Inisial D
“Jadi,” songsong Dwipa, menyandarkan tubuhnya ke badan mobil. “Kaumenemukan sesuatu, Daan?”
Daan mengempaskan napas, dua tangan berada di sisi pinggang. “Entahlah… semua masih ambigu. Satu-satunya kesamaan, kemaluan korban yang hilang,” Daan menggerakkan kedua tangan sejajar bahu, menegaskan kata: hilang, pada ucapannya.
Dwipa melipat kedua tangan ke dada, berpikir
sejenak. “Dan ini, korban keempat…” desahan yang mengakhiri ucapannya seakan
meneriakkan pada Daan, jika sang Kepala Bareskrim Polda Bali tersebut berharap
pelaku—yang belum diketahui itu—tertangkap secepatnya. Begitu pula: mengungkap
motif pelaku yang mengebiri kemaluan korbannya.
Ya,
Daan sangat mengerti itu: keresahan warga, alih-alih wisatawan. Dan sampai
korban keempat ini, pihak Kepolisian masih mampu
menutupi. Tapi, andai jatuh korban lagi dan lagi, Daan sama khawatirnya dengan
sang atasan. Bali, akan kembali ditelan
ketakutan.
“Bagaimana
dengan ide; profesionalisme-nya?”
Daan
pun menyandarkan punggungnya ke mobil di hadapan Dwipa. “Yaa, saya masih
memiliki prasangka pelakunya seorang dokter bedah—setidaknya seseorang yang
sangat mengerti organ manusia.”
“Soal,
darah?”
Ya,
itu benar. Tidak setetes darah pun ditemukan tercecer di TKP, tidak pula
semenjak TKP pertama hingga keempat. Inilah yang memusingkan Daan sebagai “orang andalan” dalam tubuh Divisi Investigasi. Bahkan hal
ini pun sudah dipastikan oleh tim forensik yang tidak menemukan ceceran darah
meski telah menggunakan cairan luminol di sekitar TKP.
Daan
tidak mampu menjawab pertanyaan Dwipa, terlalu sulit, pikirnya. Penjahat macam apa yang mau bersusah-susah
agar darah korban tidak tercecer?
Dwipa
merentangkan kedua tangan, memutar-mutar leher mencoba mengusir rasa pegal di
tubuh. “Pukul tiga lewat sepuluh,” ujarnya melirik Daan. “Pulanglah, tenangkan
pikiran, kami mengandalkanmu. Pastikan paling lambat jam sembilan pagi nanti,
aku sudah menerima laporanmu di mejaku.”
Daan
mengangguk lemah. “Permisi, Ndan.”
Dwipa
mengawasi mobil Daan yang meluncur pelan meninggalkan TKP, menembus kebekuan
dini hari ini.
“Sudah
empat pria dalam sebulan,” gumam Daan dalam
perjalanan pulangnya. Meski jalanan sedikit lebih lengang dini hari ini, Daan
tak hendak buru-buru, ia butuh satu mukjizat dalam kasus kali ini. “Turis
Jepang, Australia, pria lokal, dan… India. Damn!
Ayolah Daan… keluarkan instingmu seperti yang sudah-sudah!”
Daan
memelankan laju mobilnya, memberi kesempatan sebuah truk pengangkut sampah
berbelok ke kiri. Dan kembali mobil Daan meluncur.
“Ayolaaah…”
kembali Daan bergumam menyemangati diri. “Pikir-pikir-pikir!” Daan bahkan
sampai menepuk-nepuk kepalanya sendiri. “Empat korban, pria, semua kisaran tiga
puluh tahunan. Tidak ada ID yang hilang, tidak juga uang dan harta di tubuh
korban. Lantas apaaa…? Ahh!”
Daan
nyaris saja melewatkan tikungan ke kanan di pertigaan, jalan menuju
apartemennya. Untung saja jalanan masih sepi, Daan jadi bisa memundurkan
mobilnya, dan berbelok ke kanan.
“Tiga
korban sebelumnya,” lanjut Daan seperti orang sinting berbicara ke diri
sendiri. “Dikebiri setelah dibunuh dengan menyumpal tenggorokan. Dan darah yang
dikeringkan dari tubuh mereka… Tidak ada jejak perlawanan. Keringat yang
mengering di tubuh.”
