Selasa, 09 Agustus 2016

Sumpah ini Pemuda

Sumpah ini Pemuda



“Kau tidak bosan?”
       “Bosan?” Maun terkekeh, mungkin baginya akulah yang harus di-tertawa-i. “Bagaimana mungkin kau mengharap perubahan bila kau selalu terbentur kata; bosan?”
             “Haah, sudahlah,” sanggahku, seperti biasa Maun pasti akan mengeluarkan jurus ceramahnya padaku. “Aku mau berangkat kerja dulu, waktu makan siang sudah usai, nih.”
          Kutinggalkan Maun begitu saja, aku sangat yakin jika dia pastilah menatap punggungku dengan menggelengkan kepala, plus gurat senyum di bibirnya yang menghitam.
Maun adalah sahabatku sedari STM dulu. Hanya saja, ia tidak seberuntung teman-teman yang lain. Sepertiku. Mendapat pekerjaan yang layak, gaji yang tetap—bahkan bila kau bagus, bisa lebih daripada itu. Tapi… dia berbeda. Yaa, aku tidak bisa mengacuhkan itu, Maun pernah beberapa kali mendapat pekerjaan—sebut saja sesuatu yang layak daripada yang sekarang. Entahlah, hanya beberapa bulan saja, dan ia memutuskan keluar dari pekerjaannya.
Kau mungkin akan membalikkan ucapannya. Soal, bosan tadi. Tapi Maun selalu punya alasan untuk berkilah. Yang paling sering ia gunakan; “Rasanya ada yang tidak beres.” Entah apa pun itu artinya, aku sendiri juga tidak mengerti. Dan di sanalah dia, sehari-hari membersihkan sungai yang tak lagi bisa disebut sungai. Sudah dua tahun Maun melakukan itu, dan aku tidak melihat ada perubahan sama sekali. Maksudku, soal kehidupannya. Yaa, meski ada upah yang ia terima dari pemerintah setempat, tapi menurutku itu terlalu kecil dari tenaga dan usaha yang ia keluarkan.
Sudahlah, kutinggalkan saja dia dulu. Ada hal yang harus kupikirkan—dan lebih utama—laporanku kepada atasan. Hahh, malas sekali rasanya kaki ini untuk melangkah.

*

“Bagus, ketawai aja terus…!” dengusku, dan melampiaskan emosi di diri pada jus jeruk di dalam gelas. Ludes.
Maun tak jua mau berhenti tertawa, menyesal juga rasanya aku menceritakan kejadian siang tadi padanya. Maksudku, soal laporanku pada atasan di kantor. Hahh, apa yang bisa kulakukan? Atasan tidak menerima laporanku dengan baik, kadang aku berpikir apa dia tidak bisa melihat dari sisi diriku. Capek gitu lhoo… dan itu tidak dihargai? Waoow… Terlalu banyak kesalahan, begitu kata atasanku, dan yaa kau bisa membayangkan dia berujar sambil menghempaskan setumpuk kertas itu ke atas meja, tepat di hadapanku.
“Kau itu berangkat pagi—rapi lagi, pulang udah malam… kusut pula,” sahut Maun, dan itu menjengkelkan. “Kerja, apa dikerjain?”
Hahh, aku tidak ingin  menanggapi pertanyaan itu, bisa-bisa kehilangan kontrol diri. Yang bisa kulakukan, hanya meremas rambut, biar pada rontok atau botak sekalian.
“Lupakan itu,” ujarku sesaat kemudian, “Kau tidak mau kerja yang lebih baik?”
“Seperti dirimu, itu?!”
“Berengsek…!” lihat, begini saja sudah membuatku kesal nih cowok satu. “Maksudku, kau bisa mendapatkan pekerjaan yang lebih baik dari sekadar membersihkan kotoran sungai. Kau tidak perlu mencontohku,”
“Baiklah, akan aku turuti ucapanmu,” Maun menyeringai, “Terus, siapa yang bakal membersihkan sungai-sungai itu?”
“Heehh, capek ngomong ama kamu,” dengusku lagi.
Maun tertawa lagi. Entah apa yang ada dalam tempurung kepalanya itu. Maun sendiri bukanlah orang bodoh, maksudku, dulu dia adalah anak yang pintar—aku serius. Jadi kami pikir—paling tidak aku sendiri—dia pasti bisa menemukan pekerjaan yang cocok, yang sangat ia sukai untuk menyokong perekonomiannya sendiri.
“Kau tidak terpikirkan untuk mengumpulkan… entahlah, biaya mungkin. Kau pasti ingin memiliki istri bukan, keluarga kecilmu sendiri?”
“Kenapa?”
Pertanyaan itu, plus sepasang alis yang mengerut aneh, membuatku tidak bisa memarahinya. Dan lagi, apa urusanku? Maun hanya teman, dan sebagai teman aku tentu hanya bisa memberi saran terbaik, sesederhana itu.
“Ayolah, aku serius,” ujarku mengalah.
“Kau pernah punya mimpi?”
Aku mencibir menanggapi pertanyaan itu, tidak relevan, begitu pikirku untuk seusia kami. Lain hal bila kau masih kecil, unyu-unyu… Maun tertawa lagi. Apa pun masalahnya, dia selalu tertawa seperti itu. Mengesalkan.
“Aku punya,” ujarnya melanjutkan ucapan. “Punya istri, punya anak lucu-lucu. Pagi lari bersama menghirup kesegaran alam. Sore bercanda ria di tepian sungai mengalir bening—“
“Jadi…” aku memotong ucapannya, tahu pasti ke mana perginya itu. “Kau akan berkata; Lantas bagaimana aku akan menikah dan punya keturunan jika alam tak sesegar yang dibayangkan, dan sungai tak sebening yang diharapkan. Begitu?”
Maun mengangguk, dan menghadirkan senyum teramat manis—menurutku—yang belum pernah kulihat selama ini.
“Kau gila!” dengusku. Entahlah, aku tidak tahu apa yang tengah kurasakan. Kecewakah? Marahkah? Atau justru senang mendengar impian konyol itu? “Kau terlalu naif, sobat… terlalu naif.”

