Rabu, 11 Maret 2015

Attitude Changes Everything

Attitude Changes Everything

Mandata Manurun Malereang Mandaki


Sebelum saya menuliskan unek-unek ini, izinkan saya meminta maaf terlebih dahulu. Sebab saya yakin, sahabat semua mungkin merasa ter-guru-i, sebab saya terkesan menggurui.
Sebab itu saya meminta maaf.
Pada sahabat sepantaran, sahabat yang lebih tua, pun sahabat yang lebih kecil (dalam usia). Tidak menyebut nama, tanpa membilang gelar.
Bila tersinggung kata ucapan, jika tersenggol dalam tulisan, hanya satu pinta badan, mohon maaf dalam kerelaan.

Dalam melakukan kegiatan sehari-hari, sangatlah besar peluang seorang individu ‘bersinggungan’ dengan individu lainnya. ‘Bersentuhan’ dalam setiap hal. Entah itu orang tua pada anak, adik pada kakak, tetangga pada tetangga, hingga dalam lingkup nasional – mungkin juga internasional.
Baik secara nyata – bersentuhan dalam arti sebenarnya – entah itu ucapan, juga perbuatan. Bahkan hingga yang hanya berupa tulisan – dalam semua media sosial yang saat sekarang ini banyak sekali ragamnya. Sebut saja dua raksasanya; Facebook dan Twitter.

Di sini (sekali lagi maaf) saya hanya sedikit menyorot hal yang sering (mungkin) kita abaikan. Yakni; Sikap dan Ucapan. Sebab dua hal inilah yang paling banyak (menurut pandangan saya) menyulut pertengkaran. Dari adu mulut, caci-maki di status media sosial, komentar-komentar yang (maaf) tidak pada tempatnya, hasutan-hasutan berujung pada fitnah dan provokasi, perkelahian, hingga (maaf) kehilangan nyawa.

“Bukan batu besar yang menghalangi perjalanan, melainkan kerikil kecil dalam sepatu”

 
Saya teringat beberapa hal yang (dulu) sering saya dengar dari orang-orang tua di kampung, juga dari orangtua saya sendiri. Yakni kata-kata pepatah.

“Lidah tiada bertulang, ia umpama pisau bermata dua”, atau yang sedikit (menurut saya) lebih kasar; “Mulutmu harimau-mu, yang akan menerkam kepalamu sendiri”

Saya sangat yakin, dalam setiap sendi adat budaya masing-masing suku di Indonesia ini, pastilah mempunyai aturan – undang-undang negeri/adat – perihal bagaimana hidup bermasyarakat. Sebab manusia bukanlah makhluk individu. Kita memerlukan orang lain, pun begitu jua sebaliknya.
Rezeki tidak datang atau jatuh begitu saja dari langit (sebab ini bukan dunia dongeng). Rezeki kait-mengait, sangkut-menyangkut dari satu tangan ke tangan yang lainnya.
Sebab itu saya yakin, jika dalam setiap adat-istiadat di Indonesia memiliki aturan tentang itu. Bagaimana berbicara dan bersikap pada seseorang, entah itu orang terdekat, orang lain hingga seseorang yang baru ditemui.

Orang tua saya dulu mengajarkan empat hal pada saya (terkait hal di atas), yakni; Mandata, Manurun, Malereang, Mandaki. (Bahasa Minang – Sumatera Barat)
Dalam Bahasa Indonesia; Mendatar, Menurun, Melereng (Miring), Mendaki.

Empat hal itu adalah yang selalu diingatkan orang tua saya kepada setiap anak-anaknya, terkhususnya pada anak-anak mereka yang akan merantau ke negeri orang.

“Cucuran atap, jatuhnya ke pelimbahan jua”
“Buah jatuh tidak jauh dari batangnya”


 
Mandata (Mendatar): Bagaimana berbicara dan bersikap pada seseorang yang sepantaran/seusia/sama besar.
Dalam hal ini, tentulah cara bicara dan bersikap lebih ke arah, gurauan, candaan yang terkadang melewati batas, atau istilahnya; sama kasar. 

“Kawan samo batangka”
Dalam Bahasa Indonesia: Teman bersenda-gurau.

Manurun (Menurun): Berbicara dan berperilaku pada seseorang yang usianya di bawah kita.
Jika pada seseorang yang lebih kecil, entah itu; adik, anak, menantu, bawahan, dll. Tentulah sangat berbeda gaya-nya (penyesuaian). Boleh dibilang, lebih halus dan lembut. Jikapun bergurau/bercanda tentulah jauh dari kata kasar sebagaimana jika bercanda dengan teman (lingkup; Mandata).

