Sumpah ini Pemuda
“Kau tidak bosan?”
“Bosan?” Maun terkekeh, mungkin baginya akulah yang harus di-tertawa-i. “Bagaimana mungkin kau mengharap perubahan bila kau selalu terbentur kata; bosan?”
“Haah, sudahlah,” sanggahku, seperti biasa Maun pasti akan mengeluarkan jurus ceramahnya padaku. “Aku mau berangkat kerja dulu, waktu makan siang sudah usai, nih.”
Kutinggalkan Maun begitu saja, aku sangat yakin jika dia pastilah menatap punggungku dengan menggelengkan kepala, plus gurat senyum di bibirnya yang menghitam.
“Bosan?” Maun terkekeh, mungkin baginya akulah yang harus di-tertawa-i. “Bagaimana mungkin kau mengharap perubahan bila kau selalu terbentur kata; bosan?”
“Haah, sudahlah,” sanggahku, seperti biasa Maun pasti akan mengeluarkan jurus ceramahnya padaku. “Aku mau berangkat kerja dulu, waktu makan siang sudah usai, nih.”
Kutinggalkan Maun begitu saja, aku sangat yakin jika dia pastilah menatap punggungku dengan menggelengkan kepala, plus gurat senyum di bibirnya yang menghitam.
Maun adalah
sahabatku sedari STM dulu. Hanya saja, ia tidak seberuntung teman-teman yang
lain. Sepertiku. Mendapat pekerjaan yang layak, gaji yang tetap—bahkan bila kau
bagus, bisa lebih daripada itu. Tapi… dia berbeda. Yaa, aku tidak bisa mengacuhkan
itu, Maun pernah beberapa kali mendapat pekerjaan—sebut saja sesuatu yang layak
daripada yang sekarang. Entahlah, hanya beberapa bulan saja, dan ia memutuskan
keluar dari pekerjaannya.
Kau mungkin
akan membalikkan ucapannya. Soal, bosan tadi. Tapi Maun selalu punya alasan
untuk berkilah. Yang paling sering ia gunakan; “Rasanya ada yang tidak beres.”
Entah apa pun itu artinya, aku sendiri juga tidak mengerti. Dan di sanalah dia,
sehari-hari membersihkan sungai yang tak lagi bisa disebut sungai. Sudah dua
tahun Maun melakukan itu, dan aku tidak melihat ada perubahan sama sekali.
Maksudku, soal kehidupannya. Yaa, meski ada upah yang ia terima dari pemerintah
setempat, tapi menurutku itu terlalu kecil dari tenaga dan usaha yang ia
keluarkan.
Sudahlah,
kutinggalkan saja dia dulu. Ada hal yang harus kupikirkan—dan lebih
utama—laporanku kepada atasan. Hahh, malas sekali rasanya kaki ini untuk
melangkah.
*
“Bagus,
ketawai aja terus…!” dengusku, dan melampiaskan emosi
di diri pada jus jeruk di dalam gelas. Ludes.
Maun tak
jua mau berhenti tertawa, menyesal juga rasanya aku menceritakan kejadian siang
tadi padanya. Maksudku, soal laporanku pada atasan di kantor. Hahh, apa yang
bisa kulakukan? Atasan tidak menerima laporanku dengan baik, kadang aku
berpikir apa dia tidak bisa melihat dari sisi diriku. Capek gitu lhoo… dan itu
tidak dihargai? Waoow… Terlalu banyak kesalahan, begitu kata atasanku, dan yaa
kau bisa membayangkan dia berujar sambil menghempaskan setumpuk kertas itu ke
atas meja, tepat di hadapanku.
“Kau itu
berangkat pagi—rapi lagi, pulang udah malam… kusut pula,” sahut Maun, dan itu
menjengkelkan. “Kerja, apa dikerjain?”
Hahh, aku
tidak ingin menanggapi pertanyaan itu,
bisa-bisa kehilangan kontrol diri. Yang bisa kulakukan, hanya meremas rambut,
biar pada rontok atau botak sekalian.