*

“Apa itu?”
Aku bisa melihat banyak kerutan di jidat Maun yang hitam tersengat mentari itu. Aku… entahlah, mungkin naif seperti dia.
“Naiklah, dulu…!” teriakku kepadanya.
“Kenapa kau terlihat berbeda?”
Haha, sukar untuk menyembunyikan itu dari mata Maun. Ia keluar dari dalam sungai, yaa kotor dan bau. Bau dari sampah-sampah orang-orang yang merasa suci dan memiliki kota ini.
“Kau tidak sedang mengigau, kan?”
“Berhentilah menggodaku, pemuda berengsek!” dengusku meski senyum tak pernah pupus di bibirku. Kuserahkan bungkusan itu padanya, juga sekotak makanan untuk makan siangnya. “Sudah kuputuskan—“
“Apa itu?” potong Maun, “Ahh, akhirnya… kau mau juga menjadi istriku,”
“Jangan seenaknya memotong ucapan orang!” dan sial, Maun justru tertawa kencang menanggapi jeritanku. Aku merasa wajahku tebal, begitu tebal, pandangan beberapa orang yang berlalu lalang begitu aneh di mataku. “Aku… sebut aku naif, tapi aku banyak belajar darimu. Yaa, sudah saatnya kata; bosan, kuhapus dari kamus dalam kepalaku. Itu saja,”
Untuk pertama kalinya di mataku, Maun tidak banyak bicara seperti yang sudah-sudah. Dia hanya memandangiku, bungkusan dan kotak makanan di tangannya yang kotor berlumpur. Dan senyum indah seperti semalam.
“Aku, keluar dari pekerjaanku. Kuputuskan untuk pulang ke kampung saja. Kau benar, sobat. Masih banyak hal yang bisa dilakukan anak muda seperti kita. Masih banyak…”

*

Di kampung tidak banyak yang bisa kukerjakan. Yaa, bukan berarti tidak ada yang bisa kukerjakan. Ada kok. Aku menerapkan ilmu semasa kuliah dulu di sini. Mengumpulkan beberapa anak-anak yang putus sekolah dan yang tidak pernah mengecap pendidikan, mengajar mereka dua hal ilmu yang penting—menurutku. Mengenal tulisan, dan berhitung. Tidak ada yang membayarku, kecuali orang tua dari anak-anak tersebut. Lucu sekali, dan itu lebih banyak dengan berbentuk barang. Kau tahu yang kumaksud? Seikat sayuran, ikan, atau apalah itu yang menjadi mata pencarian mereka.
Yaah, memang tidak banyak yang bisa kulakukan. Naif sekali. Aku tersenyum sendiri, separti apa jika Maun si pemuda berengsek itu melihatku di sini. Hahaha… lupakan saja.

Waktu bergulir begitu cepat. Dua tahun sudah aku berada di kampung halaman. Satu hal yang selalu menggelitik rasa ingin tahuku; bagaimana keadaan Maun sekarang? Jadi, kuputuskan untuk kembali ke Jakarta. Sudah lama rasanya tidak mendapat kabar dari dia. Hmm, terakhir setahun yang lalu.

*

Aku menemukan dia di tempat yang sama, seperti dulu. Maun masih setia pada sungai itu. Tidak ada yang berbeda, kecuali rambut yang sedikit gondrong dan kulit tubuh yang semakin mirip batu pualam. Satu lagi, ada empat orang lainnya yang sekarang membantu Maun membersihkan sungai itu.
Lama aku memandanginya sebelum ia menyadari kehadiranku. Dan sungguh, senyuman manis di bibir menghitam itulah yang kunantikan. Maun merangkak ke tepian.
“Haaa, bagaimana?” sahutnya tanpa rasa grogi sama sekali, maksudku sudah terpisah dua tahun, basa-basi dulu kek, apa kek. Menyebalkan. “Kau sudah memutuskan untuk menjadi istriku?”
Entah kenapa, kali ini aku tidak memaki sebagaimana dulu-dulu itu. Aku terkekeh menanggapi ucapannya.
“Sudah lama juga, ya?” ujarnya lagi. “Aku sih, sebenarnya pengen meluk kamu, gitu. Tapi… ya kamu lihat sendiri, kan?”
Lumpur bau masih menempel mesra di tubuhnya. Hahaha, sudah pasti aku akan menolak.
“Aku, hanya ingin mengatakan satu hal padamu, Maun,” kutatap dalam kedua matanya.
“Kau boleh mengatakan apa pun yang kau mau,”
“Aku serius… aku, juga memiliki mimpi yang sama!”



Ando Ajo, Jakarta 09 Agustus 2016.

2 komentar: