Kamis, 23 April 2015

Membakar Kelambu

Membakar Kelambu

Sebelumnya, izinkan saya meminta maaf, sebab lagi-lagi menulis artikel yang berbau menggurui. Namun percayalah! Maksud hati hanya ingin berbagi, sekaligus mengingatkan.
Jika datang perlihatkan wajah, bila pulang tampakkan punggung.
*
Kali ini, yang ingin saya sorot ialah; Perilaku berlebihan dalam menanggapi sesuatu.
Maafkan saya, sebab dalam menjalani hidup keseharian, saya pun tidak terlepas dari hal tersebut. Entah itu karena merasa tersinggung akan satu dan lain hal, maupun menanggapi ketersinggungan akan satu hal dan lainnya.

Dan inilah yang sering terjadi dalam hal menanggapinya; Marah pada nyamuk, kelambu yang dibakar.

Sahabat, sejujurnya tentulah hati menjadi panas, emosi menguasai diri. Khususnya bila ketersinggungan itu dipicu oleh hal yang paling sensitif, yakni; Suku, Adat, Ras, dan Agama - SARA.
Sedikit saja isu (kelakuan) yang dilentingkan, maka, orang akan (baik secara individual, maupun yang melibatkan orang banyak) langsung membawa-bawa suku bangsa dan agama si pelaku.
Dan benar! Ini seolah-olah men-judge, bahwa; Setiap orang dari suku itu, dari agama anu, mustilah sama perilakunya dengan si pelaku tersebut.
Dan jujur saja, tentulah ini sangat menyakitkan.
Orang-orang sekarang bilang; Sakitnya itu di sini! Sambil menunjuk dada.

Sahabat, di negeri yang memiliki lebih dari 1200 suku bangsa, di Indonesia ini, juga keberagaman Agama dan Kepercayaan, (Mulai dari; Animisme, Dinamisme, Politheisme, Sinkretisme, hingga Monotheisme) jika perihal tersebut di atas terjadi, tentulah ini dapat menggoyahkan Kesatuan dan Persatuan NKRI. Bahkan, bukan tidak mungkin justru malah dapat menghancurkan kedaulatan negeri – seperti dulu yang pernah dilakukan penjajah.

Sejujurnya, saya pernah melakukan hal yang sama. Bahkan, jika saya sebutkan di sini, tentulah akan membakar amarah para sahabat juga.
Namun, saya sangat bersyukur. Alhamdulillah, Puji Tuhan, sebab dua orang sahabat langsung ‘mengingatkan’ saya (dalam hal ini, keduanya berbeda keyakinan – agama – dengan saya).

Kenapa saya bersyukur?
1.    Kedua orang sahabat itu (yang satu adalah member Kompasiana, dan yang lainnya teman di Facebook) ‘mengingatkan’ saya dengan bahasa yang lugas dan lembut.
Dan karena dengan kelembutan dan kata yang bijak dari merekalah, akhirnya saya menyadari; Benar! Jika ini saya teruskan, alamat (paling tidak) teman-teman yang selama ini dekat (yang berbeda keyakinan dengan saya) akan menjauh.
Bukan tidak mungkin, pada akhirnya saya akan memicu ‘pertikaian’.
2.    Dan juga, karena kelembutan bahasa itu jugalah menyadarkan saya.
Benar! Saya tinggal di negeri Ragam Budaya, negeri ini tidak butuh lagi ditambahi pertikaian ini-itu. Debat kusir yang tak tahu pangkal dan kapan akan berujung?
3.    Dan terakhir, rasa syukur saya kian membesar pada kedua sahabat tersebut, sebab, jikalaulah waktu itu mereka tidak ‘menegur’ saya, sudah dapat dipastikan saya akan mengalami kejadian yang lebih ‘mengerikan’ dari apa yang dialami seseorang di Jogja beberapa bulan yang lalu.

Sahabat, tentulah ini menjadi penyesalan bagi saya. Namun, bukan penyesalan yang buruk, lebih pada rasa bahagia. Bahagia punya sahabat yang meski berlainan agama, namun berbesar hati memaafkan saya. Lebih lagi, dengan Bahasa Bijak dan Lembut, menegur saya. Dan pasti, ini menjadi pelajaran yang berharga bagi saya pribadi.

Lagi-lagi benar apa kata pepatah tua; Mulutmu harimaumu, yang akan menerkam kepalamu sendiri.
Nyaris saja saya mempermalukan suku dan agama saya sendiri; Gara-gara nila setetes, rusak susu sebelanga.

Dan akhirnya, menjadi perenungan bagi saya. Menelisik lagi pepatah-pepatah tua. Benar, orang-orang tua dahulu sangat benar. Alam terkembang menjadi guru.

Dan satu hal yang saya sadari dan sangat saya syukuri adalah; Keberagaman Itu Adalah Keindahan.

***

Meminta Maaf Itu Mulia, Lebih Mulia Lagi Memberi Maaf.
--------------------------------------------------------------------------------------------------------------
 TULLISAN INI PERTAMA KALI DIPUBLIKASIKA DI WWW.KOMPASIANA.COM, COPASING DIIZINKAN DENGAN MENYERTAKAN URL LENGKAP POSTINGAN DI ATAS, ATAU DENGAN TIDAK MENGUBAH/MENGEDIT AMARAN INI.
--------------------------------------------------------------------------------------------------------------
Sumber ilustrasi; https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEjdzYL1QHMfVzlgz4LML4-jaNQIfLXk2eEKnliNkJoK_knyeRRlIRA-oOg1UvoNF9htV21_tuJJZQAwpcMvvzg6YWu_SivI8azgI2gRQMtIb-3-azcSaoI48a7sSSMvnVMMuW_nXN0STGKL/s1600/anak-emosi.jpg

6 komentar:

  1. ...sekali-sekali melampiaskan kekesalan sah-sah aja kok Mas, saya juga pernah gitu. Saking kesalnya sama teman-teman dunia maya yang sok tau soal keyakinan, saya sampe bikin status yang intinya "udah deh, lu tu orang luar, ngapain sih ngepoin urusan kami?"

    Salam pagiii...

    BalasHapus
    Balasan
    1. hahha :D :D kalo dalam konteks ntu ane satujaaa ma Mas Ryan :D :D
      tapi yang ane maksud kalo marah ma satu-dua orang, terus membawa-bawa ras,suku,dan agamanya ntu lhoo Mas Ryan :) rasanya agak kelewatan aja

      salam pagi juga Mas e
      eeh... :D siang

      Hapus
  2. Hajaaarrrr.... bakaaaarrrr... (ada provokator komen) wkwkwk

    BalasHapus