“Laruiknyo aie yo ka hilia”
Bahasa Indonesia: Larutnya (mengalirnya) air ya ke hilir.
Maksudnya: Apa yang didapat yang tua, diajarkan pada yang muda. Sengaja ataupun tidak. Langsung maupun tidak langsung.

Malereang (Melereng/Miring): Ini adalah sikap dan cara bicara pada seseorang yang baru dikenal/asing. Bisa di jalan, pasar, dsb.
Dalam konteks ini, haruslah seseorang itu ‘menyimpan’ sedikit kecurigaan. Bukan berarti menuduh/dakwa atau lainnya yang berkonotasi negatif. Sikap ini diambil sebab orang baru saja kita kenal.
Menjaga jarak, namun tidak pula menjauh. Dalam berbicara pun sedapat mungkin mengambil sikap ‘pelit’ alias tidak banyak bicara.
Jika mampu, janganlah diajak bercanda. Sebab “Kepala boleh sama hitam, tapi isinya berbeda-beda”

Mandaki (Mendaki): Tata-cara berbicara dan bersikap pada seseorang yang lebih tua.
Dan saya rasa, inilah yang paling sering diabaikan. Entah dalam artian sebenarnya (antara yang muda pada yang tua) atau juga dalam pandangan kebudayaan setempat (sebab ada beberapa orang yang dalam adat masing-masing dipandang lebih tinggi – dituakan).

“Cando manantang matohari”
Bahasa Indonesia: Umpama menantang matahari.
Maksudnya: Membantah dan menentang nasihat orang yang lebih tua, pada akhirnya yang rugi diri sendiri.

Sahabat, tentulah tidak dimungkiri juga jika; Dalam hal bersikap dan bertutur kata, pastilah ada satu-dua orang yang akan tersinggung – dalam hal dan karena apa pun jua itu. Sebab “Tak ada gading yang tak retak” pun jua “Sepandai-pandainya tupai melompat, sesekali akan jatuh jua”. Mungkin orang akan tersinggung dengan tingkah dan ucapan kita, mungkin juga kita yang melakukan kesalahan. Baik besar maupun kecil. Sengaja ataupun tidak.

“Baik kata kita, belum tentu baik kata orang.”

Pada akhirnya, tentulah berpulang lagi pada diri kita. Menyingkapi ketersinggungan orang lain, mengoreksi kesalahan diri. Berlapang hati memberi maaf. Ksatria mengakui kesalahan, meski pada seseorang yang lebih kecil sekalipun.

Jika itu dapatlah (semoga saja) terlaksana, barulah di dapat;
“Ke bukit sama mendaki, ke lurah sama menurun”
“Sedencing bak besi, seciap bak ayam”
“Berdiri sama tinggi, duduk sama rendah”
“Ringan sama dijinjing, berat sama dipikul”

Sikap dan ucapan mampu mengubah sesuatu. Dari baik menjadi buruk, dari nista menjadi berharga.


“Meminta maaf itu mulia, lebih mulia lagi memberi maaf”

----------------------------------------------------------------------------------------------------------------
TULISAN INI PERTAMA KALI DIPUBLIKASIKAN DI WWW.KOMPASIANA.COM, COPASING DIIZINKAN DENGAN MENYERTAKAN URL LENGKAP POSTINGAN DI ATAS, ATAU DENGAN TIDAK MENGUBAH/MENGEDIT AMARAN INI.
----------------------------------------------------------------------------------------------------------------
Sumber ilustrasi; https://esfandynamic.files.wordpress.com/2013/10/sopan-santun2.jpg

9 komentar:

  1. ...kadang petuah-petuah nenek moyang itu selalu dirangkai dalam bahasa indah semacam ini, beda dengan petuah-petuah modern...

    BalasHapus
    Balasan
    1. hehe :) hanya ingin melestarikan budaya leluhur lama Mas e
      makasih Mas Ryan

      Hapus
  2. Banyak nilai2 yg bisa dipetik dari ajaran orang tua kita dulu. Agak berbeda dengan zaman sosmed sekarang ini.
    Nice post mas Ando Ajo

    BalasHapus
    Balasan
    1. Benar banget Mas Pical :)
      petatah-petitih tua tersebut tentulah telah mengalami proses yang lama melintasi waktu
      tak lekang di panas
      tak lapuk di hujan

      makasih Mas e :)

      Hapus
  3. ambo satuju Uda....#ehh bener ga itu bahasanya?

    BalasHapus
    Balasan
    1. haha bener Nong :) juempolll buat ente Nong

      Hapus
  4. Saya membaca, menyimak, sambil melongo aja deh. :lol:

    BalasHapus