“Lupakan
itu,” ujarku sesaat kemudian, “Kau tidak mau kerja yang lebih baik?”
“Seperti
dirimu, itu?!”
“Berengsek…!”
lihat, begini saja sudah membuatku kesal nih cowok satu. “Maksudku, kau bisa
mendapatkan pekerjaan yang lebih baik dari sekadar membersihkan kotoran sungai.
Kau tidak perlu mencontohku,”
“Baiklah,
akan aku turuti ucapanmu,” Maun menyeringai, “Terus, siapa yang bakal
membersihkan sungai-sungai itu?”
“Heehh,
capek ngomong ama kamu,” dengusku lagi.
Maun
tertawa lagi. Entah apa yang ada dalam tempurung kepalanya itu. Maun sendiri
bukanlah orang bodoh, maksudku, dulu dia adalah anak yang pintar—aku serius.
Jadi kami pikir—paling tidak aku sendiri—dia pasti bisa menemukan pekerjaan
yang cocok, yang sangat ia sukai untuk menyokong perekonomiannya sendiri.
“Kau tidak
terpikirkan untuk mengumpulkan… entahlah, biaya mungkin. Kau pasti ingin
memiliki istri bukan, keluarga kecilmu sendiri?”
“Kenapa?”
Pertanyaan
itu, plus sepasang alis yang mengerut aneh, membuatku tidak bisa memarahinya.
Dan lagi, apa urusanku? Maun hanya teman, dan sebagai teman aku tentu hanya
bisa memberi saran terbaik, sesederhana itu.
“Ayolah,
aku serius,” ujarku mengalah.
“Kau pernah
punya mimpi?”
Aku
mencibir menanggapi pertanyaan itu, tidak relevan, begitu pikirku untuk seusia
kami. Lain hal bila kau masih kecil, unyu-unyu…
Maun tertawa lagi. Apa pun masalahnya, dia selalu tertawa seperti itu.
Mengesalkan.
“Aku
punya,” ujarnya melanjutkan ucapan. “Punya istri, punya anak lucu-lucu. Pagi
lari bersama menghirup kesegaran alam. Sore bercanda ria di tepian sungai
mengalir bening—“
“Jadi…” aku
memotong ucapannya, tahu pasti ke mana perginya itu. “Kau akan berkata; Lantas
bagaimana aku akan menikah dan punya keturunan jika alam tak sesegar yang
dibayangkan, dan sungai tak sebening yang diharapkan. Begitu?”
Maun
mengangguk, dan menghadirkan senyum teramat manis—menurutku—yang belum pernah
kulihat selama ini.
“Kau gila!”
dengusku. Entahlah, aku tidak tahu apa yang tengah kurasakan. Kecewakah?
Marahkah? Atau justru senang mendengar impian konyol itu? “Kau terlalu naif,
sobat… terlalu naif.”
*
“Apa
itu?”
Aku bisa
melihat banyak kerutan di jidat Maun yang hitam tersengat mentari itu. Aku…
entahlah, mungkin naif seperti dia.
“Naiklah,
dulu…!” teriakku kepadanya.
“Kenapa kau
terlihat berbeda?”
Haha, sukar
untuk menyembunyikan itu dari mata Maun. Ia keluar dari dalam sungai, yaa kotor
dan bau. Bau dari sampah-sampah orang-orang yang merasa suci dan memiliki kota
ini.
“Kau tidak
sedang mengigau, kan?”