Semula—dari
dua korban sebelumnya—Daan dan rekan forensik berkesimpulan jika pelaku
berkemungkinan besar adalah wanita dan menyerang turis asing saja, mengingat
dua korban awal ditemukan tewas di atas ranjang. Seorang di kamar apartemennya,
lainnya di kamar sebuah penginapan di tepi pantai. Ditambah kenyataan bahwa
tubuh korban berkeringat yang menandakan ada aktifitas ranjang yang dilakukan
antara si korban dan pelaku. Reka yang ada dalam kepala Daan adalah: korban dan
pelaku berhubungan intim, kemudian korban merasa puas, lantas tertidur,
kemudian dibius oleh pelaku, dan pelaku menyumpalkan sesuatu seperti kain ke
tengggorokan korban, setelah korban tewas kehabisan napas dalam tidurnya,
pelaku mengebiri kemaluan korban, dan… mengeringkan darah korban.
Tapi,
korban ketiga yang adalah warga lokal yang ditemukan di tepian pantai, sedikit menyisikan deskripsi sang pelaku. Begitu
pula dengan korban keempat yang baru ditemukan tadi—di tengah kerapatan tanaman
kelapa. Dan dugaan pelaku adalah seorang yang sangat mengerti anatomi tubuh
manusia serta keperfeksionisan menjadi mencuat. Tidak adanya tetesan darah, dan
pengamputasian alat kelamin korban yang begitu rapi—nyaris sempurna, mengindikasikan
kedua hal tersebut.
Tanpa
terasa, Daan telah berada di depan gerbang apartemen. “Ahh, aku butuh
kesegaran, dan secangkir kopi hitam.”
Setengah
malas Daan membuka pintu apartemennya, bayang bathup dengan genangan air hangatnya,
membuat Daan sedikit bersemangat. Dan biasanya, itu ampuh menyegarkan
pikirannya. Berlama-lama merendam diri ditemani secangkir kopi hitam
kesukaannya. Perfect.
“Daisy!”
Daan seolah lupa pada kekasihnya itu.
“Hai,
Sayang.” Daisy merebahkan tubuhnya di atas sofa merah.
Daan
terkekeh, ya, ia memang memberikan duplikat kunci apartemennya pada Daisy. Dan,
posisi berbaring Daisy sekarang itu, menghasut gairah lain di dirinya.
Lebih-lebih, wanita 27 tahun itu hanya mengenakan kaos putih longgar saja
menutupi tubuhnya.
“Kapan
sampai?” tanya Daan sembari melepas pakaian atas di tubuhnya. Yang ia ingat
pasti, terakhir kali menikmati bibir
sensual itu sekitar sebulan yang lalu.
“Setengah
jam yang lalu,” Daisy mengerling manja, melipat kakinya sedemikian rupa.
“Kamu
terlihat letih banget,” ejek Daan, duduk di sofa yang sama, menggeser dan
mengangkat kaki Daisy ke atas pahanya.
“Yaa,
setengah jam sebelumnya nungguin kamu di kafe bawah.”
“Novelmu
gimana?” Daan coba memberikan terapi
ringan di kedua kaki Daisy.
“Mentok
lagi.” Daisy tertawa, sedikit kegelian akibat kenakalan tangan Daan yang memijit pahanya.
“Sebulan
di Lombok masih mentok juga?!” Daan terkekeh, punggung tangannya dicubit oleh
Daisy, dan juga bibir yang sengaja dimonyong-monyongkan itu menanggapi
pertanyaan sekaligus keheranannya. “Hahh, ya udahlah. Kamu mau ikut, Sayang?”
Daisy mengangkat kedua alis indahnya, Daan terkekeh lagi. “Bathup, menyegarkan diri?”
Di
dalam kamar mandi. Dua
cangkir kopi hitam masih mengepulkan asap tipis, berjejer di atas meja keramik
kecil di sisi kanan Daan bersandar. Daan berendam sembari memeluk Daisy di
dalam bathup.
“Kasusnya
pelik juga, ya…” ujar Daisy
“Yaah,”
sahut Daan, dan mengecup rambut basah Daisy. “Hampir gak ada petunjuk—” saat
menyibakkan rambut Daisy ke depan bahu kanan wanita tersebut, Daan melihat dua
luka gores di leher belakang sang kekasih. “Leher kamu, kenapa, Yang?”
“Agas.
