Crass…
Darah berceceran dari luka menganga di bahu kiri. Dan pria bajingan itu seolah mendengkur kencang menahan tawanya yang menjijikkan atas penderitaan saudara perempuanku.
Yang aku tahu, orang ini bukan mau membunuh saudara perempuanku, ia bisa melakukannya dengan cepat. Aku tahu itu, sebab meski “terkungkung”, aku dapat melihat dengan jelas aksi bajingan itu.
Dia… hanya ingin melihat saudara perempuanku menderita. Berada di titik terlemah manusia: ketidakberdayaan, dalam siksa yang aku tahu pasti lebih baik mati daripada harus mengalami itu.
Sebelum
berada di tengah situasi mengerikan ini, aku telah membuat laporan kepada pihak
yang berwajib: saudara perempuanku, menghilang, dan itu telah seminggu lamanya.
Mereka tidak menemukan keberadaan saudara perempuanku.
Dan—tentu
saja. Setelah aku pun “dibawa” ke ruang bawah tanah ini, baru kuketahui, ternyata
saudara perempuanku justru ada di sini. Ruang pengap di bawah gudang belakang
rumah kami sendiri, terikat di sebuah kursi tua dengan mulut disumpal kain kumal.
Kata
kebodohan menempeleng kuat kepalaku. Gudang ini, tempat kami bermain dulu saat
kecil—termasuk, ruang pengap ini. Tempat pelarianku kala ibu memarahiku, dan
dengan segala cerita tidak menyenangkan mengiringi.
Kenapa tidak terpikirkan olehku?
“Emhhh…
Emmh…”
Dengan
mulut yang tertutup dan luka di sekujur tubuh, aku dengan jelas melihat begitu
ketakutannya saudara perempuanku, dan penyiksa berengsek itu datang lagi dengan
pisau yang bersih berkilat.
Crass…
Darah
berceceran lagi, kali ini dari paha kanan. Penyiksa sialan itu tertawa dari
balik topeng.
Ya, topeng
para Hacker Anonymous, topeng yang
sama yang digunakan V dalam film V For Vendetta, yang diilhami wajah Guy Fawkes
pemberontak kerajaan Inggris yang dipenggal di Abad Pertengahan.
Cleept…
Pisau
di tangan pria jahanam terbenam ke dalam perut saudara perempuanku. Sengaja,
dia sengaja tidak menusuk titik vital.
Aku
bersumpah mendengar dia terkekeh.
Andai
saja kain kumuh itu tidak menghalangi rongga mulutnya, jeritan saudara
perempuanku mungkin akan terdengar oleh seseorang di luar sana. Semakin
tersiksa, itu yang tergambar di wajah dan tubuh saudara perempuanku. Bahkan
mungkin—tidak tidak tidak, kurasa pasti—saudara perempuanku, pasti lebih
memilih mati di saat itu juga seperti anggota PKI yang disiksa pada zaman Orde
Baru.
Tidak!
Aku tidak tahan lagi. Akan aku hentikan bajingan itu!
Aku
tidak tahu apa yang menahanku sedari tadi, bajingan itu tidak mengikatku, tidak
pula menyekapku. Entah kenapa kaki dan tangan ini sulit untuk kugerakkan. Tidak
pula mulut ini, tak sanggup sekadar berteriak meminta pertolongan—entah pada
siapa pun. Aku… hanya terpaku pada situasi ini, terkungkung pada ruang tak kasatmata.
Kukuatkan
tekad di hati, mendekati penyiksa biadab bertopeng itu. Entah hanya firasatku
saja, tapi aku yakin bajingan itu menoleh kepadaku. Langkahku sempat terhenti,
sebab yang aku lihat dia juga berdiri dan melangkah mendekatiku.
Aku
tertegun, tak mampu bersuara. Lagi-lagi tawa menjijikkan itu, tanpa kuduga
bajingan yang telah menyiksa saudara perempuanku itu, membuka topengnya. Jaraknya teramat dekat.
Bahkan, wajah iblis-nya itu terpaut hanya sejengkal dari wajahku.
Wajah
itu… sangat familiar.
Aku
menatap heran ke dalam wajahnya. Kuberanikan diri menggapai wajah menjijikkan itu.
Kembali gerakanku terhenti saat dia melakukan gerakan yang sama persis
denganku. Hingga, tangan kami bersentuhan.
Ah, tidak-tidak-tidak. Lebih tepatnya, tanganku menyentuh cermin besar, dan penuh
debu, peninggalan ibu kami yang selalu membela saudara perempuanku itu.
I—ni… wajahku. Diriku!
"Kejutan…!"
Aku mendengar jelas ratap mengiba saudara perempuanku itu. Derai tangis
dengan mata bengkak memerah bisa kulihat jelas di dalam cermin tua di
hadapanku. Dan aku… menyadari, bayanganku di cermin, menyeringai.
“Sekarang tidak akan ada yang membelamu…”
A Cerpen by Fatihnokturnal & Ando Ajo.