“Berhentilah
menggodaku, pemuda berengsek!” dengusku meski senyum tak pernah pupus di
bibirku. Kuserahkan bungkusan itu padanya, juga sekotak makanan untuk makan
siangnya. “Sudah kuputuskan—“
“Apa itu?”
potong Maun, “Ahh, akhirnya… kau mau juga menjadi istriku,”
“Jangan seenaknya
memotong ucapan orang!” dan sial, Maun justru tertawa kencang menanggapi
jeritanku. Aku merasa wajahku tebal, begitu tebal, pandangan beberapa orang
yang berlalu lalang begitu aneh di mataku. “Aku… sebut aku naif, tapi aku
banyak belajar darimu. Yaa, sudah saatnya kata; bosan, kuhapus dari kamus dalam
kepalaku. Itu saja,”
Untuk
pertama kalinya di mataku, Maun tidak banyak bicara seperti yang sudah-sudah.
Dia hanya memandangiku, bungkusan dan kotak makanan di tangannya yang kotor
berlumpur. Dan senyum indah seperti semalam.
“Aku,
keluar dari pekerjaanku. Kuputuskan untuk pulang ke kampung saja. Kau benar,
sobat. Masih banyak hal yang bisa dilakukan anak muda seperti kita. Masih
banyak…”
*
Di
kampung tidak banyak yang bisa kukerjakan. Yaa, bukan
berarti tidak ada yang bisa kukerjakan. Ada kok. Aku menerapkan ilmu semasa
kuliah dulu di sini. Mengumpulkan beberapa anak-anak yang putus sekolah dan
yang tidak pernah mengecap pendidikan, mengajar mereka dua hal ilmu yang
penting—menurutku. Mengenal tulisan, dan berhitung. Tidak ada yang membayarku,
kecuali orang tua dari anak-anak tersebut. Lucu sekali, dan itu lebih banyak
dengan berbentuk barang. Kau tahu yang kumaksud? Seikat sayuran, ikan, atau
apalah itu yang menjadi mata pencarian mereka.
Yaah,
memang tidak banyak yang bisa kulakukan. Naif sekali. Aku tersenyum sendiri,
separti apa jika Maun si pemuda berengsek itu melihatku di sini. Hahaha…
lupakan saja.
Waktu
bergulir begitu cepat. Dua tahun sudah aku berada di kampung halaman. Satu hal
yang selalu menggelitik rasa ingin tahuku; bagaimana keadaan Maun sekarang?
Jadi, kuputuskan untuk kembali ke Jakarta. Sudah lama rasanya tidak mendapat
kabar dari dia. Hmm, terakhir setahun yang lalu.
*
Aku
menemukan dia
di tempat yang sama, seperti dulu. Maun masih setia pada sungai itu. Tidak ada
yang berbeda, kecuali rambut yang sedikit gondrong dan kulit tubuh yang semakin
mirip batu pualam. Satu lagi, ada empat orang lainnya yang sekarang membantu
Maun membersihkan sungai itu.
Lama aku
memandanginya sebelum ia menyadari kehadiranku. Dan sungguh, senyuman manis di
bibir menghitam itulah yang kunantikan. Maun merangkak ke tepian.
“Haaa,
bagaimana?” sahutnya tanpa rasa grogi sama sekali, maksudku sudah terpisah dua
tahun, basa-basi dulu kek, apa kek. Menyebalkan. “Kau sudah memutuskan untuk
menjadi istriku?”
Entah
kenapa, kali ini aku tidak memaki sebagaimana dulu-dulu itu. Aku terkekeh
menanggapi ucapannya.
“Sudah lama
juga, ya?” ujarnya lagi. “Aku sih, sebenarnya pengen meluk kamu, gitu. Tapi… ya
kamu lihat sendiri, kan?”
Lumpur bau
masih menempel mesra di tubuhnya. Hahaha, sudah pasti aku akan menolak.
“Aku, hanya
ingin mengatakan satu hal padamu, Maun,” kutatap dalam kedua matanya.
“Kau boleh
mengatakan apa pun yang kau mau,”
“Aku
serius… aku, juga memiliki mimpi yang sama!”
Ando
Ajo, Jakarta 09 Agustus 2016.
Manstaf :)
BalasHapusmakasih Pak Edy^^
HapusManstafff juga