Gatel banget, yaa aku garukin aja ampe lecet.”
Daan
memiringkan kepala, ia perhatikan lagi areal luka gores di tengkuk Daisy. Tidak
ada bekas gigitan nyamuk pantai itu di lehernya, gumam Daan dalam hati. Itu,
tidak mirip sama sekali dengan luka lecet akibat garukan. Lebih terlihat
seperti luka cakaran dalam sekali tarikan.
Intuisi
Daisy tak bisa dianggap biasa saja, sebagai seorang novelis perfeksionis, hal
sekecil apa pun akan menjadi pertimbangan lain baginya. Termasuk, gerak tangan
Daan yang seolah terhenti, dan debaran tak beraturan yang ia rasakan di
punggungnya dari dada pria tersebut.
“Masak
kamu cemburu sama nyamuk pantai, sih?” manja Daisy dengan mengulas senyum
teramat manis.
Jam
tujuh
pagi. Daan dalam perjalanan menuju Mapolda. Dalam kondisi jalan ramai pagi ini,
butuh waktu nyaris satu jam bagi Daan untuk mencapai kantornya. Dan sialnya, ia
melupakan laporan yang diminta Dwipa. Ya, keberadaan Daisy membakar gairahnya
malam tadi. Dan Daisy pun telah meninggalkan kamar apartemen di awal hari,
kebiasaan gadis tersebut sedari awal dikenal Daan.
“Apa
yang bisa kuperbuat?” desah Daan mengenang tingkah Daisy yang suka pergi begitu
saja tanpa pamit, tanpa memo. “Apa semua penulis seperti itu?!”
Daan
tiba-tiba terdiam, kembali memikirkan dua luka gores di tengkuk Daisy. Seakan
mengingat sesuatu yang terabaikan, Daan bergegas menghubungi seseorang lewat
ponselnya.
“Hallo,
Danang. Saya minta kamu memeriksa kuku tangan korban… ya, TKP pantai. Benar,
korban ketiga. Ya. Ok, secepatnya. Satu jam lagi saya akan berada di kantor.”
“Rhesus
Negatif? B?” ulang Daan.
“Ya.
Anda terlihat tidak senang, Pak?” sahut Danang memerhatikan mimik wajah Daan
yang lain dari biasanya.
“Yakin
cuma ini saja yang kautemukan?”
selidik Daan lagi.
Danang
mengangguk pasti, cuma sedikit bercak darah yang bisa ia temukan di kuku korban
ketiga tersebut, nyaris luput dari mata telanjang.
Daan
menghela napas panjang. “Terima kasih,” ujarnya sambil berlalu dari ruang
laboratorium tersebut.
“Sial…
bagaimana ini?” geram Daan seorang diri di koridor lengang itu. Di satu sisi,
ia senang sebab dengan informasi dari Danang, jelas Daisy tidak lagi menjadi kandidat pelaku-nya. Namun di sisi lain,
kembali ia harus memulai dari nol. Ahh, tidak. Dari angka satu, paling tidak ia
sudah mengantongi golongan darah pelaku yang tergolong langka—Rhesus Negatif.
Daan
baru akan mencapai pintu kantor sang komandan saat ponselnya berdering.
“Daisy,
kurasa ini bukan saat yang tep—ehh, apa? Dari mana kamu—ahh, shit aku lupa merapikan meja. Apa…?!
Inisial katamu? Damn, benar juga. Thanks Hon, I’ll get you later. Bye—“
“Daan,”
seru Dwipa saat akan keluar dari dalam kantornya. “Untung kau sudah di sini.”
“Eeh…?”
“Sanur.
Hotel yang baru direnovasi tiga bulan yang lalu,” sahut Dwipa menjawab keanehan di wajah Daan.
“Biar
saya tebak,” sahut Daan mengiringi langkah Dwipa. “Korban lainnya dengan
inisial; D.” Daan bisa melihat tanya besar dari tatapan Dwipa kala memandang
kepadanya, sebelum keduanya menghilang di pintu berikutnya.
“Hebat,”
seru Dwipa menuruni anak tangga. “Tapi sudah tidak terlalu penting.”
“Maksud
Anda, Ndan?”
“Kali
ini korbannya tidak sampai kehilangan nyawa, dan—“ keduanya berada di dalam
satu mobil yang sama. Dwipa yang mengemudi. “—Si korban berhasil menangkap
pelakunya.”
