

“Hoo…” Hanya itu yang keluar dari mulut si Rahab mendengar jawaban si Fahmi.

“Ndak kasihan kita, Bang, sama terumbu-terumbu yang cantik-cantik tu haa. Cobalah Abang-Abang sama Mbak tengok ke bawah,” pinta Fahmi pada penumpangnya tersebut.

Erri, Rahab, Conni, Lipul, dan Buyut sama mengikuti apa yang disarankan si pria Batak tersebut, berjongkok di sisi kapal dan melihat ke bawah. Memang indah, seperti yang diucapkan si Fahmi, mereka berlima sama berdecak kagum.

Sejumlah terumbu karang nan elok membentang jauh entah sampai ke mana, yang jelas nyaris menutupi seluruh lantai laut dangkal di kepulauan tersebut. Beraneka bentuk dan warna, dari atas kapal ini saja sudah terlihat sangat indah, bagaimana jika langsung melihat ke bawah sana. Sejumlah ikan-ikan karang juga terlihat berseliweran di antara celah-celah karang yang terbentuk alami. Juga dengan berbagai keindahan warna dan corak di tubuh masing-masing spesiesnya.

“Wuiihh…” seru Erri terkagum-kagum. “Bisa bawa banyak ikan pulang neh,”

“Hadeuh,” celetuk Buyut. “Lu mau jualan?!”

Erri hanya tertawa menanggapi ucapan si Buyut, tentu saja itu tidak termasuk dalam list pekerjaan yang ia rencanakan.

“Se-secu-cukupnya a-aja,” timpal Lipul. (Huu, sok bersahaja ente, Pul)

“E-eehh…” Lipul memandang ke belakang, lalu ke sekeliling, sepertinya dia mendengar suara.

(Oops, sekarang si Lipul yang bisa denger ane… Hahhh, untung die dah gak penasaran, huhh gawat juga nih kalo ampe ketahuan)

“Udaah,” sahut Rahab. “Ngomong mulu kapan dapetnya tuh ikan,”

“Nyok ahh, mancing,” Erri mengambil sebuah joran pancing dan beberapa alat kebutuhan lainnya.

Keempat yang lain melakukan hal yang sama dengan si Erri tadi, namun ada kelucuan yang terjadi. Gara-gara terburu-buru dan berebutan mengambil joran, justru Buyut dan Lipul saling bertubrukan dan sama-sama jatuh bergedebukkan ke lantai kapal.

Lipul mengomel panjang-pendek (Udah pasti kagak jelas itu mah omelannya dia, pan die gagap, jadi gak perlu lah ane tulis oke, he-he) begitu pun halnya dengan si Buyut, mereka saling menyalahkan, penyakit anak-anak keduanya kembali kambuh, masing-masing tidak mau mengalah dan saling menyalahkan.

Rahab dan Conni membiarkan saja mereka berdua ribut seperti bocah-bocah yang sedang berebutan mainan itu, begitu juga dengan si Erri. Pria berdarah Jawa ini justru telah melempar kail yang telah dipasangi umpan berupa udang segar seukuran jari telunjuk.

“Moga-moga dapet gede,” bisiknya dan lantas tersenyum lepas.

Sementara itu Fahmi memerintahkan pada si Nandar agar waspada, sebab kapal berhenti tanpa melepas jangkar demi menjaga dan demi tidak merusak terumbu-terumbu karang nan eksotik tersebut, jadi ya mereka sebagai nakhoda dan awak kapal haruslah berlaku waspada. Pada gundukan karang yang bisa saja mereka tabrak, atau paling parah ya hanyut terbawa arus pasang-surut laut.

Akhirnya, pergumulan kecil antara si Lipul dan si Buyut berakhir juga. Rambut mereka sama acak-acakan, apalagi di daerah laut begini yang notabennya angin bertiup sedikit lebih ramai ketimbang di daratan, ya makin kusut-masai saja wajah kedua orang itu. Mereka sama-sama mendapat satu joran pancing.

“Gue deket si Connel,” ujar Buyut masih setengah sewot. “Awas lu brani-brani ngambil…!”

Buyut mendekati Conni, mengambil posisi di samping kanan wanita tersebut. Sebenarnya Buyut sengaja berbuat demikian, dengan maksud agar si Conni dan rekannya yang lain jadi lebih konsen dan santai dalam memancing. Coba bayangkan jika si Lipul yang berada di posisi si Buyut sekarang, bisa gak jadi mereka memancing, apa lagi jika harus mendengar rayuan maut tuh si gagap pada si Conni.

Dengan wajah cemberut dan mulut yang tidak henti-hentinya mengomel yang jelas sekali hanya dia dan Tuhan saja yang bakal mengerti, Lipul melangkah ke sisi kapal yang satu lagi. Yakni berdekatan dengan si Erri, Lipul berada di samping kiri dari pria Jawa itu.

Sementara itu, si Fahmi tersenyum geli melihat tingkah kedua orang yang tadi bergumul ria tersebut, terutama pada si Lipul. Sedangkan si Nandar berdiri sembari mengawasi keadaan di bagian depan, beberapa langkah di belakang si Rahab yang memilih spot mancing di haluan kapal. Bahkan kedua tangan si Nandar memegang teropong.

Tidak sampai dua menit berikutnya Conni terlihat berseru gembira dengan gayanya yang khas, ((maksud ane yang itu tuh, yang gayanya kek orang lagi (maaf) birahi gitu, ehkemm..)) ternyata ia berhasil mengail seekor ikan. Dengan semangat empat-lima, wanita ini memutar cepat katrol pancingannya.

Buyut yang berada tepat di samping kanan Conni berseru memberi semangat sembari mengambil serokan dengan gagangnya yang cukup panjang.

“Yeaa…” Conni berseru gembira. “Mancing Mania…” serunya menirukan adegan salah satu acara favorit di salah satu stasiun televisi swasta.

Ikan hasil tangkapannya berhasil dinaikkan ke atas kapal dibantu si Buyut dengan serokan di tangan. Sang nakhoda dengan cepat membuka tutup sebuah box pendingin khusus penampung ikan. Entah karena geli atau pun sedikit takut dengan bentuk ikan tersebut, Conni tidak berani memegang ikan yang berhasil ia kail itu. Namun dengan sigap Fahmi memegang ikan berukuran selebar telapak tangan orang dewasa tersebut dan melepaskan kaitan mata kail dari mulut sang ikan.

“Wuiih, Kerapu,” kagum Erri melihat ikan yang sedang dimasukkan si Fahmi ke dalam box pendingin berwarna oranye.

“Beuuhh, gue gak boleh kalah ni,” timpal Buyut.

“Ikan apaan, Ri?” tanya Rahab di ujung haluan.

“Kerapu,”

“Wuidih, hebat juga lu, Nel,” puji si Rahab.

“Yoyoiii, gue geto lhoo… ho-ho-ho,” sahut Conni bangga.

Kembali semua orang sibuk menghadap pada joran masing-masing, berharap mendapat tangkapan yang lebih besar dari apa yang tadi didapat si Conni.

Si Lipul merasa sentakan-sentakan halus pada joran yang ia pegang, dengan cepat ia menyentak kuat joran tersebut ke arah kiri. Hup, ia berhasil mengail seekor ikan dan sepertinya besar, soalnya Lipul merasa berat dan perlawanan yang diberikan si ikan di bawah sana cukup merepotkan.

Erri meletakkan pancingannya, ia meraih alat serokan yang tadi digunakan si Buyut, bermaksud membantu si Lipul mengangkat ikan tersebut. Ia memberi semangat pada si Lipul yang kewalahan menghadapi perlawanan ikan.

“Ge-de nih, Pul,” sahut Erri semangat.

“Sial, gue dari tadi gak dimakan-makan, nih,” gerutu Rahab di ujung sana.

“Gue juga nih, kamffreett…!” dengus si Buyut menimpali.

“Jangan ampe lepas, Pul. Ge-de nih, awas, awaasss…!” sahut Erri berulang-ulang.

“Ayoo berjuang, Ipul,” ujar Conni memberi angin.

