Akan Gue Ingat Jasa Lo
Kembali pada Buyut yang tengah duduk berdua dengan si gorila galau.
Mereka sama berdiam diri menatap lurus ke lautan. Tidak ada suara yang keluar dari mulut keduanya, tidak pula isak tangis seperti sebelumnya. Dua kaki sama selonjoran di atas hamparan pasir, dua tangan sama-sama diletakkan di pangkuan.
Tidak berapa lama, perhatiaan kedua makhluk beda spesies ini terpecah. Sama tertarik pada sejumlah orang di ujung kanan sana. Ada rasa heran di wajah keduanya, bahkan sama berkerut aneh.
Tujuh orang berlari ke arah si Buyut dan gorila. Tiga orang di antaranya adalah dokter, dengan mengenakan setelan khas jubah putih-putih, dan salah seorang dari ketiganya adalah bule. Sedangkan empat yang lainnya orang-orang dari penangkaran hewan, dua orang di antaranya membawa satu serokan ukuran besar, sangat besar. Sedangkan dua orang sisanya membawa segulung tali.
“Itu mereka!”
“Ayoo, tangkap…!”
Buyut dan si gorila kaget bukan kepalang. Seolah-olah ketujuh orang
tersebut berniat menangkap mereka. Buyut mengerutkan dahi, kalau terhadap para
pawang dari penangkaran hewan tersebut ia tidak heran, jelas yang mereka tuju
adalah si gorila jantan di samping kanannya itu. Nah, ini kenapa dia juga
dibawa-bawa segala? Ia dengan jelas bisa memastikan jika ketiga orang yang
terlihat seperti dokter tersebut juga menunjuk-nunjuk pada dirinya.
Namun tatkala Buyut mencoba memerhatikan dengan seksama para dokter itu,
sontak wajahnya semakin berkerut tak keru-keruan.
Betapa tidak, ternyata dokter bule itu adalah orang yang sama dengan
bule beberapa hari yang lalu. Yang itu tuh, yang kejadian di toilet umum di
dekat pasar tempo hari, he-he. Sepertinya tuh dokter adalah dokter spesialis
kejiwaan, dan dia berpikir jika si Buyut adalah salah satu dari sejumlah pasien
yang harus mendapat perawatannya.
(Jiahahha…)
Pada dada kiri seragam kedokterannya tersemat emblem nama; Jono. (Beuh, bukannya Jono tuh nama Indonesia? Kok
bule bisa pake nama itu juga? Kalo Jhonny lebih masuk akal. Ya sudah lah,
lanjuut…)
Mau tidak mau, terpaksa Buyut dan si gorila cabut dari
sana. Berlari sekencang mungkin. Kadang Buyut berada di depan si gorila, di
lain waktu justru si gorila yang berada paling depan. (Hahha konyoll, napa tuh gorila larinya kek manusia?)
“Sial…” maki Buyut. “Tuh bule pasti ngira gue or-gil nih. Aseemm…”
“Berhenti! Woii… berhenti!”
“Sorry, yee…”
cibir Buyut. “Enak aje main tangkep, beuuhh... Sok udag enggalan aritiasa mahh…!” (Ayo kejar kalau bisa…!—sejak kapan Buyut bisa berbahasa Sunda, ya?)
Jadilah peristiwa kejar-kejaran tersebut berlangsung riuh. Buyut dan gorila
berlari di sepanjang bibir pantai hingga berbasah-basahan, begitupun dengan
mereka-mereka yang mengejar keduanya. Lalu mengarah ke kerimbunan pepohonan,
terpaksa para pengejar ikut juga berlari ke arah tersebut. Seorang dari para
pengejar secara tidak sengaja menginjak patahan ranting, ia melompat-lompat
dengan satu kaki sementara satu kaki lagi menahan sakit.
Melihat pengejar menginjak ranting dan berlari sembari melompat-lompat,
bahkan ada juga dari tim dokter yang terjatuh karena sejumlah dahan pohon
menghalang langkahnya, kontan saja Buyut dan si gorila terbahak-bahak sembari
melompat-lompat kegirangan mengejek para pengejar.
(Gila juga tuh mereka berdua, masak pake tos-tosan
segala, ha-ha-ha)
Kembali keduanya berlari menjauh. Di satu kesempatan, Buyut dan si
gorila berlari saling berdampingan, dengan tiba-tiba si gorila mendorong Buyut
ke sisi kanan hingga terguling-guling, tersembunyi di balik sebuah pohon besar
dan rindang.
Hahu-hahu-hahu…
teriak si gorila sambil terus berlari menjauh.
Buyut terlindung berkat dahan-dahan pohon itu yang menjulai rendah,
sehingga rombongan pengejar tidak melihat keberadaannya dan terus saja mengejar
ke arah mana sosok si gorila menghilang.
“Thanks Toing,”
desis Buyut sembari terus mengawasi ketujuh orang yang berlari mengejar si
gorila. “Gue gak akan lupa jasa lu.” (Azeekk.)
Para pengejar benar-benar tidak menyadari keberadaan si Buyut, padahal
mereka semua berlari persis di sisi keberadaan si Buyut yang tertutup lebatnya
dedaunan. Wah, hebat juga si Toing, salut dah buat ente Toing, rela berkorban
diri dikejar-kejar orang banyak demi sahabat. (E-eeh, mang ente temenan ma si Toing, Yut?)
Tanpa membuang masa Buyut keluar dari persembunyiannya dan berlari
kencang berlawanan arah dari para pengejar yang mengikuti arah si gorila.
Lama berlari, Buyut hentikan langkah, berpaling ke belakang. Yakin tidak
ada yang mengikuti, Buyut menghempaskan napas lega, terbungkuk-bungkuk mengatur
pernapasannya yang tersengal-sengal.
Seolah baru menyadari jika di depan sana ada keramaian, Buyut memerhatikan
lebih lanjut. Sejumlah orang tengah menikmati pagelaran musik pantai. Buyut mendekati
keramaian tersebut.
Memang benar, di sana tengah ada satu pagelaran musik. Pagelaran musik tersebut
mempertunjukkan sejumlah instrumen tradisional yang dimainkan berkolaborasi
dengan alat musik modern. Yang mampu menghasilkan irama menyenangkan di telinga
mereka-mereka yang menyaksikan. Pagelaran tersebut diadakan guna menarik
perhatian para wisatawan dan tentunya sekalian untuk menghibur mereka-mereka
yang datang berwisata ke daerah kepulauan tersebut.
Buyut tersenyum, jika sebelumnya ia terus dikejar-kejar kesedihan dan
kecemasan sekarang di wajah pria tersebuut justru terlihat kebalikannya. Suasana
hati Buyut dengan cepat berubah drastis saat melihat sejumlah orang di panggung
rendah sana memainkan alat musik tradisional.
Ahh, satu lagi kesenian warisan leluhur negeri ini
yang mesti dilestarikan. Oleh
karena itu, semakin bersemangat lah si Buyut, bergabung dengan sejumlah
wisatawan di sana.
Buyut melangkah sambil sesekali bergoyang riang mengikuti irama yang
melantun. Tidak Buyut, sejumlah orang yang ada di sana juga sama. Meski gerak
dan liuk tubuh mereka berbeda satu dengan yang lain, namun tetap mengikuti beat dari musik itu sendiri, sehingga
terlihat cukup pantas.
Tengah asik melangkah riang layaknya anak kecil di taman yang indah,
tanpa disengaja Buyut menubruk seorang wanita. Walau tidak kencang dan tidak
sampai jatuh ke pasir, namun…
“O-ouww,” bola mata si Buyut seolah lepas dari rongganya.
Ternyata perempuan muda yang disenggol si Buyut adalah Fitria, anak
tertua dari Bu Sekar. Keruan saja Buyut menjadi ketakutan, dan ketakutan itu
semakin kentara tatkala ia menyadari jika Bu Sekar ternyata berada di situ juga,
bahkan si bungsu Inar juga hadir. Buyut semakin pucat, keringat dingin mengucur
deras...
(Set-dah… nape keringet ente jadi banyak gitu, Yut?
Alamak… dari mane datengnye tuh air, kok tahu-tahu ngucur deres dari kepala
ente…?! Baahh…)
“Ma-maap, sa-saya gak-gak sengaja,” ujar Buyut pada Fitria, dan si Buyut
pun ketularan penyakit si Lipul. “Maap Tante, he-he, keasikan joget..” Buyut
memaksa tersenyum dan kemudian menelan ludah sendiri memandang pada Bu Sekar.
“Hati-hati, dong…!” tegur Fitria.
Namun Buyut boleh bernapas lega, soalnya Bu Sekar hanya menanggapi
dengan senyuman. Meski heran, Buyut balas senyuman orang dengan anggukan
kepala.