Keterkejutan
Daan sekaligus kelegaan akan tertangkapnya pelaku dijawab Dwipa dengan raungan
mobil yang meluncur ke arah timur.
Daan
masih berdiri bersidekap dada,
menunggu dua perawat itu keluar dari kamar tersebut. Di atas ranjang, seorang
pria tergolek lemah. Ia baru saja menjalani operasi darurat—beberapa jahitan di
areal kemaluannya.
“Katakan,
Dana,” bayang kelabu mewarnai wajah Daan. “Haruskah aku bersyukur karena kau
tidak menjadi korban kelima, atau aku harus menamparmu atas nama Kakak ipar?”
Dana
tak mampu menjawab pertanyaan adik-kembarannya itu. Ia ingin saja memohon untuk
menyelamatkan rumah tangganya, namun rasa bersalah memaku lidahnya.
Daan
memandang iba Dana. “Untuk kali terakhir. Tapi berjanjilah, buang gairahmu pada
istrimu sendiri.” Daan melangkah keluar kamar, ia yakin Dana telah mendapat hukuman lebih daripada cukup.
“Baiklah
Nona
Dian.”
Daan
harus menginterogasi pelaku, bukan untuk penangkapan karena hal itu sudah
pasti, lebih kepada motif gadis 28 tahun tersebut. Di dalam ruangan empat kali
enam meter persegi, hanya ada satu meja panjang dengan dua kursi. Satu kursi
diduduki Daan, satunya lagi di seberang meja, diduduki Dian.
Dwipa
dan beberapa petugas lainnya, menyaksikan “sesi” tersebut dari balik kaca
persegi di dinding sebelah kanan Daan. Kaca antipeluru yang hanya bisa melihat dari sisi luar saja.
“Kenapa
harus mengeringkan darah korban?”
“Kau
tidak ingin bertanya; kenapa harus memotong penis mereka?”
Daan
terkekeh, memantik sebatang rokok. “Kaumerokok?” Daan melemparkan bungkus rokok
menthol ke atas meja, meluncur ke arah Dian berikut dengan pemantiknya.
“Lupakan itu. Kau bukan perempuan pertama yang memotong kemaluan pria, jadi—“
asap putih mengepul dari mulut Daan. “—Aku lebih tertarik soal darah.”
Dengan
kedua tangan yang disatukan oleh borgol, Dian mengeluarkan sebatang rokok dan
menyalakannnya. “Aku femme yang menyukai femme.”
“Menarik,”
Daan terkekeh. “Kaumembunuh demi pasanganmu, begitu?” Dian menanggapi
pertanyaan Daan dengan tawa, tawa tak bersuara. “Darah?”
Dian
mengisap rokok lebih dalam. “Kautahu… bercinta itu adalah seni tertinggi.
Sebagian mereka bilang; seni ilahi. Kauingin melakukan apa saja saat bergumul. Bercinta dalam genangan darah yang
hangat, itu—sensasi yang luar biasa. Kaumau mencoba?”
“Lewatkan
saja,” Daan mematikan rokok ke dalam asbak.
Di
luar, Dwipa dan beberapa anggota saling pandang. Bergidik ngeri mendengar
pengakuan wanita tersebut.
“Jadi…
siapa femme yang satu lagi?”
“Aku
tidak akan mengatakannya,” Dian mencibir. Sebelum Daan membuka mulut, Dian
mendahului, “Kaupikir dia juga terlibat?” Daan mengangkat kedua bahu. “Kau
tidak mengerti apa-apa tentang kami—“
“Kurasa,”
potong Daan. “Aku lebih dari mengerti.”
“Begitu?”
Dian terkekeh lantas menjentikkan sisa rokok.
Daan
memiringkan kepalanya ke kiri menghindari terjangan
puntung rokok, lantas mengumbar senyum.
Dayita Calya…
Dian terkekeh lagi, ia ingin saja menyebutkan nama itu sekencang-kencangnya.
Namun, ia memilih menyimpannya dalam hati.
“Bisa
kau lebih bekerja sama?”
“Dan
kalian akan mengurangi hukumanku?” Dian sunggingkan kesinisan di sudut bibir.
Daan
mengangkat bahu lagi, “Mungkin saja.”