Si Lipul seperti mendengar bisikan dari syurga saat Conni berujar seperti itu. Dalam hayalannya (yang pastinya gajebo bangeut) sosok Conni seolah-olah adalah Dewi Calypso. Dan ia menjadi semakin bersemangat, berjuang keras mematahkan perlawanan sang ikan. Baginya, ini bukanlah memancing, tapi… perjuangan melawan amukan monster demi mendapatkan cinta sang Dewi Calypso.

Dengan baju zirahnya yang menempel di tubuh (udah pastinya dengan semua embel-embel perang lainnya, he-he) Lipul menghunus pedang menghadapi monster berbentuk setengah naga tersebut. Naga itu menyemburkan api mematikan lewat mulutnya yang dipenuhi gigi taring menakutkan. Namun Lipul berhasil mematahkan semburan api tersebut dengan menggunakan tameng sakti yang entah dari mana ia dapat.

Kembali monster itu menyerang dengan cambukan ekornya yang kekar, Lipul terjatuh bergulingan karena kakinya tersapu serangan, pedang di tangan terlempar. Kembali Lipul berusaha bangkit, topi besi perlengkapan tempur ia copot dan dibuang begitu saja, dengan gagah berani ia berlari menghampiri pedang yang tergeletak di tanah. Sembari melompat bergulingan ia pungut pedang tersebut, begitu posisinya kembali berdiri, dengan cepat pedang di tangan ia ayunkan sekuat tenaga.

Crrass…

Aaaarg…  (Laah? Kok suara monsternya mirip suara orang!?)

Kesatria Lipul berhasil membabat putus ekor sang monster separuh ke bawah, dan monster itu meraung dahsyat. Lipul kembali bergulingan menghindar amukan sang monster, dengan cepat ia melompat tinggi sembari mengayunkan pedang di tangan kanannya bermaksud ingin menebas leher si monster, sementara sang monster kembali menyerang dengan rahang mematikan yang terbuka lebar, siap menyambut serangan kesatria Lipul.

“Hi—hiaaa…” teriak Lipul.

“Groaarrr…” auman sang Monster. (Nah gitu dong. Eehh…?)

Penulis  : “STOP…! Apa-apaan tuh, kalian, haa…?!”
(Ketahuan-ketahuan, dah. Pada konyol semua sih…)

Kesatria Lipul dan sang monster setengah naga sama terhenti, si ksatria Lipul terhenti dengan pose setengah melayang di udara dengan tangan kanan terangkat memegang pedang. Sedangkan si monster berhenti bergerak dengan mulut menganga lebar (Slowmotion… he-he)

Penulis :“Mang kalian pikir ni cerita kolosal?! Balik ke cerita awal…!”
(Arrg, gue kesell…)

Baiklah, terjadi kesalahan dalam alur cerita (ekheemm) cerita kita kembalikan pada saat di mana Lipul berjuang keras menaikan sang ikan tangkapan ke atas kapal. Ia sangat berharap ikan yang cukup besar di bawah itu dapat ia naikkan, sehingga—paling tidak—Conni akan memujinya di depan yang lain, dan itu artinya, ia mendapat satu poin lagi. Hmm, katakanlah selangkah lebih dekat tuk mendapatkan cinta Connel.

Namun apa yang terjadi..?

tsik…

Pletaakk…

“Wa—wadaoooww…” teriak Lipul kesakitan.

Ternyata benang pancing (sorry brow ntu nelon lhoo, bukan benang layangan yaa) itu putus, mungkin terkena sesuatu yang tajam atau pun tidak kuat menahan beban. Dan itu tadi, putus lah benang pancing tersebut pas dalam posisi joran pancing melengkung hebat ke bawah karena pengaruh beban dan daya tarik sang ikan.

Tak pelak lagi, lentingan tangkai joran (reaksi karena putus dalam posisi yang ane sebutkan) menghantam telak jidat si pencari cinta. Lipul terjengkang ke belakang, jidatnya benjut bengkak kemerahan, melintang panjang di wajah. Ia meringis menahan sakit, sementara semua orang yang di atas kapal justru mentertawakan keadaanya tersebut.

Ahh, sepertinya Dewi Fortuna kembali tidak berpihak pada dirinya. (Wakaka, tuh Dewi lagi selingkuh noh di Jakarta, ngahaha) Lipul berusaha bangkit, tidak berpatah arang. Dibantu oleh si Fahmi yang kembali memasangkan sebuah pemberat dari timah pada ujung benang yang putus tersebut, dan berikutnya sebuah mata kail baru.

Kembali Lipul memasangkan umpan udang segar pada mata kail tersebut, Fahmi kembali pada posisinya di atas, menghadap kemudi.

“Ka-kali i-ini, gak bo-boleh gagal,” begitu bisik Lipul pada diri sendiri.

(Eetdah, masak berbisik ama diri sendiri juga mesti gagap seehh?!)

Dengan semangat baru tanpa melihat-lihat lagi ke belakang si Lipul melempar kuat umpan ke tengah laut, sejauh mungkin. Namun karena tidak memerhatikan keadaan sekelilingnya, begitu ayunan tangan yang memegang joran pancing itu tuntas, ternyata ehh ternyata, ujung mata kail dari pancingan yang digunakan si Lipul justru mengait bagian belakang baju yang dikenakan si Buyut.

“Eeh bujugg…” Jerit Buyut saat bajunya terlepas direnggut mata kail.

Walhasil, begitu mata kail nyemplung ke dalam laut sekaligus membawa serta baju si Buyut dengan motif ala-ala pantai tersebut. Karuan saja si Buyut jadi marah karena sekarang ia jadi bertelanjang dada, maka, kembali terjadi pergumulan antara Buyut dan Lipul.

“E-e-eeh, maap,” Lipul kaget sendiri dengan keteledorannya.

“Heh, lancar! Lu mancing gak pake mata, haa!?” dengus Buyut dengan sengit.

Jadilah pegumulan ronde kedua dimulai, bahkan makin lama semakin rusuh saja mereka bergumul sehingga mengganggu keasyikan si Erri dan Conni yang tengah berusaha mendapatkan ikan.

“Woii… Geblek!” teriak Conni.

“Woi-woi-woi,” timpal Erri. “Lu pada mo mancing ape mo nyari ribut, sehh?!”

Erri bertindak, memisahkan si Lipul dan Buyut yang tengah bergumul mirip para bocah yang lagi berantem. Sebagai orang yang lebih dewasa di antara kelima sahabat itu (Halaaah, paling tua kalee) ia mencoba berlaku bijaksana, melerai pertengkaran kedua orang sahabatnya tersebut.

Tapi sepertinya Lipul dan Buyut tidak mau mengalah, dan sekarang, justru si Erri jadi ikut-ikutan terjun ke dalam pergumulan tersebut. Dari berguling-gulingan di lantai kapal, sampai dalam posisi berdiri.

Pada satu kesempatan, entah sengaja atau tidak, mungkin juga karena kesal, si Conni malah mendorong punggung Erri yang sepertinya akan menggencet tubuhnya.

Cbyurr…

Byuurrr…

Splassssrr…

“Waaa…”

Karena posisi ketiga orang yang terdorong oleh tolakan Conni tidak setimbang, maka mereka tergelincir lah ketiganya, mereka terdorong hingga tercebur ke laut. Didahului oleh Lipul dan Buyut yang terdorong oleh tubuh Erri, disusul pula oleh si Erri yang hilang keseimbangan gara-gara dorongan tangan si Conni.

(Busyeeet, kuat amat ente, Con… ck-ck-ck-ck)

Terakhir, Conni sendiri juga tercebur ke laut, ia juga hilang keseimbangan gara-gara hilang pegangan pada punggung si Erri yang juga ikut kecebur. Conni berteriak histeris, nyaris menimpa Erri dan Buyut. He-he, ada-ada saja memang, bukannya memancing dengan tenang dan santai malah jadi berenang ria, kan ikannya jadi kabur semua.

Rahab meninggalkan pancingannya begitu saja, setengah kesal setengah jengkel gara-gara ulah para sahabatnya tersebut—apalagi sedari tadi umpannya seperti tidak mendapat perhatian dari para ikan—ia melangkah mendekati sisi belakang kapal.

“Haahh, “ dengusnya. “Kalo lu pada mo berenang, jangan di mari! Pake juga tuh alat snorkeling…”

“Hab, tulong Hab, tulong gu,” pinta Conni sembari menjangkau-jangkau reling di sisi badan kapal.