“Gak gabung sama teman-temanmu?” tanya Bu Sekar.
“E-eh, gak tau mereka kemana, Tan. Tadi pas keluar kita gak barengan.”
“Hoo, pantesan…”sahut Bu Sekar dengan senyuman.
“Mereka di sebelah sana tuh!” timpal Fitria.
“Ouh ya?” sahut Buyut dengan ekspresi yang… entahlah. (-_- mulaiii… penyakit kalo ketemu cewek
cakep, haih!!!)
Memang benar, dari kejauhan Buyut melihat sahabat-sahabatnya tengah
berbincang dengan beberapa orang. Dan ia bisa mengenali, itu Om Granito, Tante Selsa dan anak mereka si Desy alias Desol, juga si Fahmi
dan si Nandar ada di sana.
“Makasih ya. Mari Tan, Mbak,” Buyut berpamit diri dengan sopan.
“Mari-mari,” balas Bu Sekar, Fitria dan Inar hampir berbarengan.
Buyut melangkah cepat. Buyut bisa memastikan jika Om Granito sekeluarga
tidak lagi mencurigai sahabat-sahabatnya di sana. Usaha si Fahmi berjalan
sukses, pikirnya. Ahh, syukurlah jika kesalahpahaman antara Buyut dan
kawan-kawan dengan keluarga Om Granito bisa terurai manis.
“Oi, Yut,” panggil si Erri. “Dari mane aje lu?”
“Kagak dari mane-mane,” Buyut merahasiakan perihal dikejar-kejar orang
tak dikenal tadi. “Eeh… Om, Tante, Desy.” Om Granito, Tante Selsa dan Desy sama
tersenyum membalas sapaan si Buyut. “Ni, acara apaan, sih?” tanya Buyut sembari
melihat keramaian dan sejumlah pemusik di atas panggung rendah.
“Pagelaran musik pantai,” jawab Desy.
“Eeh gue ada ide nih,” ujar Buyut spontan.
Kesepuluh orang tersebut merapat satu sama lain mengikuti ajakan Buyut. Buyut
punya satu rencana untuk membuat suasana pagelaran musik itu lebih meriah. Yang
lain mengangguk-angguk, mengerti, dan sama setuju dengan ide si Buyut tersebut.
“Baah…” seru Om Granito. “Yang tak kusangka, rupa-rupanya otak kau itu
encer juga.” Om Granito tertawa lepas dengan ide yang ia dengar dari si Buyut
barusan dan ditanggapi dengan anggukan setuju dari yang lain.
Jadi tidak menunggu lama Buyut dan kawan-kawan segera saja melangkah
menuju panggung rendah, sedangkan Om Granito dan keluarga tetap berada di
posisi semula, di sisi kanan panggung. Pria plontos geleng-gelengkan kepala,
ada-ada saja ide mereka, begitulah yang tengah ia pikirkan. Begitupun halnya
dengan sang istri, Tante Selsa tersenyum geli membayangkan apa yang akan
terjadi, sementara Desy bergelayut mesra di pundak sang ibu.
Saat ketujuh orang tersebut bergerak mendekati panggung, menarik
perhatian Bu Sekar dan kedua anak gadisnya. Heran plus penasaran, ketiganya bergerak mendekati panggung.
Buyut menaiki panggung, membicarakan sesuatu pada pimpinan orkestra. Dan
pemimpin orkestra tersebut sangat mengerti dan menghargai apa yang diucapkan
oleh Buyut. Sementara Erri, Rahab, Conni, Lipul, Fahmi dan si Nandar tetap
berada di bawah panggung, panggung itu sendiri cukup besar dan hanya setinggi
lutut orang dewasa saja.
“Sundul Gan…!”
Tiba-tiba Buyut berteriak kencang dengan bantuan wireless microphone. Bersamaan dengan teriakan si Buyut, alunan
irama nge-beat menghentak pendengaran.
Bersamaan dengan itu pula Erri dan Rahab sama melompat gesit ke atas
panggung menemani si Buyut yang mulai melakukan gerakan-gerakan tarian yang
terlihat cukup simple namun atraktif.
Sedangkan Conni, Lipul dan Fahmi juga Nandar pun melakukan gerakan yang sama di
bawah panggung.