“Aku
tidak akan bicara padamu lagi, sebelum mendapatkan pengacara!”
Beberapa
bulan
kemudian.
Daan melangkah mantap keluar dari dalam
lift, menuju pintu apartemennya. Sebenarnya, ia sangat berharap Daisy ada di
dalam, dan ia akan sedikit “merayakan” pengeksekusian pelaku pembunuhan sadis
beberapa bulan yang lalu. Sayang, Daisy tengah berada di Jakarta.
“Gimana
peluncuran novelmu, Sayang?” sapa Daan membuka obrolan via ponsel.
“Yaah, lumayanlah. Kuharap dengan
begini bisa mengangkat genre ini.”
“Haa,
begitu. Yaa, kudoakan, deh. Buat kamu, apa sih yang enggak?”
Daisy
terkekeh mendengar ucapan merajuk
Daan tersebut. Ia cukup tahu jika sekarang sang kekasih butuh kehangatannya.
“Gimana dengan kasusmu itu, Yang?”
“Haaa…”
Daan mengempaskan tubuhnya ke atas pembaringan. “Ternyata Nona Kutu Buku
tertarik juga dengan kasus pembunuhan. Hmm…”
“Yaah, ngambek tuh… hahaha. Siapa
tahu bisa menginspirasi novelku yang berikutnya. Ngasi roh gitu.”
Daan
tertawa menanggapi kelakar Daisy. “Yaa, aku merasa sayang saja.”
“Sayang?”
“Begitulah.
Muda, sangat pintar, mahasiswi kedokteran… S2 pula,” Daan mendesah panjang. “Ya
sudahlah. Kamu kapan pulang? Kangen, nih…”
“Dua hari lagi. Baiklah, Sayang.
Aku mau mandi dulu.”
“Bye, jangan
tidur kelewat malam lhoo.”
Daisy
tersenyum liar, menatap tubuh setengah telanjangnya di depan cermin. Kepala
masih dilindungi lilitan handuk.
“Kautahu,
Daan?” gumamnya. “Novel itu butuh nyawa, Sayang. Nyawa. Untuk menghidupkan
setiap unsur yang ada di dalamnya. Tapi sudahlah. Kau tidak akan tahu itu,
Sayang, tidak akan tahu. Kau tidak suka membaca novel. Ahh, aku suka sisimu
yang satu itu.”
Daisy
terkekeh sembari melemparkan ponsel ke atas ranjang. Di tangan kirinya,
tergenggam sebuah novel yang baru saja dicetak. Pada sampul novel berjudul
‘XYZ’ tersebut, tertera nama sang penulis: Dayita Calya.
---o0o---
TULISAN
INI PERTAMA KALI DIPUBLIKASIKAN DI WWW.KOMPASIANA.COM COPASING DIIZINKAN DENGAN
MENYERTAKAN URL LENGKAP POSTINGAN DI ATAS, ATAU DENGAN TIDAK MENGUBAH/MENGEDIT
AMARAN INI.
Ando
Ajo, Jakarta 23 Maret 2016.
Catatan:
Luminol;
Chemiluminescence (C8H7N3O2)
cairan kimia yang mampu mendeteksi unsur partikel darah dari satu objek.
Biasanya digunakan bersama zat Hidrogen Peroksida (H2O2)
dalam ilmu forensik. Saat menyentuh objek yang terkena darah (dan atau pun
pernah terkena darah) cairan luminol akan memancarkan cahaya biru terang dalam
gelap.
Agas:
nyamuk
pantai, kecil-kecil, namun dengan gigitan lebih menyengat dan menimbulkan
bengkak serta gatal luar biasa.
Rhesus
Negatif: golongan darah yang tidak memiliki Aglutinogen (senyawa
yang menjadi faktor penggumpalan darah) di permukaan sel darah merahnya.
Femme;
istilah
dalam kaum LGBT untuk merujuk lesbian yang berkarakter feminin.
Dayita
Calya; dari bahasa Sanskerta. Dayita: kekasih. Calya: tanpa
cacat.
Cerpen yang sangat keren. Hebat kak Ando (y)
BalasHapusThanks Bro
HapusAku suka Mas Ando blognya juga isinya..
BalasHapusMakasih MBak Maya :)
HapusManstaf juga......salam
BalasHapusManstaf juga......salam
BalasHapusmakasih Pak Edy^^
Hapus