Karena kasihan, Rahab mencoba meraih tangan Conni yang terjulur itu, sementara si Nandar ikut membantu. Namun, karena licin, mungkin juga karena badan Conni yang berat, sehingga Rahab yang berusaha menarik Conni ke atas justru malah tertarik ikut tercebur ke laut. Konyolnya lagi si Nandar yang sebelumnya sempat ikut menarik tangan si Conni juga tertarik ke bawah, namun tidak sampai jatuh kecebur tapi bergelantungan di sisi badan kapal dengan dua tangan berpegangan erat ke reling.

Akan halnya si Fahmi yang terpingkal-pingkal menyaksikan kejadian itu (ampe sakit juga tuh perut kayaknya) melemparkan sejumlah pelampung pada mereka yang tercebur. Namun pria Batak ini kembali tertawa ngakak saat melihat si Lipul yang berusaha menggapai-gapai reling kapal dengan berpegangan pada kaki si Nandar. Karena licin, padahal sudah hampir bisa meraih reling tersebut, si Lipul kembali merosot ke dalam air. Dan konyolnya, tuh orang malah tak sengaja menarik celana si Nandar yang tengah bergelantungan.

Tak ayal lagi, si Nandar berteriak histeris karena menyadari celananya melorot jauh sehingga memamerkan (maaf) bokongnya yang lebih mirip (maaf lagi) kayu arang (Huahaha, oops…) dengan hanya mengenakan celana boxer berwarna merah dan sedikit ketat. Kontras banget dengan kulitnya yang hitam itu.

(Kalo dilihat baik-baik, hmm… mirip-mirip dendeng balado, ngahaha…)

Selang beberapa menit kemudian akhirnya mereka semua telah kembali berada di atas kapal. Basah kuyup, masing-masing memegang handuk kecuali si Rahab dan Buyut.

“Kita berenang aja yuk,” ajak Rahab pada yang lain. “Nanggung nih, kepalang basah,”

“Ni gara-gara si mancung ma si lancar,” Conni masih saja sewot.

“Jiaahh, malah nyalahin gue. Si gagap noh punya kerjaan,” elak Buyut.

“Halaah, udah kek bocah-bocah aja kalian bedua,” timpal Erri.

“I-iye tu-tua,” dengus Lipul yang tidak terima dianggap bocah.

“Beuuh, mending gue dah tua,” sungut Erri. “Gue dah ngerasain muda. Nah elo, kan belum tentu ngerasain tua,”

“Beuu…!! A-amit-amit, a-amit-a-amit,” sahut Lipul sembari mengetuk-ngetuk lantai kapal kemudian mengetuk-ngetuk jidatnya sendiri.

“Yook ahh, berenang aje,” timpal Buyut. “Itung-itung, nikmatin panorama bawah laut,”

“Iye, ntu die maksud gue,” sambung Rahab.

Setelah mereka sepakat, akhirnya si Fahmi menjalankan kapal tersebut mengarah pada sebuah pelabuhan kecil—sebut saja begitu—masih di Pulau Semak Daun, kapal itu sendiri bergerak dengan kecepatan pelan.


Hanya butuh waktu lebih-kurang sepuluh menit, mereka sama-sama turun dari kapal di sebuah jembatan kayu (sepertinya hasil tangan penduduk setempat) di dekat sana, juga ada sebuah bangunan semi permanen. Bangunan yang diperuntukkan menyewakan peralatan renang dan snorkeling bagi para pelancong yang ingin menikmati keindahan bawah laut.

Menit berikutnya kelima sahabat itu berenang ria, menikmati keindahan terumbu karang yang ada di laut dangkal tersebut, bahkan si Fahmi dan si Nandar juga ikut-ikutan berenang. Dan di sana juga ada beberapa pelancong lainnya yang juga tengah menikmati panorama bawah laut alam negeri ini.

Walaupun menurut keterangan para instruktur selam yang ada di sana bahwa laut tempat mereka berenang itu bebas dari makhluk bernama Bulu Babi (sebenernya sih ane nyontek dari Wikipedia, he-he) tapi tetap saja harus hati-hati, dan tidak boleh gegabah, begitu pesan para instruktur pada setiap orang yang ingin berenang.

Setelah berenang dan snorkeling selama hampir lima belas menit, Rahab memutuskan untuk naik sementara ke tepian. Sedikit merasa kelelahan, beruntung si Nandar datang menghampiri dengan membawakan sebotol minuman isotonic, dengan cepat Rahab membuka tutup botol tersebut dan langsung mereguk cairan di dalam botol.

“Gak berenang lagi, Pak?”

“Ntar dulu, lu duluan aje deh, “ ujar Rahab. “Gabung lagi ma yang laen tuh,”

Si Nandar berlalu dari sana, dia langsung bergabung dengan yang lain, menikmati keindahan panorama bawah laut. Sementara itu Rahab melepas lelah di tepian pantai, ia tersenyum memandang pada rekan-rekannya yang lain di ujung sana, entah apa yang ia pikirkan memandang tingkah iseng si Buyut yang tengah mengerjai si Erri saat itu.

Rahab duduk menjeplok dengan kedua kaki terjulur bertumpu dengan kedua tangan yang bersitekan di permukaan pasir putih nan halus. Ia tengadahkan kepala, kemudian menggerak-gerakan kepalanya sedemikian rupa melepas kekakuan. Saat pandangannya mengarah ke sisi kanan, Rahab melihat sejumlah orang tengah melakukan sesuatu. Sedikit penasaran, Rahab merubah posisi duduknya, berusaha melihat jelas ke ujung kanan sana. Ada sekitar enam orang, empat diantaranya seperti menenteng ember ukuran sedang, masing-masing dua ember.

Karena penasaran, Rahab yang saat itu masih mengenakan celana pendek selutut dan baju kaos oblong putih yang masih basah oleh air laut memutuskan untuk menghampiri orang-orang tersebut. Ohh, ternyata keenam orang itu adalah orang-orang dari penangkaran biota laut, itu bisa terlihat dari pakaian yang mereka kenakan. Rahab semakin berusaha mendekat, mungkin lebih pada tertarik dengan apa yang akan dilakukan oleh orang-orang tersebut.

Keenam orang itu semakin mendekati bibir pantai, mereka baru berhenti setelah terpaut empat-lima langkah dari bibir pantai. Ember-ember kaleng yang mereka bawa di taruh berjejer, ada delapan buah ember dengan bentuk dan bahan yang sama. Rahab semakin mendekat, terpaut dua langkah.

“Lagi ngapain. Mbak, Mas?” tanya Rahab berusaha bersahabat.

Seorang perempuan muda palingkan wajahnya pada Rahab. Ahh, wajah itu begitu memukau si Rahab, dadanya terasa bergemuruh lebih cepat. Memang, gadis itu sangat cantik dengan rambut panjang yang dikuncir ke belakang, hitam berkilau. Kulitnya putih dan terlihat memerah terpapar sinar mentari sore. Hmm, justru karena itu wajahnya semakin terlihat memesona, khususnya di mata si Rahab.

“Ini, Pak, mau melepas tukik ke lautan,” ujar dara jelita itu.

Rahab semakin bergerak mendekati mereka yang berjongkok, tapi emang dasar lagi jomblo, jongkoknya pun milih-milih tempat. Ya dapat dipastikan si Rahab memutar ke sisi kanan, berada dekat dengan si dara cantik itu.

Sebenarnya Rahab sendiri tidak mengerti dengan yang namanya tukik, tapi berhubung yang ada di delapan ember berisi air itu ternyata adalah bayi-bayi penyu, yaa jelas saja otaknya berpikir bahwa itu nama bagi bayi-bayi penyu, tukik.

(He-he, pinter juga ente ngeles ya, Hab, ekhemm)

Ya, memang benar, di dalam kedelapan ember itu terdapat sejumlah bayi-bayi penyu alias tukik yang baru beberapa hari ini menetas, dan memang itulah tujuan orang-orang tersebut. Mereka tidak membiakkan satwa laut tersebut begitu saja, namun pastinya hingga tuntas. Dan mereka tidak sendiri dalam kegiatan tersebut, sejumlah bantuan masih datang menghampiri. Yaa, katakanlah dari pihak pemerintah sendiri, juga sejumlah bantuan dari kalangan aktifis-aktifis lingkungan, khususnya aktifis kehidupan biota laut.