Awalnya, semua orang sama terdiam, bingung dengan apa yang dilakukan si Buyut
dan kawan-kawannya. Lama kelamaan, mereka justru mengikuti gerakan-gerakan
tarian yang diperagakan oleh ketujuh orang di depan mereka tersebut. Gerakan
itu sungguh terlihat asyik dan menyenangkan, tidak terlalu rumit hanya terdiri
dari lima-enam gerakan saja.
It’s so simple, but seem atracktive. See what I
mean?
Dimulai dengan Bu Sekar, Fitria, dan Inar yang kala itu telah berada di
barisan terdepan, mengikuti gerakan Buyut dan kawan-kawan, dan detik berikutnya,
semua yang hadir sama bergoyang riang. Menari dengan gerak dan gaya yang sama
dengan mereka yang di depan sana. Bahkan Om Granito dan keluarga juga terlihat
melakukan gerakan yang sama.
Suasana di pantai semakin meriah. Menari dengan tawa lepas mengiringi
gerakan mereka, sebagian lagi tersenyum malu-malu, lainnya terlihat dengan
semangat membara. Besar-kecil, tua-muda, anak-anak juga dewasa, pria maupun
wanita, sama berjoget dengan suasana hati yang ceria. Penduduk dan turis lokal,
bahkan para turis mancanegara sekalipun, sama berjingkrak ria.
Digoyang-digoyang… Digoyang-goyang-goyang sundul
Disundul-disundul… Disundul-sundul-sundul goyang
Mari kita ikut suara gendang……………
Coba dengarkan suara seruling …………….
Hanya syair itulah yang terdengar dilantunkan Buyut dan kawan-kawannya,
berulang-ulang sedemikian rupa mengiringi lantunan musik yang atraktif.
Semua orang menari dengan keceriaan yang terlihat jelas dari wajah
masing-masing. Anak-anak yang dengan semangat memamerkan gerakan mereka pada
orang tua, dan para orang tua yang gerakan mereka patah-patah mengiringi sang
anak. Sang suami yang unjuk kebolehan menari pada sang istri, dan sang istri
yang malu-malu mengikuti gerakan sang suami. Muda-mudi yang sama kompak dalam
gerakan. Ahh… begitu cerianya mereka tanpa harus melakukan gerakan-gerakan yang
ditabukan, sederhana namun lebih atraktif dan (gue rasa) lebih menyegarkan dan menyehatkan.
Setelah cukup lama mereka menari serentak bersama, di atas panggung
tanpa sengaja Buyut memandang ke arah kanan. Sepasang mata membelalak lebar. Di
ujung pandangan, si girola berlari ke arah keramaian, dan tujuh orang mengejar
gorila tersebut. Kontan saja Buyut ketakutan.
Dengan cepat Buyut menarik tangan Erri dan Rahab, melompat turun dari
atas panggung walau musik masih terus mengalun.
“Ri, Hab, kabur...”
“Apaan…?!” sahut Rahab dan Erri berbarengan.
Detik itu suara-suara histeris terdengar saat si gorila jantan berbulu
hitam menghampiri keramaian. (Waduh,
kacau dah ni musik pantainya… hedeuuh)
Semakin lama, teriakan orang-orang tersebut semakin terdengar jelas,
sambung menyambung menjadi satu… (Oops,
maap-maap) Orang-orang berlarian tak tentu arah, takut pada gorila besar
yang muncul di tengah keramaian.
Ahh, suasana yang tadi bwgitu akrab dan ceria berubah heboh. Jerit sana,
jerit sini. Lari sana, lari sini. Bahkan, sampai ada yang tersungkur segala. Oops… malah ada pula yang saling
bertubrukan. Kacau, benar-benar kacau.
Buyut, Erri, dan Rahab yang telah turun dari atas panggung, berlari ke
arah Om Granito dan keluarga. Conni, Lipul, Fahmi, dan Nandar yang awalnya
tidak mengerti kenapa mereka juga harus ikut berlari, sama terheran-heran. Namun,
begitu Buyut menunjuk-nunjuk ke belakang, keruan saja keenam yang lainnya sama
kaget ketakutan.
He-he, si Buyut sendiri berlari menghindari kejaran para dokter kejiwaan
di belakang si gorila itu. Nah, enam yang lain sudah dapat dipastikan berlari
kencang karena ketakutan pada si gorila.
“Fahmi, kapal…!” teriak si Buyut memberi komando.