“Bapak ini, pelancong dari mana?” (Duuh, suaranya terdengar merdu-merdu gimana gituu…)

“Eem, saya dari Jakarta, Mbak,” Rahab sumringah.

“Oohh, eeh tapi jangan panggil saya Mbak,” ujar dara itu lagi.

“Emang, kenapa? Gak boleh, ya?”

(Jiahaha, dasar si Rahab. Mulai dah tuh gombalannya. He-he, yaah maklumin aje dah, pan die jomblo)

Dara itu tersenyum menanggapi. Pria jomblo itu semakin merasa mendapat angin. Sementara yang lain sepertinya acuh-tak acuh saja pada tingkah si Rahab itu, mereka lebih sibuk mengurus bayi-bayi penyu di dalam ember.

“Bukan begitu, Pak,” jawab dara ini sembari mengeluarkan tukik-tukik dari dalam ember satu persatu. 

Rahab memerhatikan apa yang dilakukan orang, terutama dara jelita itu. Dua tangannya yang halus memegang bayi penyu penuh kehati-hatian, lembut sekali gerakan dara itu. (Halaa., Hab-Hab, nyang laennye gitu juga tuh)

“Saya yakin, kalo saya lebih muda dari—“ ia memandang Rahab.

“Rahab, panggil aja saya, Rahab. Dan lagi—“ potong Rahab dengan cepat, gadis itu kembali tersenyum. Hadeuuh manis nian tuh senyuman. “—Saya kan, belum tua, kok dipanggil Bapak sih? Abang aja, ya,” Rahab malu-malu.

“—Dari, Bang Rahab,” lanjut dara itu lagi mengulum senyumnya.

“Oh, ya?!” ujar Rahab berkura-kura dalam perahu.

(Oopss, pan yang ada di sono penyu. Gak bisa apa diubah? Berpenyu-penyu dalam perahu, berunyu-unyu udah pasti gak tahu? Ahh, ya sudahlah, penyu ma kura-kura pan sodaraan)

Dara itu menggeleng-gelengkan kepalanya. Aneh nih, cowok satu, begitu pikirnya sembari terus mengeluarkan bayi-bayi penyu tersebut.

“Kamu itu peramal, ya?” tanya Rahab lagi berusaha akrab. (Beuuh, gombal dah tuh)

“Ahh, Bang Rahab ada-ada saja,” dara itu tersipu, khas gadis-gadis desa yang ayu dan gemulai.

“Iya,” sahut Rahab bersemangat. (Sekalian aja berkobar-kobar menggelora) “Soalnya, eee, kamu sudah menerawang hatiku,” Rahab tersenyum malu-malu, mukanya merah kek kepiting rebus.

Sementara dara itu semakin tersipu dengan rona merah di kedua pipinya, teman-teman sang dara justru tersenyum geli mendengar ungkapan dari mulut si Rahab, bahkan ada yang terkekeh.

Rahab memerhatikan dengan seksama para tukik merangkak di atas hamparan pasir putih menuju laut.

“Semoga mereka bisa bertahan,” ujar dara itu lirih. Rahab menatap padanya, serius. “Hingga bisa berkembang biak,”

“Jenis apa?” bisik Rahab pada dara itu.

Eretmochely imbricata, dari famili Cheloniidae,” jawab dara itu dengan masih menatap bayi-bayi penyu yang merangkak. (He-he, lagi-lagi ane nyontek ama Mbah-Wikipedia)

Jawaban si gadis jelita cukup sulit untuk dipahami oleh Rahab. Bukan apa-apa, soalnya dia sendiri bukanlah orang atau pun ahli biologi, jadi ya pantas saja Rahab kebingungan dengan nama ilmiah disebutkan si gadis.

Rahab garuk-garuk kepala yang tidak gatal. “Salah nanya nih gue…” lirihnya nyaris tak terdengar.

Gadis itu menyadari jika Rahab tidak begitu mengerti, ia tersenyum entah apa pun artinya. “Penyu sisik,”

Rahab kikuk, malu. He-he, kalau masalah ini mungkin ia tidak begitu paham, tapi coba tanyakan padanya soal bisnis, soal peluang menjadi besar dan terkenal, konon pula menghasilkan uang banyak. Apalagi kalau soal gombal-menggombal. Yaah, dia memang sedikit buta masalah biologi.

“Perlu banyak perhatian,” sambung dara itu.

Rahab melirik padanya. Kembali dara itu tersenyum, ahh memang manis sekali jika dia tersenyum seperti itu, Rahab merasakan taman hatinya dipenuhi bunga bermekaran.

(Hoeeckh, sorry Hab, gue gak sengaja muntah nih, maap ye, tiba-tiba eneq gini)

“Mereka sudah di ambang kepunahan,” 

Untuk beberapa saat mereka sama terdiam sambil menatap bayi-bayi penyu yang satu persatu menghilang ke dalam laut. Raut wajah dara itu sedikit muram, sepertinya kesedihan itu bukanlah keberpura-puraan, itu semua datang dari keikhlasan mengingat ancaman pada salah satu spesies satwa laut yang memang terancam kepunahan itu. Itu semua adalah bentuk keprihatinan dara tersebut juga teman-temannya, juga semua orang di bumi yang berpikiran sama.

“Aku rela menjadi penyu,” ujar Rahab tiba-tiba, membuat dara itu mengerutkan dahinya yang licin. Rahab mengulas senyum termanis yang ia punya. “Iya. Biar bisa kamu perhatiin terus,”

(Gubraaakhh…  so-sorry Hab, kursi gue tiba-tiba patah nih)

Dara jelita semakin tersipu mendengar gombalan si Rahab, namun sebenarnya itu bukanlah sekedar gombalan semata, itu berasal dari relung hatinya yang selama ini kosong. Sebuah harapan, semoga gadis ini mengerti dengan yang tersirat dari ucapannya itu. Yah, semoga, tapi… Mungkinkah?

“Hab…” di ujung sana Buyut berteriak kencang.

Rekan-rekannya sepertinya telah usai berenang menikmati kesegaran air laut nan bening itu. Rahab kembali berpaling pada dara cantik di sampingnya, ia tersenyum. Ahh, yang ini pun gak kalah bening.

“He-he, teman-teman,” ujar Rahab pada sang dara. “Keknya, dah pada kelar berenang,”

“Haab…” kembali Buyut berseru. “Kite mo balik ke villa, neee,”

“Iyee…” sahut Rahab.

Si gadis harus menutup kedua kupingnya, sebab Rahab berteriak terlalu kencang.

Di ujung sana Erri dan kawan-kawan sudah naik ke atas kapal, Rahab semakin gelagapan. Sepertinya waktu bersama sang gadis jelita berlalu terlalu cepat, atau bahkan mungkin kurang.

“Ahh, kenapa buru-buru amat sih?!” gerutu Rahab.

“Bang Rahab temennya nungguin tuh,” ucap sang gadis.

“He-eh, iya,” sepertinya Rahab benar-benar salah tingkah.

“Ntar ditinggal, lhoo,”

Dan itu semakin membuat Rahab gelagapan. Di satu sisi ia ingin cepat-cepat bergabung bersama rekannya yang lain, mungkin juga karena takut ditinggal, kan bisa berabe jadinya. Apalagi ia mendengar suara mesin kapal itu dinyalakan pertanda kapan saja kapal bisa berangkat. Dan di sisi lain, ia ingin sekali mengenal dara manis ini lebih lama, gadis yang dari kesan pertama yang ia tangkap adalah seorang yang baik dan penuh perhatian.

“Aduuh, pada pe-ak semua,” gerutu Rahab tak keruan. “Arrgg, bener-bener krisis waktu nih, kasi gue kesempatan nape sehh…?!”

Dara itu tersenyum geli melihat tingkah Rahab yang gelapan, sang gadis sendiri pun akan beranjak dari sana. Lima orang rekannya telah berlalu menuju bangunan penangkaran di belakang sana, semua tukik yang ada di dalam ember telah mereka lepas dan menghilang di kedalaman laut.

“Ka-kamu, eee, nama kamu siapa?” tanya Rahab terburu-buru. (He-he, udah ketularan virusnya si Lipul ente, Hab?)

“Desy, Bang,” jawab gadis itu sembari tersenyum simpul.

“Woii, tungguu…” teriak Rahab pada rekannya di ujung sana. “Eeh, ntar kite bakal ketemu lagi gak, ya?” tanya Rahab sembari melangkah mundur, dara itu hanya menjawab dengan tersenyum. “Maaf, Abang tinggal dulu ya,” semakin lama ia semakin menjauh. “Tunggu woii…”

“Buruaaan…” teriak si Erri.

Sambil terus berlari menyusul rekan-rekannya, Rahab berpaling ke belakang memandang sang dara cantik nan tinggi semampai. Dara itu tersenyum melambaikan satu tangan sebelum akhirnya memutar tubuh dan berlalu dari sana menuju tempat penangkaran menyusul rekan-rekannya.

“Yu—huuu…” Rahab berteriak senang, melompat-lompat kegirangan.

***

Chapter 6

Andeca Andeci, Yuuk Mari…


Mungkinkah?
Kita ‘kan selalu bersama, walau terbentang jarak antara kita?
Biarkan…
Kupeluk erat bayangmu, tuk melepaskan semua kerinduanku
Kau kusayang, selalu kujaga…
Tak ‘kan kulepas, selamanya…
Hilangkanlah, keraguanmu…
Pada diriku, di saat kujauh darimu...

Rahab bernyanyi dengan sepenuh hati, meresapi setiap lyric dari lagu yang ia nyanyikan, diiringi petikan gitar dari si Buyut. Lyric lagu dari group-band Stinky di era 90-an. Saat ini mereka semua sedang duduk-duduk santai di beranda depan villa, tempat mereka menginap.

“Hehehe,” Erri terkekeh.

“Na-nape lu, Ri?” tanya Lipul.

“Kagak,” jawab Erri dan berpaling ke Rahab. “Hab, lu yakin tuh cewek mau ame lu?”

“Gak tau juga sih,” jawab Rahab. “Tapi… mungkin saja, kan?”

“Ahh, gak yakin gue,” timpal Conni.

“Eeh, tapi die tersenyum manis ke gue, Nel,” Rahab sedikit kecewa dengan ucapan Conni yang sepertinya kurang memberi respon positif atas perasaannya.

“Yeee…” cibir Conni. “Terang aja, Hab, wong cewek mana pun kalo digombali yo pastilah mesem-mesem,”

“Ahh, lu mah gitu, Nel,” Rahab tertunduk lesu. “Hibur gue dikit aja, napa?”

“Tau lu, Con,” timpal Buyut. “Lhaa, lu mah enak, ada si Lipul tercinta, noh,”

Sementara si Lipul tersipu malu mendengar ucapan si Buyut, bahkan sambil mengedip-kedipkan mata pada si Conni. Sedangkan Conni sendiri, cuek bebek saja, acuh tak acuh menanggapi ucapan Buyut tadi apa lagi dengan tingkah si Lipul barusan.

“Si Rahab pan dah lama jomblo,” sambung Buyut lagi.

Sepertinya ada dua sosok yang mendatangi mereka, ahh rupanya si Fahmi dan si Nandar.

“Gimana, Lae? Amannya kapal?” tanya Rahab yang tahu-tahu logatnya berubah.

“Aman, Ketua,” jawab si Fahmi.

“Kite cari makan nyok,” ajak Buyut, dan sepertinya semua mengangguk setuju.

Sementara semua orang melangkah meninggalkan villa, Erri buru-buru mengunci pintu depan villa tersebut. Sedangkan si Buyut tetap membawa gitarnya, dan sesekali dimainkan diiringi candaan oleh yang lain.

“Woii, tunggu…!” teriak Erri, kemudian tergesa-gesa berlari menyusul yang lain.


Mereka bertujuh menyusuri jalanan yang lumayan terang, sesekali masih terdengar petikan gitar dari si Buyut, terkadang terdengar Conni bersorak sedikit lantang entah apa yang ia nyanyikan. Kurang lebih lima menitan mereka menyusuri jalan, sayup-sayup mereka semua bisa mendengar bunyi orgen tunggal.

Lima puluh meter ke arah kiri, ada keramaian. Setelah menimbang sesaat, ketujuh orang ini sepakat untuk menyambangi keramaian tersebut. Siapa tahu sedang ada pesta pantai atau segala macamnya, tapi yang jelas bagi Rahab sendiri ia berharap-harap semoga gadis yang ia temui sore tadi juga ada di sana, paling tidak, mereka bisa bertemu muka kembali.

(Aamiin, gue bantu doa lhoo, Hab, he-he…)

Begitu mereka mencapai tempat tersebut, ternyata keramaian itu bukanlah tentang pesta pantai, tapi pesta pernikahan seorang anak gadis penduduk setempat. Namun yang agak membuat ketujuh orang ini rada heran, keramaian itu sendiri lebih diramaikan oleh suara orgen tunggal yang (jujur aje nih) memainkan musik dan lagu yang terdengar tidak begitu seru, katakanlah seperti itu.

Notabenenya, sebuah pesta pernikahan akan lebih semarak dengan kehadiran hiburan, entah itu berupa pertunjukan wayang, orgen tunggal dan lain sebagainya. Namun tidak begitu dengan apa yang dilihat oleh Erri dan kawan-kawan, sepertinya pesta pernikahan putri seorang penduduk lokal itu jauh dari kesan semarak apalagi meriah.

(Kalo mo ane kasi perumpamaan, yaa, rame tapi hambar, ngarti kan?)

“Kasihan amat nih orang-orang,” ucap Erri.

“Yang kasihan ntu bukan tamunye,” celetuk Buyut. “Tapi, nyang punye hajat,”

Benar juga apa yang dikatakan si Buyut pun si Erri, kasihan. Seharusnya situasi seperti di hadapan mereka itu, kan harusnya ceria bukan yang tampak suram seperti saat ini.

“Gue ada akal,” sahut Buyut lagi.

“Apaan?!” tanya yang lain hampir berbarengan.

Kemudian Buyut mengajak teman-temannya berangkulan dan membisikkan sesuatu, mungkin juga tengah membuat suatu strategi (bukan strategi perang, lhoo) dan mereka tampak mengangguk-angguk tanda mengerti dengan apa yang diusulkan si Buyut tersebut.

“Ngarti?” tanya Buyut pada yang lain.

“Kagak tuh,” timpal Rahab. Buyut tertawa geli. “Lhaa, lu cuman ngomong pas-pus-pas-pus, doang!” sungut si Rahab.

Buyut tertawa, setelah puas tertawa kembali ia merangkul dan membisikkan sesuatu pada yang lain. Sepertinya kali ini benar-benar serius.

Kemudian ketujuh orang itu melangkah memasuki arena pesta (Jangan pada ketawa! Sebut aja kek gitu,) sejumlah tamu undangan yang hadir di sana sama memandang heran pada ketujuh orang yang baru saja hadir di sana. Erri dan kawan-kawan melenggang saja melewati orang-orang tersebut.

Erri, Rahab, Conni, Lipul dan Buyut yang masih saja membawa serta gitarnya langsung naik ke atas panggung rendah di mana posisi orgen tunggal berada. Sang empunya pesta juga merasa heran pada tingkah mereka itu, mereka tidak mengenal dan protes dengan tingkah kelima orang yang baru saja naik ke atas panggung. Namun dengan gaya mereka yang kocak, Erri dan kawan-kawan tetap berusaha tenang dan tersenyum, mengisyaratkan pada semua orang tamu undangan, terutama sang empunya pesta bahwa semua baik-baik saja. (Hedeuuh, udah kek judul lagu aje tuh,)

Sementara itu si Fahmi dan si Nandar tetap berada di bawah panggung rendah, berdiri tegap dengan kedua tangan merangkap di depan dada masing-masing. Halah-halah-halaah, gaya mereka berdua bak dua bodyguard yang tengah mengamankan kliennya.

Rahab merebut microphone dari tangan seorang penyanyi pria yang sedari tadi entah menyanyikan lagu apa, yang jelas terdengar kurang asik, kurang gairah, kurang bla bla bla.