“Siap, Boss…!” Teriak Fahmi mengerti. Maka, dengan ajian: sapu angin (hedeuuh), Fahmi berlari sangat kencang
mendahului mereka semua.
(Jiaah… ternyata ooh ternyata, si Fahmi masih kalah
cepat dari si Nandar yang berlari seolah melayang mendahuluinya, sambil berteriak
ketakutan, histeris… -_-‘)
“Tulang, Nantulang, Desol… Aku balik dulu yaa…” Fahmi berpamit diri dengan teriakan lantang. Di
depannya, si Nandar semakin jauh saja.
“Hati-hati…!” Teriak Om Granito.
“Yut, ada apaan, sih…?!” tanya Erri di sela larinya.
“Si Bule nyang kemaren, tuh!”
“Waaa…” yang membuat si Erri kaget setengah mati bukanlah pada sosok si
gorila di belakang, juga bukan pada Jono si dokter bule, apalagi pada para
pengejar lainnya. Namun ternyata ooh ternyata, yang membuat pria berdarah Jawa ini
kaget setengah modar, adalah seorang wanita yang ikut mengejar dengan dandanan
ala-ala India.
(Oops, jiahaha…
ntu, kan cewek India nyang mirip Ely Su****, huahahah…)
Erri semakin mempercepat larinya, bahkan mendahului si Buyut. Tidak mau
kalah, Conni dan Lipul juga si Rahab yang ketakutan karena mengira dikejar si
gorila di belakang sana, juga mempercepat lari mereka, bahkan mendahului si Buyut.
Kaget, sekaligus terheran-heran pada laju lari rekan-rekannya tersebut, Buyut
tambah gas, jadi semakin kencang dan mendahului keempat rekannya yang lain.
“Oom… kami pamit…” teriak Buyut pada keluarga Om Granito yang sepertinya
tidak terpengaruh akan keberadaan si gorila. Malah sama terpingkal-pingkal
melihat adegan konyol tersebut.
“Desy,” Teriak Rahab tak mau kalah. “Abang pulang yaaak…”
“Iya Bang…” jawab Desy ikut-ikutan berteriak lantang.
Di depan sana, Fahmi sudah berada di atas kapal dan telah menyalakan
mesin, yacht terdengar menderu-deru.
Begitupun halnya dengan si Nandar, ia telah melepas sangkutan tali pengikat
kapal, dan tergesa-gesa menaikkan dapra.
“Jangan kabur…!” teriak pengejar pada si gorila.
“Hey you, stay there where you are…!” teriak si Jono dialamatkan pada si Buyut pastinya.
“Mera pyar hai… mera pyar hai…!” teriak si cewek India, pastinya
dialamatkan pada si Erri. (Cintaku… cintaku…!)
“Hahu-hahu-hahuuu…” jerit si gorila. (Tolong-tolong-toluuong…)
Rahab dan kawan-kawan sama mengarah ke dermaga, di ujung dermaga telah
menunggu kapal mereka yang siap lepas landas. (Hadeuuh, mangnya ni kapal terbang? Bodo amat, lanjuut…)
Si gorila hitam alias si Toing tahu-tahu semakin dekat dengan Rahab dan
Kawan-kawan, hanya terpaut tiga-empat meter saja. Sedangkan para pengejar
terpaut dengan jarak yang sama pula di belakang sang gorila. Kontan saja Conni,
Lipul, Rahab, Erri, dan si Buyut melompat sembari menjerit kencang. (Huahuahuahu, malah melompat ke laut. Ampun
deh…)
“Waaa…”
Cbyurrr…
Om Granito, Tante Selsa, Desy alias Desol malah tertawa terbahak-bahak
melihat aksi mereka semua. Pun begitu pula halnya dengan Bu Sekar, Fitria, dan Inar
yang juga terpingkal-pingkal.
***…TAMAT…***
TULISAN
INI PERTAMA KALI DIPUBLIKASIKAN DI WWW.KOMPASIANA.COM
COPASING DIIZINKAN DENGAN MENYERTAKAN URL LENGKAP POSTINGAN DI ATAS, ATAU
DENGAN TIDAK MENGUBAH/MENGEDIT AMARAN INI.
Wkkkk...kacauuu
BalasHapushahhaa berangkat rusuh, pulang juga rusuh
Hapusemang kacau niaaannn...
makasih Pak Sam aka Buyut^^
Peace Be Upon You
Ha ha ha bisaan uda Ajo
BalasHapushehehe :D
Hapus