“Sini,” ujar Rahab merebut mic. “Gue bantuin lu,”

Erri pun telah memegang sebuah mic (Beuh, ni orang nyolong di mane lagi tuh mic? Parrrahh) juga si Buyut, berdiri pasti sedikit ke depan menghadap para tamu undangan yang memandang heran pada tingkah dia dan kawan-kawannya.

Didahului dengan petikan gitarnya si Buyut yang indah, si Rahab maju ke depan dan lantas melantunkan sebuah lagu, (Woi-woiii, tu gak pake intro dulu apa? Hadeuuh lantak kalian lah…) lagu yang sepertinya sangat dikenal semua orang Indonesia. (Asiiikk)

Rahab     : Jalan-jalan ya tuan ke Pulau Seribu,
                   Eeh jangan lupa ya nona beli rambutan.
                   Paling enak ya tuan pengantin baru,
                   Masuk kamar eeh nona cubit-cubitan.

Lantas diikuti pula oleh suara Buyut, Erri, dan juga Conni.
                  Andeca andeci, ya bora, bora-bori,
                  Andeca andeci, ya bora, bora-bori,

Sampai di sini semua tamu undangan di pesta pernikahan itu, termasuk keluarga sang empunya pesta, sedikit bisa mengerti dengan apa yang dilakukan ketujuh orang yang tidak mereka kenal tersebut.

Bahkan sepertinya (Karena lagu itu sendiri adalah legend) semua orang jadi ikut menyanyikan lyric-nya, pas di nada berbuyi; andeca-andeci. Dan sepertinya yang memegang orgen tunggal itu mengerti, lantas memainkan orgen tersebut dengan irama yang sesuai dengan lagu yang dinyanyikan kelima sahabat itu.

Erri       : Eeh kain rami ya tuan beli di cikini, syalala-lalala.
                 Beli yang banyak ya nona untuk semua.
                 Ijinkan kami ya tuan hadir di sini, syalala-lalala.
                 Untuk menghibur ya nona anda semua.

Semua orang  :  Andeca andeci, ya bora, bora-bori,
                             Andeca andeci, ya bora, bora-bori,

Suasana pesta pernikahan yang sebelumnya terlihat dan terasa lengang membosankan berubah menjadi ramai. Ramai oleh keceriaan semua orang, entah itu para tamu undangan maupun sang empunya pesta alias kedua keluarga mempelai.

Dari ikut menyanyikan syair lagu tersebut hingga berjoget dengan lembut mengikuti alunan musik dari gitar yang dipetik si Buyut juga dari orgen tunggal yang melantun seirama. Dari yang awalnya satu-dua orang saja yang mengikuti gerakan lima orang di atas panggung itu, hingga keseluruhan yang hadir di sana.

(Ahh, suasana benar-benar berubah ceria dalam kehangatan dan keharmonisan tembang legenda itu)

Di antara bangku-bangku berbahan dasar polymer yang sebelumnya diduduki oleh para tamu undangan yang sekarang tengah berjoget gemulai, ternyata ada seorang gadis yang tetap memilih duduk, lebih tepatnya dia berada di tengah-tengah. Ahh, ternyata oh ternyata, itu si gadis cantik bernama Desy yang sore tadi ditemui si Rahab di Pulau Semak Daun.

Rahab   : Pagi-pagi ya tuan menghela pukat, syalala-lalala.
                 Eeh bawa obor ya sayang jangan terbakar.
                 Sudah tujuh kampung ya tuan kucari obat, syalala-lalala.
                 Eeh bertemu dinda ya sayang jadi penawar.

Semua orang : Andeca andeci, ya bora, bora-bori,
                           Andeca andeci, ya bora, bora-bori,

Desy mengulum senyum, menutupi senyuman itu dengan punggung telapak tangannya. Entah apa itu artinya, yang jelas ia tersipu malu mendengar syair lagu yang didendangkan Rahab, seolah-olah ia merasa jika lagu itu ditujukan pada dirinya. Yaa, sama seperti di Pulau Semak Daun sore tadi.

Tanpa sengaja, tatapan Rahab bertemu mata dengan mata indah dara jelita. Ada senyum menghiasi sepasang bibir Rahab, sepasang matanya pun terlihat lebih bersinar. Eeh, tapi Rahab sedikit kikuk dan grogi, pasalnya syair lagu yang tadi ia lantunkan itu tidak lah disengaja, meluncur begitu saja dari hati terus ke mulutnya.

Aduuh, jangan-jangan tuh cewek mendengar lagu itu lagi. Ahh, semakin salah tingkah lah si Rahab di atas panggung tersebut. (Bukannye ntu lebih baek, Hab?) Ia lambaikan tangannya pada si gadis, itu pun setengah-setengah alias ragu-ragu. Desy yang melihat isyarat lambaian dari Rahab itu semakin menyembunyikan senyumannya.

Namun ada seseorang yang sedari tadi memerhatikan tingkah dara jelita itu. Perawakannya cukup tinggi besar, kepala plontos a.k.a botak licin namun wajahnya dihiasi kumis dan jenggot yang menyatu sedikit keputih-putihan. Berdiri jauh di sebelah kanan Desy, sedikit merapat pada dinding tembok bagian depan rumah yang punya hajat. Sembari melipat kedua tangan di depan dada ia terus mengawasi tingkah kedua insan tersebut.

Sekali waktu ia perhatikan Desy yang tersenyum sembari malu-malu itu, di lain waktu beralih ia memerhatikan tingkah si Rahab yang juga sama tersipu malu di atas panggung sana. Ada bayang kurang senang di wajah pria botak separuh baya itu tatkala memandang pada si Rahab.

Erri      :  Pergi berlibur ya tuan ke tepi pantai, syalala-lalala.
                 Pantai bernama ya sayang Pulau Seribu.
                 Semoga keinginan ya tuan semua tercapai, syalala-lalala
                 Pada pengantin ya sayang yang duduk di situ.

Semua orang : Andeca andeci, ya bora, bora-bori,
                           Andeca andeci, ya bora, bora-bori.
                           Andeca andeci, ya bora, bora-bori,
                           Andeca andeci, ya bora, bora-bori.

Di saat semua orang ikut bernyanyi riang dan berjoget ria mengikuti dendang yang berirama Melayu dan tarian para tamu tak diundang tersebut, Desy memilih meninggalkan tempat duduknya. Ia melangkah menjauhi keramaian pesta, menuju ke tepian pantai yang tidak terlalu jauh dari sana.

Rahab yang tengah asyik bernyanyi dan bergoyang menyadari jika gadis yang membuat jantungnya berdebar-debar (Hadeuuuh,) sudah tidak ada lagi di sana. Sembari bergoyang dan bernyanyi ia celingak-celinguk, mencari-cari keberadaan Desy. Merasa tidak melihat orang yang ia cari, Rahab memutuskan untuk turun dari panggung, walau Erri, Conni, Lipul, dan Buyut melihat gelagat sahabat mereka itu namun mereka membiarkannya saja.


Desy duduk santai di atas hamparan pasir menghadap ke arah lautan, sedikit melamun ia memandang pada rembulan yang lebih terang di atas sana. Dari posisinya duduk ini, dara tersebut masih bisa mendengar suara musik dari orgen tunggal yang mendayu-dayu juga suara keramaian orang-orang yang bernyanyi bersama.

Sepertinya si gadis tengah mendendangkan sesuatu, walau hanya berupa gumaman namun jika didengar baik-baik iramanya seperti mengulang-ulang dendang pantun andeca-andeci.

Rahab terlihat sedikit bingung, mungkin juga panik. Pandang sana, pandang sini (Hati-hati Hab, ntar keseleo tuh leher, kan bahaya) mencari sosok yang ia harapkan. Ia berlari lagi, kali ini menuju ke arah pantai dan kemudian kembali berhenti, napasnya tersengal-sengal.

Di ujung sana dalam keremangan malam, ia melihat seseorang wanita duduk santai di atas hamparan pasir menghadap ke arah lautan. Rahab tersenyum senang, ia mengenali gaun yang dikenakan wanita tersebut. Rahab berusaha merapikan penampilannya sebelum akhirnya melangkah mendekati wanita yang duduk seorang diri itu.

Desy menghentikan dendangannya, ia mendengar seseorang melangkah mendekatinya. Ia palingkan wajah ke belakang, ahh dara ini tersenyum begitu manis setelah melihat siapa yang mendekatinya.

“Hai,” sapa Rahab.

Tidak ada jawaban yang keluar dari mulut dara itu menyambut sapaan dari si Rahab, hanya seulas senyum yang tampak menghiasi bibir yang indah tersebut. Namun itu saja sudah lebih dari pada cukup di mata si Rahab.

Si Rahab juga ikutan duduk di atas hamparan pasir di sebelah kiri Desy, walau agak malu-malu namun ia tetap beranikan diri. Paling tidak, kan bisa menemani si gadis menikmati suasana malam di tepi pantai itu, ekhemmm.

“Penawar, haa,” ujar dara itu, kemudian tertawa kecil.

Rahab jadi semakin salah tingkah (Tuh kan. Ternyata tuh cewek denger syair yang ente nyanyin, Hab. Tapi eh tapi, ntu pertanda baik tuh, Hab) Rahab memandangi wajah gadis itu, ahh benar-benar indah, dan semakin jelita saja karena biasan cahaya rembulan yang menerpa lembut di wajah itu.

“Eeng, kamu tinggal di pulau ini, ya?” tanya Rahab coba melebur kekakuan.

Kembali dara itu menjawab dengan senyuman yang bla bla bla bla… dan Rahab semakin gelagapan. Jadi, ia pun pura-pura ikut memandangi sang rembulan.

“Bang Rahab romantis, ya,” ujar Desy.

“Eeng, keknya gitu,” jawab Rahab. (Bahhh, gajebo banget jawaban ente, Hab) “Kata temen-temen sih, he-he,”

Rahab kikuk, dara itu pun sama. Untuk beberapa saat kembali keduanya sama terdiam. Hanya sepasang kaki mereka saja yang bergerak-gerak memainkan pasir pantai yang lembut.

Desy kembali menengadahkan wajah, memandang rembulan yang membiaskan cahayanya lembut ke segala arah. Rahab memerhatikan wajah indah itu dari samping, kemudian beralih memandang pada rembulan juga.

“Ahh, emang indah banget tuh  sang bulan,” bisik Rahab nyaris tak didengar oleh Desy.

(Beuuh, Hab-Hab, prasaan ane bulan mah begitu-begitu aja bentuknya, ntukan karena ada cewek cakep di samping ente)

Ahh, memang terasa romantis duduk berdua seperti ini. Di malam yang disinari sang rembulan, duduk berdua di tepian pantai dengan ombaknya yang sesekali menghempas lembut ke tepian. Semilir angin yang berhembus sepoi-sepoi—(Ekheemm, semue pade ngarti kan? Kalo berada di situasi yang sama kek si Rahab ame si Desy ntu, kan? Jadi, gak perlulah ane lanjutin narasi lebay-nye, ye, hehehe)

“Abang rela jadi Burung Pungguk seumur hidup,” Rahab berujar sembari terus memandangi rembulan.

Desy mengalihkan pandangannya ke si Rahab, dara ini kembali tersenyum, sepertinya lebih pada isyarat; Memangnya kenapa?

“Iya,” sahut Rahab lagi, kali ini ia balas menatap mata sang gadis. “Abang rela setiap malam menatap sang bulan,”

(Uhukkh…)

Desy tersipu malu mendengar perkataan hati si Rahab. Ia bukan lah gadis desa biasa, ia gadis yang cukup terpelajar, jadi tentu saja dara ini sangat mengerti dengan jelas apa arti dari ucapan si Rahab tadi, dan ke mana arah tujuan perkataan tersebut.

Rahab juga tersenyum, malah kelihatan senang berbunga-bunga. Sepertinya ada harapan nih, paling tidak itu lah yang terbesit dalam hati dan pikiran si pria yang sukses dalam bisnis namun selalu gagal dalam cinta ini.

“Desol…”

Tiba-tiba satu suara terdengar, sebuah panggilan entah ditujukan pada siapakah gerangan. Awalnya mereka berdua sama-sama belum mendengar suara tersebut, mungkin juga karena sayup-sayup sampai, apalagi suara itu kalah kencang oleh suara deburan ombak juga angin.

Namun saat suara panggilan itu berulang untuk yang kedua kalinya, kedua insan yang tengah menikmati malam ditemani angin, laut, dan rembulan itu akhirnya sama bisa mendengar suara tersebut. Suara seorang pria dan terdengar berat.

“Eeh,” Rahab menoleh ke belakang. “Keknya ada yang lagi manggil-manggil, tuh,”

“Desol…”

“Iya, Pa…” Desy menyahut seruan itu.

Rahab berpaling pada dara itu, ia sedikit bingung. Bukannya yang dipanggil itu; Desol?  Kenapa mesti dia yang menyahut?

“Keknya, Papa lagi nyariin aku,” ujar Desy memandang Rahab dengan sedikit cemas.

“Tapi, kok?!” Rahab semakin tidak mengerti.

“Papa sama Mama manggil aku dengan nama itu,” Desy cukup mengerti dengan kebingungan pria yang cukup tampan di sampingnya itu. “Desol, Bang Rahab,”

“Desol…” suara itu terdengar lagi.

“Iya, Pa,”

“Yang cepat lah kau, Nak,” (E-eh, tuh suara kok kedengerannya mirip-mirip ama logatnya si Fahmi, ya?) “Papa mau balik ini…”

“Iya, Pa. Bentar…” Desy berpaling ke Rahab yang masih saja jelihatan bingung. “Bang Rahab, maaf ya Bang, Desy balik dulu,”

“Eeh iya, gak pa-pa,” Rahab memaksa untuk tersenyum. “Lain waktu kite ketemuan lagi, ya?”

“Kalau ada jodoh,” jawab Desy sembari tersenyum dan mengedipkan sebelah matanya.

Walau sedikit merasa kecewa karena lagi-lagi waktu tidak berpihak padanya, namun Rahab masih bersyukur soalnya dia sangat mengerti arti kedipan mata dari gadis itu. Dan sepertinya harapan mencari seseorang untuk mengisi kekosongan hatinya belakangan ini sudah ia temukan, atau katakanlah sudah ia tetapkan.

Rahab masih bisa tersenyum memandang sosok Desy yang berlalu dari hadapannya. Rahab baru memutuskan untuk meninggalkan tempat yang tenang itu setelah tidak lagi melihat sosok Desy.

Tiba-tiba Rahab kaget sendiri saat ponsel di dalam kantong celananya berdering kencang, lucu juga melihat ekspresi kagetnya itu. Yaa mungkin karena lagi fokus (asiik) melihat ke arah di mana Desy menghilang.

“Ya?”

“Oi, lu di mane?” sepertinya itu suara si Buyut.

“Nape?”

“Kite lagi di kafe nih, buruan ke sini,”

“Kafe yang mane satu pe-ak?” Rahab sedikit sewot, pikirannya masih terpecah pada dara itu tadi.

“Kafe Bung Edy,”

“Oke, gue ke sono,” sahut Rahab, tapi sedetik berikutnya dia malah jadi memikirkan sesuatu. “Itu di Jakarta oncom, beuuh… si pe-ak!”

“Hahaha… makan tuh cinta,” Buyut sepertinya begitu senang menertawai Rahab. “Udah buruan sini, di ‘Caffe Bu Sekar. Gak jauh dari dermaga, kok,”

“Ya udeh, tunggu gue di sono. Awas lu pada,” ancam Rahab dan menutup panggilan dan lantas meninggalkan kawasan tersebut.


Di sebuah kafe yang bertuliskan; Caffe Bu Sekar.

Kafe itu sendiri labih layak bila disebut warung, milik seorang wanita yang suaminya (konon katanya) adalah seorang pemusik (Rock-Band) yang selalu manggung dari satu kota ke kota lainnya, dari satu pulau ke pulau berikutnya, sehingga dapat dipastikan jika sang suami jarang berada di rumah. Sehingga karena mungkin merasa bosan dan kesendirian si istri memilih mendirikan usaha kafe kecil-kecilan tersebut, untuk membunuh rasa kebosanannya.

(Hmm, bagus juga pemikiran tuh ibu-ibu, paling tidak bisa ia salurkan kebosanannya pada hal-hal yang positif, apalagi pan ntu usaha bisa mendatangkan pemasukan menambah pundi-pundi tabungannya, hmm, salut dah)

Sekar Mayang nama wanita tersebut (Ekhemm) ia tidak sendiri di kafenya itu, ia dibantu oleh dua orang anak perempuannya walau mereka juga punya dua-tiga orang pelayan. Oh iya, anak tertuanya bernama Fitria Ningsih (Sebut saja begitu) dan anak keduanya bernama Shin Ar (Jangan senyum-senyum sendiri ente!) walau Fitria adalah yang tertua namun postur tubuh yang satu ini kalah tinggi dengan sang adik, Shin. (Nape gak Oshin aje ye sekalian, heuheuheu…)

(Oke, cukup sekian perkenalan dengan pemilik kafenya)

Saat ini Erri, Lipul, Conni, dan Buyut yang masih saja membawa serta gitarnya juga si Fahmi dan si Nandar tengah duduk-duduk santai mengitari meja bundar di Caffe Bu Sekar. Melepas lelah setelah menghibur orang-orang di hajatan sebelumnya, menikmati secangkir kopi hangat yang juga ditemani sejumlah makanan ringan.

Selang beberapa menit kemudian Rahab memasuki kafe tersebut, Erri memanggil berseru pada Rahab, pria ini menoleh pada rekan-rekannya dan lantas melangkah menuju sudut yang sama.

“Gimana, Hab?” tanya Erri, sesaaat setelah Rahab juga ikut duduk di salah satu kursi yang kosong. “Ketemu ama tuh cewek?”

“Ho-oh,” jawab Rahab dengan singkat padat dan bla bla bla. “Eeh, gue pesen kopi juga dong,”

“Pesen sono, sendiri,” timpal Buyut.

Rahab berpaling ke kanan ujung, di mana di sana terdapat satu meja kasir yang di balik meja berdiri dua orang perempuan muda-muda, Fitria dan Shin. Rahab melambaikan tangan pada keduanya, salah seorang dari mereka kemudian mendekati Rahab, yakni si bungsu Shin.

“Iya, Mas, mau pesan apa?”

“Samain aja ama yang lain, ya,” pinta Rahab, Shin mengangguk.

Sementara Shin kembali ke mejanya, dan memerintahkan seorang pelayan untuk membuatkan dan menyiapkan apa yang dipesan Rahab. Selang beberapa saat pesanan si Rahab telah siap, dan kembali Shin yang mengantarkan pesanan tersebut.

“Makasih,” ujar Rahab sembari tersenyum.

“Sama-sama. Silakan menikmati,”

“Eeh, boleh tahu nama kamu gak?” tanya Rahab tiba-tiba. (Baahh, gombal lagi dah tuh, parrraah…)

Belum sempat Shin menjawab pertanyaan (kebiasaan banyak pria jika bertemu makhluk cakep) dari si Rahab, seseorang muncul di belakang posisi Shin berdiri. Seorang wanita, dan pemilik caffe tersebut, Bu Sekar Mayang. Wanita ini tegak berkacak pinggang, sepasang mata menatap sangar si Rahab. (Wakakka, rasaiin ente, Hab, keganjenan seeh)

Sepertinya pemilik kafe tidak senang jika anaknya digodain, entah dengan cara apa pun, yang jelas ia tidak suka. Mungkin, lebih pada untuk menjaga anak gadisnya tersebut. Shin dengan cepat berlalu dari sana, kembali menuju meja kasir. Di belakang, Fitria tersenyum menertawai sang adiknya. Sementara sang ibu masih berdiri bertolak pinggang memandang pada Erri dan kawan-kawan, utamanya sih, pada si Rahab.

“Eeh, Tante,” sapa Rahab grogi sembari menganggukan kepala.

Sementara yang lain tersenyum mesem-mesem melihat si Rahab kena batunya, Rahab menggerutu panjang-pendek tak senang.

“Maap, Tan,” Rahab menelan ludah.

“Awas…!” ujar Bu Sekar sembari jari telunjuk tangan kanan teracung pada si Rahab juga kepada rekan si Rahab yang lain—(Yaa, pastinya yang ane maksud, yang cowok-cowok saja, Conni sih gak masuk itungan. Hehe) “Kalau berani…”

Wanita pemilik kafe itu berujar sembari tangan kanannya itu membuat gerakan seperti orang (maaf) menyembelih leher sendiri. (Cek-ilehh, ngancem ni critenye?)

Keruan saja Erri dan kawan-kawan menjadi kecut ketakutan, apalagi si Rahab yang berada dekat dengan wanita tersebut. Mereka bertujuh sama mengangguk tanda mengerti dengan maksud Bu Sekar.

(Eeh…? Kok ente ikut-ikutan ngangguk sih, Con?! Pan ente cewek, gak mungkin lah ente juga masuk itungan)

Puas mengancam Erri dan kawan-kawan, Bu Sekar balik badan, berlalu dari ketujuh orang tersebut. Melangkah ke meja kasir, di mana kedua anak gadisnya duduk sembari menundukkan wajah.

“Fitria, Shin,”

“I-iya, Ma,” sahut Fitria dan Shin tergagap, nyaris berbarengan, takut kena dimarahi sang ibu.

“Jangan ganjen, ingat!” ujar sang ibu lagi, kembali sang anak sama mengangguk. “Mama gak suka kalian berhubungan dengan orang yang sama sekali gak kalian atau Mama kenal, paham?”

“Iya, Ma, paham,” kembali Fitria dan Shin menyahuti dengan kepala tertunduk.

Ketujuh orang itu sama menunduk, pura-pura tidak mendengar suara si pemilik kafe. Bu Sekar memalingkan pandangannya pada ketujuh orang tersebut. Karena takut kena damprat, ketujuh orang ini sama gelagapan saat beradu pandang dengan si nyonya pemilik kafe itu. (Huahahah mati-kutu dah tuh. Eeh, kutu siapa yak?)

Sang pemilik kafe terlihat mendengus, bersungut-sungut pada ketujuh orang tamu kafenya itu, kemudian berlalu dari sana, melangkah ke sudut kanan dari keberadaan meja kasir, lantas menghilang dari balik pintu yang terdapat di sana.

Begitu sang empunya kafe menghilang di balik pintu, Erri dan keenam yang lainnya sama melepas napas lega. Rahab tersenyum kecut memandang pada Shin dan Fitria di belakang meja kasir sana, dan senyuman pria ini semakin terasa kecut dan asam saat si sulung Fitria mencibirkan bibirnya sedemikian rupa.

“Galak amat, ya?” bisik si Nandar.

“Husst,” timpal Conni dengan menekan suaranya. “Ntar dia denger, habis sampeyan,”

Si Nandar menelan ludah, ia mengerti ucapan si Conni. Sementara yang lain kembali terkekeh menanggapi ucapan si Nandar, mungkin ada benarnya juga ucapan tuh anak.

“Ssstt…!” si Buyut coba hentikan tawa yang lain.

Semua orang kembali terdiam, hening. Sepasang mata sama mengarah pada si Buyut, sementara pria ini justru memandang ke arah Fitria dan Shin. Saat semua orang terdiam hening.

Tiba-tiba…

Dhuuutt…

Bunyi itu terdengar jelas dan cukup panjang.

“Pe-ak…!” teriak Rahab, kemudian menjauh sembari menutupi hidungnya.

“Oncom…!” timpal Erri juga menutupi indra penciumannya.

“Wuedan koe…!” maki Conni sambil mengangkat kerah bajunya menutupi hidung.

Ternyata si Buyut buang gas beracun di hadapan teman-temannya, dan baunya sungguh luar biasa (Naudzubillah… Yut-Yut, parrah. Ente habis makan kain pel-an, ya?) Bahkan si Lipul seperti akan muntah segala. Ahh, ada-ada saja kelakuan pria yang satu itu memang.

***
TULISAN INI PERTAMA KALI DIPUBLIKASIKAN DI WWW.KOMPASIANA.COM COPASING DIIZINKAN DENGAN MENYERTAKAN URL LENGKAP POSTINGAN DI ATAS, ATAU DENGAN TIDAK MENGUBAH MENGEDIT AMARAN INI

6 komentar: